logo Kompas.id
NusantaraMencari Penuntas Janji Reforma...
Iklan

Mencari Penuntas Janji Reforma Agraria

Sejumlah kalangan menginginkan sosok presiden dan wakil presiden yang mampu menuntaskan problem reforma agraria.

Oleh
HENDRIYO WDI, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, PRADIPTA PANDU MUSTIKA
· 5 menit baca
Sawari (tengah) dan petani lain dari Desa Gunung Anten, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (7/1/2024), saat menunjukkan sertifikat tanah skema hak kepemilikan bersama atau komunal.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU

Sawari (tengah) dan petani lain dari Desa Gunung Anten, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (7/1/2024), saat menunjukkan sertifikat tanah skema hak kepemilikan bersama atau komunal.

JAKARTA, KOMPAS — Janji politik terkait reforma agraria melalui penyelesaian konflik dan redistribusi tanah kepada rakyat, khususnya petani, nelayan, dan masyarakat miskin perdesaan/perkotaan, dinilai belum terwujud. Kendati tersusun rapi pada visi, misi, dan program kerja pemerintah, capaiannya belum sesuai harapan.

Di tengah transisi kepemimpinan, sejumlah kalangan menginginkan sosok presiden dan wakil presiden yang mampu menuntaskan persoalan dan menunaikan janji itu. Mereka juga berharap pemerintah meluruskan dan mengoreksi paradigma, kebijakan, dan praktik reforma agraria selama ini.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Harapan itu disuarakan oleh petani, penggarap lahan, dan masyarakat yang turun-temurun tinggal di lahan-lahan yang diidentifikasi sebagai obyek reforma agraria. Kompas menemui mereka di sejumlah daerah dalam rangkaian liputan terkait reforma agraria selama kurun 6-15 Januari 2024.

Mereka, antara lain, adalah warga yang tinggal dan menggarap lahan di kawasan Register 1 Way Pisang, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung; Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan; tanah sedimentasi di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah; Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara; serta sejumlah desa di kaki Gunung Cikuray, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

https://cdn-assetd.kompas.id/KSx1rrx5zDAChXdpI2vyRrm-gOg=/1024x1331/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F15%2F4d9c8e5a-6e61-494b-afa0-d77277d64a58_png.png

Baca juga: Terus Diwariskan, Konflik Agraria Tak Berkesudahan

Harapan senada disampaikan masyarakat di Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali; Siria-Ria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; Siantar Martoba dan Siantar Sitalasari, Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara; Loh Liang Pulau Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur; serta Batulawang, Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menyebut, sepanjang 2014-2023, realisasi legalisasi aset telah mencapai 110,5 juta bidang tanah. Adapun redistribusi tanah di kawasan hutan terealisasi 379.621,85 hektar atau 9,26 persen dari target 4,1 juta ha.

Capaian reforma agraria itu baru sebatas legalisasi aset atau sertifikasi.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, Rabu (24/1/2023), menilai, capaian reforma agraria itu baru sebatas legalisasi aset atau sertifikasi. Reforma agraria itu nyaris tak menyentuh redistribusi tanah melalui penyelesaian konflik-konflik agraria.

Padahal, KPA telah merekomendasikan 851 lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) di lahan seluas total 1,68 juta ha untuk diselesaikan konfliknya. Dari jumlah itu, 589 LPRA (1,28 juta ha) bertipologi konflik perkebunan dan 262 LPRA (405.224 ha) bertipologi konflik perhutanan.

”Sembilan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, baru 21 LPRA yang telah dirampungkan persoalannya dan diurus redistribusi tanahnya serta 2 LPRA yang tengah dipersiapkan redistribusinya. Itu pun mayoritas eks HGU (hak guna usaha) perusahaan swasta. Sisanya, 830 LPRA, masih belum kelar,” katanya di Jakarta.

Sejumlah petani berjalan menuju lahannya di Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (13/1/2024). Di lahan mereka, akar wangi menjadi komoditas unggulan dengan nilai ekspor.
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Sejumlah petani berjalan menuju lahannya di Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (13/1/2024). Di lahan mereka, akar wangi menjadi komoditas unggulan dengan nilai ekspor.

Ketimpangan lahan

Di samping itu, lanjut Dewi, koreksi atas ketimpangan kepemilikan tanah juga tidak ada. Hal itu terutama ditunjukkan dengan bertambahnya petani gurem atau petani dengan lahan di bawah 0,5 ha dalam satu dekade terakhir.

Hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) Tahap I menunjukkan, jumlah petani gurem di Indonesia bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Proporsi rumah tangga petani gurem terhadap total rumah tangga petani di Indonesia juga meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023.

Iklan

”Padahal, jika sejak awal masa pemerintahan redistribusi lahan berpihak kepada petani gurem, jumlah petani gurem justru dapat berkurang. Yang terjadi saat ini, jumlahnya justru bertambah 2,64 juta rumah tangga,” katanya.

