Cegah Nyawa Melayang lewat Perbaikan Moda Angkutan Desa
Kecelakaan truk di Jabar terjadi karena minimnya angkutan umum di perdesaan dan kurangnya penegakan hukum.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
Kecelakaan truk yang digunakan mengangkut manusia rawan terjadi di Jawa Barat. Salah satu pemicunya, warga, khususnya di wilayah perdesaan, kesulitan mendapat sarana transportasi murah dan layak.
Lima warga dari Desa Citalem, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, duduk berselonjor di halaman ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jumat (26/1/2024) siang. Cemas dan sedih sulit hilang dari wajah-wajah mereka. Ada orang terdekat yang mereka nantikan kabar baiknya pascapetaka beberapa jam sebelumnya.
Kejadian naas itu terjadi Jumat dini hari, sekitar pukul 01.00. Truk yang ditumpangi 27 warga Desa Citalem mengalami kecelakaan di sekitar Desa Saguling, Bandung Barat. Lokasi kejadian yang sekitarnya berkontur naik turun dan penuh kelokan itu berjarak lebih kurang 20 kilometer dari Citalem.
Pengemudinya, Heri Sudrajat, tidak bisa mengendalikan truk saat melintasi jalan menurun tanpa penerangan jalan. Akibatnya fatal. Truk bernomor polisi D 8304 WY itu terbalik dan memakan korban jiwa.
Tiga korban tewas di lokasi kejadian. Adapun dua orang lainnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Heri dan 22 penumpang lain selamat meski terluka ringan dan berat. Mayoritas korban mengalami luka trauma di kepala. Sebanyak 12 orang dirawat di RSHS. Empat korban di antaranya harus menjalani operasi karena mengalami pendarahan di otak.
Kami tak punya pilihan selain menggunakan truk. Sulit mengandalkan angkutan umum. Selain minim, biayanya terlalu mahal bagi warga desa seperti kami. (Deni Rahma Sopian)
Deni Rahma Sopian (30), warga Citalem yang datang ke RSHS, mengatakan, sebagian besar korban tewas dan dirawat adalah saudara dan tetangga warga RW 008 dan RW 009 di Desa Citalem. Sembari menunggu kerabatnya yang masih dirawat, Deni bercerita kehilangan Ayim, tetangga sekaligus guru mengajinya.
Menurut Deni, pertemuan terakhirnya dengan Ayim pada Kamis sore, beberapa jam sebelum kejadian. Deni ikut mengantar beberapa kerabatnya pergi menuju pengajian di Cianjur.
”Awalnya saya juga diajak ikut. Tapi, kebetulan ada pekerjaan sekolah yang harus diselesaikan. Tidak menyangka beberapa jam kemudian, sekitar pukul 02.00, saya mendengar rombongan itu kecelakaan di perjalanan pulang,” kata guru di madrasah tsnawiyah di Cipongkor ini.
Kini, saat keluarga korban selamat menantikan kesembuhan, kasus ini ditangani Satuan Lalu Lintas Polres Cimahi. Polisi telah mengambil keterangan dari lima saksi mata terkait kronologi peristiwa tersebut. Diduga truk rem tak berfungsi saat melintasi jalan menurun dengan kondisi yang curam.
”Dari keterangan sejumlah saksi mata, truk hilang kendali saat melewati jalan menurun hingga terbalik,” ujar Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Jabar Ajun Komisaris Besar Edwin Afandi.
Minim angkutan
Jauh dari ideal, truk yang digunakan untuk mengangkut manusia itu bisa dibilang pilihan di tengah keterbatasan. Para korban, yang kebanyakan petani gurem, tidak punya cukup uang untuk menyewa bus atau kendaraan yang lebih layak.
Bahkan, truk dipilih karena punya salah seorang warga Citalem. Tidak perlu uang sewa, warga hanya perlu iuran membeli solar.
”Kami tak punya pilihan selain menggunakan truk. Sulit mengandalkan angkutan umum. Selain minim, biayanya terlalu mahal bagi warga desa seperti kami,” ungkap Deni.
Nestapa yang dialami sebagian warga Citalem itu rentan dialami masyarakat yang tinggal di perdesaan lainnya di Jabar. Dari laman jabarprov.go.id, 1.568 desa di Jabar belum memiliki angkutan umum. Total ada 5.957 desa di Jabar tahun 2022.
Kondisi itu butuh perbaikan. Saat ini jumlah penduduk di Jabar berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 tercatat 49,40 juta jiwa. Namun, tidak semuanya sejahtera.
Data BPS hingga September 2022, tercatat 4,05 juta penduduk kategori miskin. Sebanyak 9,75 persen dari penduduk miskin tinggal di perdesaan.
Pengamat transportasi publik dari Institut Teknologi Bandung, Sony Sulaksono, mengatakan, ada tiga faktor yang memicu penggunaan truk untuk mengangkut manusia. Pertama, minimnya kesadaran warga untuk menggunakan angkutan umum yang aman. Kedua, rendahnya ketersediaan angkutan umum di wilayah perdesaan. Kondisi itu, kata Sony, dinilai belum menjadi perhatian pemerintah.
”Ketiga adalah upaya penegakan hukum yang belum optimal. Diperlukan ketegasan dari aparat untuk mencegah penggunaan truk untuk mengangkut penumpang,” kata Sony.
Pakar transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, memaparkan, Pasal 303 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan telah menegaskan larangan truk digunakan sebagai angkutan untuk membawa penumpang. Truk hanya boleh digunakan mengangkut penumpang untuk evakuasi warga di lokasi bencana alam dan pengerahan aparat keamanan.
”Penggunaan truk sebagai angkutan warga diakibatkan krisis transportasi umum di perdesaan. Ketiga calon presiden dalam Pemilu 2024 harus menjadikan penyediaan angkutan umum perdesaan sebagai salah satu program prioritas,” ucap Djoko.
Duka akibat pelanggaran lalu lintas terus terjadi lewat berbagai kejadian. Pelajaran penting harus dipetik. Aturan tegas harus ditegakkan. Pemenuhan hak warga hingga ke pelosok desa mesti diperhatikan.