Sultra Ekspor Perdana Pinang ke Iran, Keseriusan Pengembangan Dinanti
Sebanyak 56 ton pinang diekspor perdana dari Sultra menuju Iran. Pengembangan sektor perkebunan dan lainnya dinantikan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sebanyak 56 ton buah pinang yang diekspor perdana Sulawesi Tenggara menunjukkan potensi besar komoditas itu. Namun, masih dibutuhkan keseriusan dan pengembangan agar ekspor komoditas unggulan dapat berkelanjutan dan memberi nilai tambah bagi masyarakat luas.
Ekspor perdana buah pinang sebanyak 56 ton dikirim dari Pelabuhan Kendari, Sultra, Senin (29/1/2024). Pinang dengan kualitas menengah yang telah dikeringkan ini akan dikirim ke Iran. Totalnya bernilai 28.000 dollar AS atau Rp 434 juta.
Direktur Tanaman Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian Ardi Praptono mengungkapkan, pihaknya mendukung pengembangan pinang di Sultra, khususnya yang berorientasi ekspor. Hal ini penting dilakukan untuk mengembalikan kejayaan pinang sekaligus memberi nilai tambah serta nilai lebih bagi petani dan masyarakat.
”Meski tidak termasuk daerah produsen pinang terbesar di Indonesia, ternyata Sultra bisa melakukan ekspor. Kami sangat mengapresiasi dan mendukung langkah pengembangan ke depannya,” kata Ardi.
Saat ini, lima daerah produsen terbesar pinang adalah Aceh, Nusa Tenggara Timur, Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Kelima daerah ini mendominasi produksi pinang nasional yang mencapai 190.000 ton pada 2021. Ekspor pinang secara nasional juga mendominasi pasar dunia mencapai kisaran 60 persen.
Oleh sebab itu, ia berharap pemerintah daerah terus mengembangkan pinang. Potensi ekspor pinang sangat terbuka lebar karena bisa dimanfaatkan untuk kosmetik, konsumsi, obat-obatan, parfum, dan lainnya.
”Salah satu masalahnya bahwa harga pinang di pasaran lokal memang masih relatif rendah. Ekspor dan permintaan pasar diharapkan bisa menggairahkan petani untuk menanam dan mengembangkan. Selain itu, perlu dipikirkan agar ada produk jadi nantinya dan tidak lagi mengekspor dalam bentuk bahan baku,” kata Ardi.
Penjabat Gubernur Sulawesi Tenggara Andap Budhi Revianto menyampaikan, produksi pinang di Sultra 186 ton di lahan seluas 632 hektar dalam setahun. Padahal, selama ini pinang hanya ditanam sebagai pagar kebun dan belum dikembangkan secara luas.
Sejumlah daerah di Sultra, tambah Andap, potensial untuk menjadi daerah pengembangan, di antaranya Konawe, Konawe Selatan, Baubau, dan Kolaka. Pemerintah nantinya akan mencari data lokasi yang cocok sebelum dibudidaya secara luas. Varietas yang ditanam juga merupakan varietas unggul, bukan menengah.
”Kami akan arahkan dinas terkait untuk bikin road map (peta jalan) dulu, seperti apa pengembangan pinang dalam lima tahun ke depan. Mulai dari identifikasi, persiapan, pelaksaan, dan dukungan anggaran. Ini menjadi potensi baru yang bisa dikembangkan,” terangnya.
Selain pinang, menurut Andap, tanaman utama, seperti mete, kakao, dan berbagai komoditas lainnya akan terus dikembangkan. Peremajaan tanaman dan pengembangan akan dilakukan secara bertahap.
Selama ini, ekspor komoditas pertanian dan kelautan Sultra terus turun. Pada 2021, sebanyak 13 komoditas pertanian dan kelautan bisa diekspor. Jumlah ini turun menjadi enam komoditas di 2022 dan kembali turun menjadi lima komoditas di 2023. Sebanyak 99 persen ekspor Sultra didominasi oleh hasil pertambangan dan industri pengolahan.
Kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo, periode 2010-2021, kontribusi sektor pertanian, perkebunan dan kelautan terus mengalami penurunan. Pada 2010, kontribusi sektor ini terhadap PDRB Sultra mencapai 28,39 persen. Angka ini terus turun setiap tahun sehingga menjadi 22,87 persen pada 2021. Hal ini berbanding terbalik dengan sektor pertambangan dan industri pengolahan yang terus meningkat.
Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Sultra Haruna menyampaikan, sejumlah kendala memang masih dihadapi dalam pengembangan tanaman perkebunan di Sultra. Salah satu yang utama adalah tanaman yang tua dan belum diremajakan.
”Untuk pinang tahun ini kami telah tanam di 1.200 hektar lahan yang tersebar di beberapa kabupaten. Sementara untuk mete dan kakao, kami melakukan peremajaan bertahap,” katanya.
Sulitnya peremajaan, tambah Haruna, disebabkan terbatasnya anggaran yang dimiliki. Bantuan dari pemerintah pusat dimanfaatkan agar peremajaan bisa terus dilakukan.
Masalahnya sekarang harga pinang di pasaran itu jatuh. Dari Rp 15.000 per kilogram tahun lalu, sekarang menjadi Rp 4.000 per kg saat ini.
Amiruddin, perwakilan eksportir mengatakan, pinang yang diekspor ini dikumpulkan dari petani selama beberapa waktu terakhir. Sebelumnya, pihaknya lebih sering mengirim pinang ke Jawa dan Sumatera. Kemudahan ekspor yang terbuka memacu pengusaha lokal untuk ikut melakukan ekspor.
Terkait kontinuitas, ia percaya ekspor pinang bisa berkelanjutan. Saat ini pihaknya masih memiliki stok puluhan ton yang siap untuk dikemas dan bisa dikirimkan kembali. ”Masalahnya sekarang harga pinang di pasaran itu jatuh. Dari Rp 15.000 per kilogram tahun lalu, sekarang menjadi Rp 4.000 per kg saat ini. Kami berharap ekspor pinang bisa membuat pengolahan pinang semakin bergairah,” tuturnya.