Baca juga: Sembilan Tahun Berjalan, Capaian Reforma Agraria Masih Timpang

Menurut Dewi, yang selama ini terjadi justru muncul konflik-konflik agraria baru, termasuk dalam proyek strategis nasional (PSN) pascaimplementasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Perampasan tanah (land grabbing) marak demi pembangunan infrastruktur dan konsesi investasi.

Luas lahan pertanian pangan juga semakin susut karena terkonvensi menjadi non-sawah. Merujuk data Auriga, luas sawah di Indonesia berkurang dari sekitar 10 juta ha pada 2018 menjadi 9,88 ha pada 2022. Pergantian atau penambahan lahan-lahan pangan baru, seperti program food estate, juga tidak berjalan mulus, bahkan merusak lingkungan.

https://cdn-assetd.kompas.id/cfaGQX0iDGYfRS2L3Uy3GO8bQtY=/1024x1518/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F24%2F0ad5f28f-d878-44f8-a32d-ce2f8b71163e_png.png

Untuk itu, lanjut Dewi, KPA berharap presiden terpilih nanti mampu menyelesaikan sejumlah warisan persoalan reforma agraria dari pemerintah sebelumnya. Presiden terpilih tersebut harus mampu meluruskan reforma agraria dan mengembalikan konstitusi agraria.

Konsepsi ekonomi liberal asset reform atau plus access reform harus dikembalikan pada land reform yang disempurnakan. Artinya, pemenuhan, pemulihan, dan pengakuan hak atas tanah bagi rakyat secara penuh dilakukan bersamaan dan terintegrasi dengan penguatan basis ekonomi, produksi, distribusi, dan konsumsi rakyat.

Dualisme rezim pertanahan, pesisir, dan kelautan (hutan dan nonhutan) perlu dihapus dan diubah menjadi sistem pertanahan nasional tunggal sebagaimana prinsip Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Di samping itu, susun dan sahkan rancangan UU reforma agraria berdasarkan usulan gerakan reforma agraria.

”Badan Otoritas Reforma Agraria juga perlu dibentuk. Badan yang bertanggung jawab langsung pada presiden tersebut tidak hanya mengoordinasi, tetapi juga menyelesaikan dan memutuskan penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah, dan mengintegrasikan reforma agraria dengan program penguatan ekonomi,” kata Dewi.

Suasana saat para calon wakil presiden tampil dalam Debat Keempat Calon Wakil Presiden Pemilu Tahun 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana saat para calon wakil presiden tampil dalam Debat Keempat Calon Wakil Presiden Pemilu Tahun 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Respons pemerintah

Di Wonosobo, Jawa Tengah, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menuturkan, reforma agraria bukan tanggung jawab Kementerian ATR/BPN saja, tetapi juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sepanjang tahun 2014-2023, Kementerian ATR/BPN telah merealisasikan redistribusi tanah eks HGU melebihi target, yakni mencapai 358,23 persen.

Menurut dia, yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah pelepasan kawasan hutan yang kini baru mencapai 9,26 persen. Hal ini yang akan dikoordinasikan secara intensif antara Kementerian ATR/BPN dengan KLHK dan KKP pada 2024.

”Saya akan memohon kepada KLHK untuk melepas tanah di 21.385 desa di kawasan hutan dan menyerahkannya kepada rakyat melalui redistribusi tanah. Kami bersama KKP juga akan bekerja sama untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat yang hidup di wilayah pesisir,” ujarnya, melalui keterangan pers, Senin (22/1/2024).

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, KLHK meredistribusi tanah dengan obyek yang diambil dari hutan-hutan yang sudah diduduki masyarakat. Ia menyebut KLHK juga sebenarnya sudah menyiapkan lahan di kawasan hutan seluas 2,8 juta hektar untuk dilepas sebagai tanah obyek reforma agraria (TORA).

https://cdn-assetd.kompas.id/bEWfSOunayqkeaf6GEm_zdgl05Y=/1024x1136/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F24%2Fc5555246-7a52-4b67-9624-f7b215da200f_png.png

Akan tetapi, kata Siti, pelepasan kawasan hutan tersebut masih perlu didetailkan secara rinci dengan kementerian/lembaga terkait lainnya. Ia pun menegaskan akan menjalin komunikasi kembali dengan Kementerian ATR/BPN untuk mendetailkan pelepasan kawasan hutan tersebut.

"Dalam rangka mendetailkan pelepasan kawasan tersebut nantinya akan dilakukan pilot project di lima daerah sambil dilihat metodenya," katanya.

Baca juga: Mengurai Regulasi, Menanti Janji Redistribusi

Editor:
MUKHAMAD KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000