Menanti Keseriusan Mengungkap Kasus Ledakan Smelter di Morowali
Lambannya penyidikan kasus ledakan smelter di Morowali yang menewaskan 21 orang membuat keseriusan polisi dipertanyakan.
Lebih dari sebulan pascaledakan smelter di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel yang menewaskan 21 pekerja, belum ada kejelasan proses penyidikannya. Padahal, polisi telah menaikkan status ke penyidikan sejak awal Januari 2024, dilanjutkan gelar perkara tertutup. Hingga kini, belum ada satu pun yang ditetapkan sebagai tersangka.
Ledakan dahsyat terjadi di tungku smelter di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), salah satu perusahaan yang beroperasi di kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Minggu (24/12/2023). Kejadian itu menyebabkan 21 orang meninggal dan puluhan lainnya terluka.
Saat itu, Media Relations Head PT IMIP Dedy Kurniawan mengatakan, insiden terjadi karena adanya sisa slag atau ampas peleburan logam pada tungku. Pada saat yang sama, pekerja melakukan perbaikan dan pemeliharaan tungku.
Pascainsiden itu, polisi menyelidiki kasus secara intensif. Sejumlah 27 orang diperiksa terkait penyelidikan awal. Para saksi ini terdiri atas pihak manajemen, karyawan, korban, serta dua saksi ahli, masing-masing ahli ketenagakerjaan dan ahli pidana.
Pada Rabu (3/1/2024) dilakukan gelar perkara tertutup di Markas Polda Sulteng. Dari gelar perkara itu, polisi menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan. Namun, belum ada penetapan tersangka.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Komisaris Besar Djoko Wienartono menyatakan, dalam gelar perkara awal tak diiringi penetapan tersangka. Alasannya, polisi masih membutuhkan penyelidikan lanjutan. Alat bukti dan petunjuk lain, termasuk saksi lainnya, juga akan dicari. Dugaan pelanggaran standar operasional juga masih didalami.
”Dengan naiknya status penyelidikan ke penyidikan, pemeriksaan saksi dalam berita acara pemeriksaan sudah bersifat pro yustisia,” katanya, Rabu (24/1/2024).
Baca juga: Penyidikan Kasus Ledakan Smelter Morowali, Polisi Belum Tetapkan Tersangkanya
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof Amir Ilyas berpendapat, saat memasuki tahapan penyidikan, semestinya penyidik menetapkan tersangka. ”Karena saat ditingkatkan ke penyidikan, berarti sudah ada perbuatan pidana dalam kasus tersebut,” katanya, Kamis (25/1/2024).
Dalam penegakan hukum kasus ini, menurut Amir, pertanggungjawaban pidananya bisa menyentuh pimpinan perusahaan. Caranya dengan menerapkan Pasal 359 dan Pasal 360 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Penerapan pasal ini dengan dasar pimpinan perusahaan lalai dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di perusahaannya.
Dalam berbagai kasus kecelakaan pekerja pada perusahaan, bisa juga digunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, ketentuan ini dinilai Amir lebih memihak perusahaan daripada pekerja itu sendiri.
”UU No 13/2003 dapat dikatakan jauh lebih mengedepankan sanksi administrasi ketimbang jerat pidana bagi perusahaan yang tidak menerapkan K3,” katanya.
Dalam praktik kasus pengabaian K3, acap kali sulit dibuktikan soal keturutsertaan pimpinan perusahaan. Ujungnya kerap hanya mencari tumbal pekerja lapangan dengan berbagai alasan, di antaranya kesalahan manusia. Meski demikian, dalam kasus ledakan tungku milik PT ITSS ada sejumlah hal yang bisa dipertimbangkan penyidik.
”Pada kasus PT ITSS memang ditengarai belum memiliki sertifikat sistem manajemen K3. Padahal, PT ITSS adalah perusahaan dengan jumlah karyawan lebih dari 100 orang (PP No 50/2012). Selain itu, delapan tungku milik PT ITSS ternyata juga tidak memiliki sertifikat uji kelayakan dari Kementerian Ketenagakerjaan,” katanya.
Baca juga: Pemerintah Didesak Bentuk Tim Investigasi Independen Ledakan Smelter di Morowali
Ketiadaan sistem manajemen K3 dan uji kelayakan tungku itu, menurut Amir, seharusnya menjadi bahan telaah bagi penyidik jika memang benar-benar serius hendak menyeret pimpinan perusahaan dalam jerat pidana atas perlindungan pekerja.
Delapan tungku milik PT ITSS ternyata juga tidak memiliki sertifikat uji kelayakan dari Kementerian Ketenagakerjaan.
