Proses perencanaan pembangunan desa perlu melibatkan warga dan masyarakat adat.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Proses perencanaan pembangunan desa perlu melibatkan warga dan masyarakat adat. Selain itu, dana desa dialokasikan pula untuk pengembangan wilayah adat atau hutan adat. Dengan demikian, pengakuan atas keberadaan masyarakat adat bisa lebih kuat.
Hal ini menjadi salah satu poin rekomendasi dari diskusi yang diselenggarakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan. Diskusi dengan tema ”Mendorong Kolaborasi Para Pihak untuk Mendukung Upaya Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Sulawesi Selatan” ini digelar di Makassar, Kamis (25/1/2024).
Rachman Said, Kepala Bidang Pemerintahan Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Sulsel mengatakan, dana desa sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat adat.
”Di desa itu, pemegang kekuasaan tertinggi adalah musyawarah desa, di antaranya untuk menyusun RPJM (rencana pembangunan jangka menengah) desa. Harapannya program pemberdayaan termasuk untuk masyarakat adat bisa masuk dalam RPJM desa,” kata Rachman.
Oleh karena itu, tambahnya, lembaga adat wajib dilibatkan dalam penyusunan RPJM desa. Masyarakat atau lembaga adat juga harus proaktif terlibat. Sering kali yang terjadi mereka kerap diundang, tetapi tidak datang. Kalaupun datang, mereka tak memberi banyak masukan.
Rachman menambahkan, walau ada aturan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, pemanfaatan dana desa juga bisa lebih fleksibel. Pemanfaatannya bisa disesuaikan atau dikompensasi ke kebutuhan yang lebih sesuai atau dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk masyarakat adat.
Andi Buyung Saputra, Ketua Dewan AMAN Sulsel, mencontohkan, beberapa desa ada yang sudah membuat musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) adat sebelum musrenbang desa. ”Di komunitas adat Kajang, itu sudah dilakukan. Musrenbang adat membuat masyarakat adat menjadi subyek pembangunan, bukan lagi obyek. Dalam pemanfaatan dana desa, ada banyak program mandatori dari pusat yang dikonversi sesuai kebutuhan dan kearifan lokal,” katanya.
Dia mencontohkan program bedah rumah. Di Kajang, semen pun tak bisa masuk ke kawasan. Maka, program ini dikonversi ke kebutuhan lain, misalnya pembangunan jalan rabat beton di sekitar kawasan.
”Musrenbang adat jadi bagian tak terpisahkan dari RKPD dan RPJMD, tetapi harus didukung oleh struktur adat, kebiasaan, kearifan. Di Kajang, ada banyak persoalan yang bisa diselesaikan dengan keterlibatan lembaga adat ketimbang hukum positif,” katanya.
Armansyah Dore, fungsional analis kebijakan Bappeda Sulawesi Barat yang juga kerap melakukan kajian terkait masyarakat adat, mengatakan, penguatan masyarakat atau lembaga adat penting.
”Ada banyak kejadian ada kawasan yang dihuni masyarakat adat, tetapi tidak punya sekolah. Mereka menggunakan bangunan sederhana dan itu berlangsung bertahun-tahun. Makanya, untuk menguatkan lembaga adat, penting untuk mendokumentasikan struktur dan berbagai data terkait masyarakat adat,” tuturnya.
Dia mendorong agar komunitas adat membuat dokumentasi terkait sejarah dan struktur serta memasukkan ke basis data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal ini agar keberadaan lembaga adat diketahui, termasuk batas wilayahnya.
“Jika terdata, akan bisa jadi pertimbangan, misalnya dalam penyusunan program pembangunan. Sebagai contoh, misalnya, akan ada pembangunan kawasan industri. Jika diketahui di suatu kawasan ada masyarajat adat, pembangunan bisa dipertimbangkan agar tidak mengganggu kawasan itu,” katanya.
Oleh karena itu, diskusi ini juga merekomendasikan penguatan dan pendokumentasian pranata adat atau lembaga dan hukum adat. Selain itu, melakukan koordinasi intensif para pihak, yakni pemerintah provinsi, kabupaten, dan organisasi masyarakat, termasuk masyarakat adat.