Ironi Surabaya, Darurat Kejahatan Seksual di Kota Ramah Anak
Kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak yang bermunculan di Surabaya, Jawa Timur, patut jadi keprihatinan bersama.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Kehidupan sosial, terutama anak-anak, di Surabaya, Jawa Timur, kembali tidak baik-baik saja. Kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak bermunculan. Padahal, Surabaya satu-satunya metropolitan di Indonesia yang menyandang status kota layak anak utama, bahkan selama enam tahun beruntun.
Dalam empat hari ini terungkap kasus kejahatan seksual terhadap BS (13), siswi kelas VII SMP. Ia menjadi korban pemerkosaan oleh kakak, ayah, dan dua paman di kediamannya di Tegalsari. Kasus itu ditangani Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Korban dan ibunda, NR (40), dalam pemulihan dan bantuan psikologis di rumah aman Pemerintah Kota Surabaya.
Dalam pengungkapan kasus, Senin (22/1/2024), Polrestabes Surabaya mengumumkan menahan ayah dan dua paman BS sebagai tersangka kasus kejahatan seksual. Kakak korban yang kelas X SMA tidak dijebloskan di ruang tahanan polisi, tetapi dititipkan di rumah aman lainnya dan wajib lapor.
Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Hendro Sukmono, tim penyidik juga mengungkap dua kasus lain kejahatan seksual terhadap anak. ”Kasus kejahatan seksual terhadap anak menjadi atensi mengingat terus-menerus terjadi,” katanya.
Sebelum kasus yang menimpa BS, dalam catatan Polrestabes Surabaya, ada penanganan 73 kasus serupa. Jumlah ini masih di bawah catatan pemerintah, tahun lalu, yakni 180 kasus kekerasan dan kejahatan terhadap anak dan perempuan di Surabaya.
Adapun kasus lain menimpa anak usia 4 tahun di Tenggilis Mejoyo. Anak ini menjadi korban pelecehan dan pencabulan seorang kuli bangunan berinisial MM (21). Tindakan jahat itu terjadi di pemondokan pelaku di Tenggilis Kauman. Kasus terungkap setelah korban bercerita kepada orangtua bahwa mendapat perlakuan tidak baik dari pelaku yang juga tetangga. Orangtua kemudian melapor ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).
Juga ada kasus kejahatan seksual yang dialami AA (16), siswi kelas X SMK. Ia menjadi korban pemerkosaan seorang lelaki yang diduga anggota TNI di suatu hotel di Jalan Pasar Kembang, Senin (22/1/2024). Kasus ini dilaporkan ke Kepolisian Sektor Sawahan. Oknum pelaku telah ditangkap dan dibawa untuk diperiksa oleh Polisi Militer.
”Kami berkoordinasi dengan Polisi Militer untuk penyelidikan kasus itu,” kata Hendro.
Namun, hingga Selasa ini belum diketahui dari satuan apa oknum anggota TNI pelaku pemerkosaan itu. Apakah dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, atau Angkatan Udara. Polrestabes Surabaya belum mengungkap identitas oknum itu karena merupakan kewenangan Polisi Militer yang kini menyelidiki kasus tersebut.
Janganlah mendahulukan status layak anak, tetapi kurang maksimal dalam penanganan kehidupan sosial yang dapat menekan potensi kejahatan seksual terhadap anak.
Ayah korban AA, yakni LSA, di Polsek Sawahan, mengaku terpukul atas kondisi yang dialami putrinya. Korban dan pelaku tidak saling kenal. Korban dibawa oleh pelaku saat berada di tepi Jalan Pemuda, di depan Monumen Kapal Selam. Korban sedang menunggu temannya untuk pergi ke bank mengambil tabungan beasiswa Pemuda Tangguh Surabaya. Senin pagi itu, korban izin dari sekolah untuk mengambil tabungan dan menunggu teman di tepi Jalan Pemuda.
Saat itulah korban didatangi seorang pengendara sepeda motor yang bertanya arah suatu bank. Tanpa curiga, korban bersedia diajak boncengan untuk menunjukkan bank yang diminta pelaku. Namun, pelaku membawa korban ke suatu hotel dan mengancam siswi itu agar mau menurut. Di hotel terjadi pemerkosaan dan penganiayaan. Korban berhasil lolos setelah memperlihatkan pesan melalui aplikasi percakapan (Whatsapp) ada tugas yang harus segera dikerjakan di sekolah. Korban ditolong oleh staf hotel, pengemudi ojek daring, dan petugas pos polisi yang mengantarnya ke Polsek Sawahan.
Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia Yuliati Umrah, yang kerap menangani anak-anak korban kejahatan seksual, prihatin terhadap kasus serupa yang terjadi dan menimpa anak-anak Surabaya. Predator ialah anggota keluarga, tetangga, atau orang dekat di lingkungan, dan orang lain.
”Artinya, anak-anak kita tidak aman dong, bahkan predatornya keluarga,” kata Yuliati.
Situasi ini diharapkan dapat mengingatkan Pemerintah Kota Surabaya untuk lebih peka dalam penanganan kondisi sosial melalui program-program. Janganlah mendahulukan status layak anak, tetapi kurang maksimal dalam penanganan kehidupan sosial yang dapat menekan potensi kejahatan seksual terhadap anak.
Dari kasus-kasus tersebut, kejahatan seksual terjadi ketika korban tidak dalam pengawasan atau perlindungan. Pemerkosaan terhadap BS oleh anggota keluarga terjadi ketika ibunda harus pergi menjalani perawatan di rumah sakit akibat stroke. Pencabulan terhadap anak di Tenggilis Mejoyo terjadi ketika korban bermain sendiri di luar rumah.
Adapun yang menimpa siswi SMK di Jalan Pemuda menandakan anak yang menjelang dewasa, seorang diri, dan rentan terkena bujuk rayu pelaku kejahatan seksual.