Infografik Kawasan Industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)
Langgar prosedur
Jika polisi masih menyebut akan mendalami dugaan pelanggaran standar operasional, Kementerian Perindustrian menyatakan telah menemukan adanya pelanggaran prosedur kerja dalam kasus ledakan smelter di PT ITSS. Pelanggaran itu antara lain pergantian pekerja asing yang tidak sesuai dengan kontrak dan tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali (Kompas, 4/1/2024).
Baca juga: Menteri Perindustrian: Smelter Morowali Langgar Prosedur
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pelanggaran itu mempersulit komunikasi dan koordinasi kerja. Situasi itu akhirnya mengarah pada pengoperasian yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga menyebabkan kecelakaan kerja.
”Ada proses pergantian tenaga kerja asing yang tidak berjalan sesuai dengan kontraknya. Mereka pekerja baru yang belum memahami kultur dan bahasa Indonesia sehingga tidak optimal dalam koordinasi dan komunikasi,” ujar Agus di Jakarta, Rabu (3/1/2024).
Dia juga mengatakan, jauh sebelum terjadi ledakan pada akhir Desember lalu, pihaknya sudah menyisir operasionalisasi smelter-smelter yang merupakan penanaman modal asing (PMA) dari China untuk pengawasan dan pengendalian operasional.
Dalam langkah sejak November itu, Kementerian Perindustrian menemukan banyak pelanggaran prosedur kerja yang mengarah pada pelanggaran operasional yang bisa menyebabkan kecelakaan kerja.
Terus berulang
Kecelakaan kerja di industri tambang di Morowali, bagi sebagian pekerja bahkan warga sekitar, dinilai bukan lagi hal baru. Setiap saat ada saja insiden yang terjadi, entah kecil atau besar.
Baca juga: Tungku Smelter di Morowali Terbakar, Kecelakaan Kerja Terus Terulang
”Pokoknya kalau ada lagi bunyi ambulans dari Bahodopi, biasanya ada insiden lagi. Sudah sering,” kata seorang warga Bahodopi yang meminta namanya tak disebutkan.
Akhir Desember lalu saja, dalam sepekan, terjadi tiga kali kecelakaan kerja. Dimulai dari ledakan tungku smelter di kawasan PT ITSS, Minggu (24/12/2023) sekitar pukul 05.30 Wita. Ledakan diduga dipicu sisa slag yang masih ada di tungku. Sebanyak 21 pekerja tewas dan puluhan lain terluka.
Insiden berikutnya ialah kebakaran smelter di PT Gunbuster Nickel Industry pada Kamis (28/12/2023) pukul 17.20 Wita. Kebakaran terjadi di lantai 2 jalur 3 PT GNI di Desa Bunta Kecamatan Petasia Timur, Morowali Utara. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
Di pengujung tahun, insiden lain terjadi di perusahaan tambang PT Sumber Permata Mineral di Petasia Timur, Morowali Utara, Sabtu (30/12/2023). Peristiwa ini menyebabkan dua pekerja tewas tertimbun.
Kecelakaan kembali terjadi di kawasan IMIP pada Jumat (19/1/2024) malam. Saat itu, tungku smelter di PT Sulawesi Mining Investment meluap. Dua pekerja terluka.
Dari rentetan kasus itu, publik menyoroti kasus kecelakaan kerja di PT ITSS yang menimbulkan korban jiwa cukup banyak. Apalagi, sebulan setelah pengusutan kasus itu dilakukan, polisi belum juga menetapkan tersangka.
Baca juga: Polisi Kantongi Nama Tersangka Ledakan Smelter Morowali
Permintaan wawancara dan pertanyaan Kompas pada Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal Agus Nugroho terkait tindak lanjut penyidikan tak direspons sejak dua pekan lalu. Begitu pun dengan Kabid Humas Polda Sulteng.
Adapun Kapolres Morowali Ajun Komisaris Besar Suprianto mengatakan, penyidikan masih dalam proses. ”Masih berproses. Untuk penetapan tersangka, belum dilaksanakan. Penyidik masih melengkapi pemeriksaan termasuk pemeriksaan saksi ahli,” katanya.
Terlepas dari itu, Amir Ilyas berharap penanganan kasus ini mengedepankan hukum dalam tujuan dan sisi keadilan. Penegakan hukum diharapkan tidak terderogasi dengan ketentuan-ketentuan pidana yang sifatnya lex specialist.
”Kerap kali dengan ketentuan yang lex generalist pun harus terterima sebagai hukum yang utama. (Ini) Demi proporsionalnya pertanggungjawaban pidana atas sebuah kebijakan korporasi yang abai terhadap keselamatan dan kesehatan pekerjanya,” katanya.