Sumsel Incar Ekonomi Karbon untuk Tangani Karhutla
Sumsel dinilai memiliki peluang meraih manfaat nilai ekonomi karbon dengan menekan kebakaran hutan dan lahan.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Dengan dibukanya ruang perdagangan karbon, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mengincar nilai ekonomi karbon atau NEK melalui penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. NEK bisa dimanfaatkan untuk optimalisasi biaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang memakan biaya besar setiap tahunnya.
”Manfaat dari NEK sangat kami harapkan untuk penguatan pembiayaan penanganan karhutla (kebakaran hutan dan lahan) yang sangat besar, seperti penggunaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC),” ujar Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemprov Sumsel Edward Chandra usai Rapat Koordinasi Teknis Pengendalian Perubahan Iklim Regional Wilayah Sumatera bertema ”Peran Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Mendukung Capaian NDC melalui Aksi Mitigasi dan Adaptasi di Tingkat Tapak” di Palembang, Selasa (30/1/2024).
NEK tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Pembangunan Nasional. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat lima sektor yang berperan dalam penurunan emisi GRK yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan NEK, yakni energi, limbah, industrial processes and production use (IPPU), pertanian, dan kehutanan.
Edward mengatakan, dari lima sektor itu, Sumsel berpeluang besar mendapatkan NEK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (forestry and other land use/FOLU). Penggunaan lahan lainnya itu meliputi pertanian dan perkebunan. ”Sektor itu yang kami dorong untuk mendapatkan insentif dari upaya penurunan emisi GRK, antara lain dengan cara menekan dampak karhutla,” katanya.
Pemprov Sumsel cukup percaya diri karena mereka mampu menekan dampak karhutla pada 2023. Berdasarkan data KLHK, tahun 2023 menjadi tahun terpanas sejak 1940 karena dampak El Nino. Kendati demikian, luas wilayah karhutla di Sumsel pada 2023 tidak lebih buruk dibandingkan 2019 yang menjadi salah satu tahun terpanas.
Pada 2023, luas karhutla di Sumsel sebesar 132.082,9 hektar, terdiri dari 74.975,5 hektar di lahan mineral dan 57.107,3 hektar di lahan gambut. Sebaliknya, pada 2019, luas karhutla di Sumsel mencapai 336.798,1 hektar, terdiri dari 199.923,1 hektar di lahan mineral dan 136.875,0 hektar di lahan gambut. ”Kunci penanganan karhutla tahun lalu adalah kolaborasi. Semua pihak bergerak cepat dalam pemadaman di darat dan udara saat terpantau karhutla, serta ada peran besar TMC,” tutur Edward.
Kunci penanganan karhutla tahun lalu adalah kolaborasi. Semua pihak bergerak cepat dalam pemadaman di darat dan udara saat terpantau karhutla, serta ada peran besar TMC.
Menyambut 2024 yang masih terdampak El Nino, Edward menyampaikan, pihaknya bersama segenap instansi terkait akan menyiapkan diri lebih awal sebelum tiba musim kemarau. ”Kami pun akan melakukan penguatan di tingkat tapak dengan memperkuat kapasitas, peralatan, dan insentif kelompok masyarakat peduli api, serta membangun posko di desa-desa rawan karhutla,” ujarnya.
Harus konsisten
Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Karhutla (PPIKHL) Wilayah Sumatera KLHK Ferdian Krisnanto menuturkan, karhutla di lahan gambut adalah penyumbang emisi GRK terbesar di Sumsel. Dengan demikian, kalau bisa menekan karhutla di lahan gambut, Sumsel bisa memberikan perlindungan optimal untuk masyarakat yang bonusnya berupa pembiayaan perdagangan karbon tersebut.
”Menekan karhutla di lahan gambut adalah jalur paling cepat untuk Sumsel mendapatkan manfaat NEK. Untuk sektor lainnya, itu membutuhkan biaya besar, usaha keras, dan proses yang lebih panjang, seperti konversi energi fosil ke energi baru dan terbarukan atau ramah lingkungan, mengubah pola perilaku masyarakat agar tidak lagi menggunakan plastik, serta penanaman pohon yang efeknya terasa dalam jangka panjang,” katanya.
Maka dari itu, kata Ferdian, Sumsel disarankan fokus dan konsisten dalam menekan karhutla, khususnya di lahan gambut. Apalagi sistem penilaian pedagangan karbon mengutamakan konsistensi suatu daerah dalam upaya menekan emisi GRK setidaknya dalam rentan sepuluh tahun.
Data yang disampaikan pun akan divalidasi secara ilmiah oleh dunia internasional. ”Jangan sampai tahun ini bisa menekan luas karhutla, tahun depan justru luasnya naik lagi. Itu akan memengaruhi rerata dan penilaian lembaga pemberi manfaat penurunan emisi GRK,” tuturnya.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi mengatakan, sebagai bagian dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia ikut berupaya menjaga kenaikan suhu global rata-rata tidak lebih dari 1,5 derajat celsius di akhir abad ini. Itu untuk mencegah dampak bencana hidrometeorologi yang lebih parah, termasuk di Indonesia. Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang 2023, ada 4.940 kejadian bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Untuk itu, melalui dokumen NDC, Indonesia menargetkan mengurangi emisi GRK sebesar 31,89 persen tanpa syarat dengan sumber daya sendiri hingga tahun 2030 dan meningkat menjadi 43,2 persen dengan dukungan internasional. Pada 2050, Indonesia menargetkan sudah mencapai net zero emission atau kondisi emisi GRK yang tingkatnya sama atau lebih rendah daripada upaya untuk menyerap emisi tersebut.
Demi mencapai target-target tersebut, Indonesia berupaya memperkuat aksi-aksi adaptasi untuk meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial, dan kehidupan, serta ekosistem dan lanskap. Hal itu didukung dengan sejumlah regulasi dan berbagai macam instrumentasi sistem yang sudah dibangun. Salah satunya melalui penyelenggaraan NEK atau pembayaran berbasis kinerja (result based payment/RBP) yang disepakati di tingkat global.
Sejauh ini, Indonesia menjadi negara penerima pembayaran RBP terbesar di dunia, antara lain senilai 103 juta dollar AS dari Green Climate Fund dan 156 juta dollar AS dari Pemerintah Norwegia. Di samping itu, ada dua daerah percobaan yang sudah merasakan manfaat tersebut dari sejumlah lembaga, yaitu Kalimantan Timur yang menerima 110 juta dollar AS dan Jambi menerima 70 juta dollar AS.
Sumsel dinilai sangat berpotensi untuk merasakan manfaat serupa, terlebih dari kontribusi mengendalikan karhutla. Seiring itu, sektor lain pun bisa dioptimalkan, seperti pengolahan sampah domestik serta konversi energi baru dan terbarukan. ”Anggaran ini bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan upaya pengurangan emisi GRK secara berkelanjutan,” kata Laksmi.