Perdamaian yang kini dirasakan oleh masyarakat Maluku perlu senantiasa dijaga karena sulit untuk meraihnya.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
·5 menit baca
AMBON, KOMPAS — Kedamaian dan keamanan yang kini dinikmati masyarakat Maluku setelah porak poranda pascakonflik 25 tahun lalu perlu terus dirawat. Pimpinan agama dan adat harus senantiasa membekali diri dengan pengetahuan resolusi konflik dan pemahaman keagamaan yang kontekstual.
Pengajar Pendidikan Multikulturalisme Institut Agama Islam Negeri Ambon, Abidin Wakano, menjelaskan, keberhasilan masyarakat Maluku dalam menuntaskan konflik sosial salah satunya berasal dari revitalisasi nilai budaya yang dianut warga jauh sebelum kerusuhan pecah. Budaya persaudaraan antarkelompok masyarakat dan desa dalam sistem pela gandong menjadi inspirasi perdamaian.
Berkaca pada budaya ratusan tahun tersebut, banyak kelompok masyarakat Maluku menjalin hubungan persaudaraan antardesa, tanpa melihat latar belakang agama. Nilai persaudaraan inilah yang menjadi pijakan untuk mempertemukan kelompok yang tercerai-berai.
Kerusuhan di Maluku pertama kali meletus di Kota Ambon, 19 Januari 1999. Pada mulanya, kerusuhan berada di pusat kota Ambon, kemudian menyebar ke pinggiran, lalu ke pulau-pulau di sekitar Pulau Ambon, dan terakhir kembali lagi ke Kota Ambon. Imbasnya, umat beragama Maluku terbelah.
Dalam catatan Kompas, pada Selasa (23/2/1999), serangkaian peristiwa terjadi. Bom rakitan dilaporkan meledak di beberapa tempat di Pulau Ambon. Menurut laporan media massa, bom juga meledak di daerah Batumerah, Desa Tulehu, Desa Waai di Kecamatan Salahutu. Ledakan bom rakitan juga terdengar menggelegar di Desa Batumerah Dalam yang disusul dengan terbakarnya rumah-rumah penduduk.
”Banyak yang menyebut konflik di Maluku baru akan bisa reda dalam waktu 50 tahun, tetapi ternyata lebih cepat dari itu karena masyarakat punya modal sosial perdamaian yang kuat. Raja-raja kita ajak sebagai motor penggerak resolusi konflik. Kerusuhan bisa terjadi karena ulah beberapa provokator yang terus menyebarkan kabar bohong,” ucap Abidin saat ditemui pada Selasa (23/1/2024) di Ambon.
Sistem pela gandong umum ditemui di wilayah Ambon, Maluku Tengah, hingga Pulau Seram. Sistem persaudaraan ini juga dipegang di wilayah lain di Maluku dengan nama berbeda, salah satunya kalwedo di Maluku Barat Daya.
Selain pendekatan adat, pendekatan keagamaan pun ditempuh sebagai upaya penyelesaian konflik. Pada masa konflik, ujaran kebencian yang diserukan di masing-masing mimbar rumah ibadah menambah bara pada konflik yang memanas. Untuk itu, ia bersama pemuka agama Kristen di Maluku menyerukan perlunya rekontekstualisasi teologi.
Menurut Abidin, gesekan antarwarga sulit diredam karena kerap dimotivasi dengan penafsiran melenceng dari ajaran kitab suci di masing-masing agama. Dengan rekontekstualisasi teologi, pimpinan agama diminta untuk mengkhotbahkan kedamaian dan mengevaluasi penafsiran agama yang sengaja digunakan untuk memancing amarah masyarakat.
Tidak hanya itu, pimpinan agama juga diajak untuk merasakan pengalaman hidup harmonis di tengah masyarakat. Kini, suasana Maluku, khususnya Ambon, sudah kondusif dan damai.
”Pimpinan agama diminta berani melakukan otokritik dan mulai mengajarkan peace sermon atau khotbah perdamaian. Para pendeta kita minta tinggal beberapa waktu di rumah umat Islam, ustaz juga tinggal di rumah umat Kristen. Tidak mudah melakukan ini karena banyak ditentang, tetapi perlu keberanian untuk mewujudkan perdamaian,” ujarnya.
