Limbah Pertambangan Nikel Rusak Kawasan Konservasi Lasolo
Kondisi perairan TWA Teluk Lasolo rusak akibat limbah pertambangan nikel. Biodiversitas terancam.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Lasolo di Sulawesi Tenggara terus terancam limbah sedimen pertambangan nikel yang beroperasi di sepanjang pesisir Konawe Utara. Lumpur tebal menutupi karang dan perairan yang membuat hewan endemik dan dilindungi mati dan berkurang. Kondisi ini dikhawatirkan semakin meluas jika tidak ada langkah tegas dari pemerintah.
”Selama kami melakukan konservasi di Toli-toli dan Labengki, kondisi perairan saat ini sudah sangat memburuk. Lumpur tebal menutupi karang, hingga mati, khususnya di daerah yang berdampingan dengan pertambangan. Kima yang kami konservasi pun semakin terancam,” kata Habib Nadjar Buduha dari Toli-toli Labengki Giant Clam Conservation, di Konawe, Sultra, Selasa (30/1/2024).
Selama lebih dari satu dekade terakhir, Nadjar dan timnya konsen pada konservasi kima dan pemberdayaan masyarakat. Kima adalah jenis kerang-kerangan berukuran besar.
Monitoring yang dilakukannya bersama tim pada 2023, kata Nadjar, menemukan rusaknya terumbu karang di sepanjang pesisir kawasan. Lokasi tersebut khususnya berada di daerah Boenaga, Boedingin, Tapunggaya, dan beberapa titik lainnya. Terumbu karang tersebut mati akibat tertutup lumpur tebal. Beberapa titik yang diukur memiliki ketebalan lumpur hingga lebih dari 1 meter.
Kondisi ini terjadi akibat pertambangan nikel yang beroperasi di sepanjang pesisir Konawe Utara tersebut. Aktivitas penggalian hingga pemuatan yang tidak berwawasan lingkungan membawa sedimen lumpur ke perairan.
Dampaknya, ekosistem perairan terancam. Kima yang merupakan salah satu hewan endemik dan dilindungi berkurang. Hewan ini hidup di karang dan perairan. Namun, ketika lumpur tebal datang, hewan ini tidak bisa bertahan. Hal yang sama terjadi pada biota lainnya.
”Ini dampaknya terus meluas. Padahal, kawasan ini dilindungi, dan Labengki adalah lokasi wisata yang digembar-gemborkan pemerintah. Tapi, kalau perairan rusak, dipastikan tidak ada yang bisa dilihat dan dimanfaatkan di sana,” ucap Nadjar.
TWA Lasolo memiliki luasan 81.800 hektar yang terletak di Kabupaten Konawe Utara, dan sebagian di perairan Konawe. Kawasan ini berdampingan langsung dengan kawasan pertambangan, dan berdekatan dengan kawasan industri pengolahan dan pemurnian nikel.
Kepala Seksi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra Priehanto menuturkan, pengembangan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Lasolo terus dilakukan. Mulai dari pemanfaatan, rehabilitasi, hingga kemitraan dengan masyarakat.
Namun, kawasan ini memang terancam oleh beberapa hal, yang salah satu faktor utamanya adalah pencemaran sedimen pertambangan. Selama bertahun-tahun, lumpur dari pertambangan nikel di pesisir turun ke laut dan menutupi dasar perairan. Pesisir menjadi keruh dan ekosistem di bawahnya rusak.
”Penangkapan ikan tidak ramah lingkungan masih kita temukan juga, tapi angkanya terus turun. Yang jadi perhatian utama kami adalah pencemaran sedimen akibat pertambangan karena ini begitu mengkhawatirkan,” ujarnya.
Salah satu lokasi pencemaran yang paling parah, menurut Priehanto, terlihat jelas di wilayah Boenaga. Sepanjang pesisir yang berbatasan langsung dengan kawasan TWA Teluk Lasolo. Berdasarkan Citra satelit, pesisir dipenuhi sedimen. Kondisi yang tidak jauh beda terjadi di wilayah Mandiodo, Tapunggaya, dan pesisir lainnya.
Padahal, perairan tersebut merupakan kawasan konservasi dengan berbagai biota yang dilindungi. Mulai dari kima, penyu, lumba-lumba, dan berbagai hewan lainnya. Rusaknya perairan juga membuat tangkapan ikan nelayan sangat berkurang.
”Kami berupaya untuk menjaga kawasan, baik itu transpalantasi karang atau penegakan aturan untuk penangkapan ikan. Namun (limbah sedimen), ini persoalan lain. Dibutuhkan upaya bersama lintas sektor mengatasi pencemaran sedimen ini. Karena jika tidak diatasi, ini akan semakin meluas,” katanya.
Lumpur hanya salah satu dampak yang terlihat dari penambangan tersebut. Akan tetapi, logam berat seperti timbal hingga kandungan nikel meningkat ratusan kali lipat di perairan. Kondisi ini berbahaya bagi ekosistem, termasuk manusia.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Halu Oleo (UHO) La Ode M Aslan mengatakan, selama bertahun-tahun riset di kawasan pesisir Konawe Utara hingga Konawe, kondisi perairan terus menunjukkan kualitas yang memburuk. Biodiversitas di perairan hancur dan mata pencarian masyarakat hilang.
”Sepanjang pesisir yang ramai penambangan nikel tersebut, lumpur sudah sangat tebal. Kondisi ini berlangsung bertahun-tahun, dan salah satu indikator mudah melihatnya adalah hilangnya rumput laut. Itu indikator rusaknya perairan,” katanya.
Lumpur hanya salah satu dampak yang terlihat dari penambangan tersebut. Akan tetapi, logam berat seperti timbal hingga kandungan nikel meningkat ratusan kali lipat di perairan. Kondisi ini berbahaya bagi ekosistem, termasuk manusia.
”Saya berani bilang kalau perairan, termasuk kawasan konservasi, yang berdampingan dengan penambangan nikel itu sudah tercemar berat. Ini harus ada solusi besar, bisa dimulai dari penghentian sementara dan mengatur zonasi,” ucap Aslan.