Pertama sejak Hilirisasi, Nilai Ekspor Nikel Sultra Merosot 19 Persen
Pertama kali semenjak hilirisasi nikel dimulai, nilai ekspor Sultra turun. Pemerintah dituntut waspada.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Untuk kali pertama sejak hilirisasi berlangsung, nilai ekspor Sulawesi Tenggara merosot mencapai 19 persen. Penurunan terjadi karena berkurangnya permintaan dan turunnya harga nikel dunia. Pemerintah terus dituntut untuk waspada serta menyegerakan pengembangan sektor pertanian dan kelautan
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra, selama 2023 total nilai ekspor Sultra sebesar 4,35 miliar dollar AS atau sekitar Rp 66,9 triliun dalam kurs Rp 15.400 per dollar AS. Nilai ini diperoleh dari volume ekspor 2,48 juta ton, yang 99,7 persen di antaranya adalah olahan nikel.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Disperindag Sultra Nur Adnan Hadi menerangkan, nilai total ekspor tersebut turun jika dibandingkan dengan medio 2022. Penurunan mencapai 19 persen, di mana nilai ekspor tahun sebelumnya mencapai 5,37 miliar dollar AS atau Rp 82,6 triliun.
”Pada 2023 ini nilai ekspor turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selama tiga tahun sebelumnya selalu naik, utamanya sejak hilirisasi nikel berlangsung,” kata Adnan, di Kendari, Kamis (25/1/2024).
Sejak 2020, ekspor bijih nikel telah dilarang oleh pemerintah. Pengusaha harus mengolah nikel melalui fasilitas pengolahan dan pemurnian. Sejak itu, ekspor Sultra terus naik, yaitu 2,23 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 4,24 miliar dollar AS pada 2021, dan 5,37 miliar dollar AS pada 2022. Tren yang meningkat itu terhenti dan mulai turun pada 2023. Nilai ekspor yang dihitung Disperindag Sultra berdasarkan surat keterangan asal (SKA) yang dilaporkan secara berkala oleh eksportir.
Menurut Adnan, hal ini terjadi karena penurunan permintaan olahan nikel, khususnya dari China. Tidak hanya itu, nilai komoditas olahan nikel juga turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sementara harga bahan baku relatif stabil.
Ia mencontohkan, harga rata-rata stainless steel tahun 2022 yaitu 2.180 dollar AS per metrik ton atau di 2023 senilai 1.877 dollar AS per metrik ton. Hal yang sama terjadi pada produk feronikel yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Ekspor Sultra, ia melanjutkan, 99 persen merupakan hasil pengolahan nikel, terutama feronikel. Produk ini dihasilkan dari industri pengolahan di kawasan industri di Morosi, Konawe. Hasil pengolahan lalu sebagian besar dikirim ke China, disusul sejumlah negara lain, seperti Amerika Serikat, India, dan Australia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Haykal Hubeis menuturkan, permintaan pasokan nikel selama 2023 memang tidak bertumbuh seperti sebelumnya. Hal ini terjadi akibat adanya kontraksi ekonomi di negara mitra utama, seperti China, dan negara lainnya.
Ada perubahan pola produksi oleh pelaku dan investor yang terjadi serta diikuti oleh permintaan dan harga yang berubah.
Selain itu, produk yang dihasilkan yang sebagian besar baru tahap pertama, sangat bergantung pada permintaan pengguna yang membentuk komoditas tersebut menjadi produk lain. ”Sementara mereka juga terganggu secara ekonomi, ataupun politik. kondisi ini tidak hanya terjadi di nikel, tetapi juga komoditas lainnya. Kalau dibilang mencemaskan, memang situasinya seperti itu,” kata Haykal.
Kondisi ini, ia memprediksi, akan terus berlanjut hingga semester pertama di 2024. Terlebih lagi, kondisi politik, baik dalam maupun luar negeri, masih sangat dinamis. Ia berharap situasi jauh lebih membaik di semester kedua tahun ini.
Sejumlah langkah antisipasi telah diupayakan tiap-tiap perusahaan. Namun, hal ini harus diikuti perhatian dan bantuan pemerintah. Mulai dari regulasi hingga pemanfaatan pada bahan baku untuk menjaga kesinambungan produksi.
Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Syamsir Nur menjabarkan, turunnya nilai ekspor nikel ini patut untuk diwaspadai. Sebab, situasi ini menunjukkan adanya perubahan pola pasar yang bisa berimbas pada berbagai sektor turunan di wilayah Sultra.
”Ada perubahan pola produksi oleh pelaku dan investor yang terjadi, diikuti oleh permintaan dan harga yang berubah. Ini yang perlu dilihat secara lebih luas oleh pemerintah daerah khususnya,” kata Syamsir.
Selama ini, ia menjelaskan, postur ekonomi Sultra didominasi pertambangan dan industri nikel. Hilirisasi nikel yang berlangsung selama empat tahun terakhir membuka keran baru industrialisasi nikel yang berefek pada banyak hal. Sumbangan ekonomi sektor ini pun melejit. Sektor logistik, transportasi, hingga komsumsi juga turut meningkat.
Penurunan nilai ekspor yang terjadi akan berdampak pada tidak tercapainya target secara menyeluruh. Lebih dari itu, adalah adanya kehilangan pendapatan, berkurangnya dana bagi hasil, dan imbas turunan lainnya.
”Hilirisasi nikel menjadi instrumen untuk meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, hingga menurunkan kemiskinan. Tapi, ternyata tidak seperti yang kita bayangkan, dan sektor pertanian dan perikanan semakin tertinggal. Ini yang perlu kita waspadai,” ucapnya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah mengambil langkah antisipasi sejak dini. Pertambangan dan hilirisasi nikel seharusnya menjadi pengungkit untuk mengembangkan sektor utama yang kini mulai ditinggalkan.
Berdasarkan kajiannya, periode 2010-2021, kontribusi sektor pertanian terus mengalami penurunan. Pada 2010, kontribusi sektor ini terhadap PDRB Sultra mencapai 28,39 persen. Angka ini terus turun setiap tahun sehingga menjadi 22,87 persen pada 2021.