Meski Konflik Maluku 1999 bukan dinyatakan sebagai konflik agama, peran agama dalam berkembangnya konflik tetap sentral. Guru Besar Sosiologi dan Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku Jhon Ruhulessin menjelaskan, faktor agama dalam meluasnya konflik Ambon tersebut tidak bisa dihindarkan. Untuk itu, penyelesaian konflik juga harus dilakukan dengan membangun kesadaran kemajemukan dalam beragama.
Tidak mudah untuk menyelesaikan konflik, tetapi perlu keberanian untuk menciptakan kedamaian.
Tokoh agama dari Gereja Protestan Maluku ini menyebut, gereja harus terus membangun kesadaran tersebut. Penyelesaian masalah antarumat beragama tidak boleh ditempuh dengan jalan kekerasan karena hanya melahirkan kekerasan berikutnya. Selain membangun pemahaman, menjaga perdamaian di Maluku juga harus dilakukan dengan memastikan keadilan sosial antarkelompok masyarakat.
”Kita harus belajar untuk memandang manusia sebagai sesama. Ketidakadilan dalam masyarakat juga perlu diselesaikan, karena menjaga perdamaian tidak bisa dengan dialog-dialog saja,” ucapnya.
Ketahanan sosial
Perdamaian perlu dipandang bukan hanya sebagai tujuan akhir, melainkan kesinambungan yang terus dijaga. Ketua Gerakan Yasira Maluku Elisabeth Marantika menjelaskan, perempuan dan anak-anak juga menjadi korban dalam konflik tersebut.
Kekerasan seksual dan kehilangan orang yang dikasihi menambah beban berat mereka. Kelompok perempuan pun mulai bersatu untuk bersama-sama ambil bagian dalam upaya resolusi konflik.
Kala itu muncul Gerakan Perempuan Peduli, yang dipelopori Suster Brigita Renyaan yang berisikan perempuan, mayoritas dari kaum ibu, untuk mengonsolidasikan para perempuan lintas agama dalam penyelesaian konflik tersebut. Modal sosial dan persaudaraan yang solid membuat setiap kelompok berjuang untuk menciptakan kedamaian di bumi Maluku.
”Pengalaman konflik ini bisa menjadi sumber kerentanan, maka ketahanan sosial perlu terus diperkuat,” ujar perempuan yang pernah menjabat komisioner Komisi Nasional Perempuan ini.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Maluku Komisaris Besar Roem Ohoirat menjelaskan, kabar bohong dan fitnah membuat penyelesaian konflik ini berlarut-larut. Secara formal, penuntasan konflik ini dinilai selesai saat ditandatanganinya Perjanjian Malino II pada tahun 2002 di Malino, Sulawesi Selatan.
Namun, menurut dia, dampaknya masih terus terasa setidaknya hingga tahun 2010-2011 sebelum keadaan benar-benar kondusif. Akibat konflik ini, sebanyak 8.000-9.000 warga meninggal, 700.000 warga Maluku mengungsi, dan 29.000 bangunan, baik rumah warga maupun rumah ibadah, hangus terbakar.
Roem menceritakan, ia yang kala itu berdinas di Mabes Polri, Jakarta, diminta ikut dalam operasi penanganan kerusuhan. Saat tiba di Ambon pada 21 Januari 1999, ia tercengang dengan banyaknya kerusuhan dan pertikaian berdarah antarmasyarakat, yang sebelumnya dalam keadaan damai.
Berkaca pada hal itu, ia berharap agar masyarakat Indonesia mengantisipasi arus kabar bohong ataupun ujaran kebencian yang berseliweran di tengah masyarakat karena dampaknya sangat membahayakan.
”Saling provokasi dan derasnya kabar bohong dan fitnah membuat masyarakat saling melukai. Pelajaran bagi kita dalam menata kehidupan di masa depan. Kami punya program Basudara Manise sebagai usaha menjaga kedamaian di Maluku,” ucapnya.