Isu Lumbung Pangan ”Dijual” dalam Debat Cawapres, Bencana Ekologi Jalan Terus
Isu lumbung pangan digunakan untuk saling serang dan bertahan dalam gagasan debat cawapres.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Isu lumbung pangan atau food estate di Kalimantan Tengah kerap disebut dalam debat calon presiden dan wakil presiden. Namun, masyarakat di sekitar lahan food estate masih saja gamang menghadapi persoalan lahan hingga bencana ekologi.
Pada Minggu (21/1/2024) malam, isu food estate kembali mencuat dalam debat keempat. Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, menanyakan soal kebijakan impor pangan ke Gibran Rakabuming Raka, cawapres nomor urut 2. Gibran menjawabnya dengan food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng.
Menurut Gibran, program food estate ada yang gagal tetapi ada pula yang berhasil. Ia bahkan meminta Mahfud untuk mengecek langsung ke Gunung Mas.
Program yang dimaksud Gibran adalah Proyek Strategis Nasional yang merujuk pada dua komoditas, yaitu padi dan singkong. Singkong ditanam dengan mengganti kawasan hutan. Sejak ditanam tahun 2020, singkong sulit tumbuh.
Pada akhir 2023, program yang dipimpin Kementerian Pertahanan tersebut dikolaborasikan dengan Kementerian Pertanian. Singkong berganti jagung. Gibran pun mengungkapkan sudah ada jagung dan singkong yang dipanen.
Walakin, persoalan yang dihadapi di lapangan bukan hanya soal gagal panen atau berhasil. Masalahnya adalah krisis iklim dan dampak bencana ekologi.
Program tersebut berada di Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng. Rangkap (53), warga Desa Tewai Baru, mengatakan, kini sulit memenuhi kebutuhan hidup karena lahan berganti kebun singkong dan jagung.
”Dulu saya menanam sayur di sana (kebunnya), saya enggak tahu kebun saya itu masuk kawasan hutan atau tidak. Dari zaman nenek, saya sudah garap ladang di situ,” ungkap Rangkap yang juga merupakan mantir desa atau struktur dalam komunitas adat Dayak, Senin (22/1/2024).
Bukan hidup yang lebih baik, Rangkap justru menjadi korban banjir sejak hutan dibuka tahun 2019-2020. Seumur-umur rumahnya tidak pernah direndam air, kini dia cemas setiap tiba musim hujan.
Bahkan, saking tidak jelasnya, ada salah satu cawapres yang ingin mencabut izin tambang ilegal. Izin tambang yang mana wong namanya juga ilegal. Seharusnya penegakan hukum dan perbaikan sistem penegakan hukum itu yang harus diperjelas. (Muhammad Habibi)
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata menilai, sebenarnya debat soal lingkungan hidup, pangan, masyarakat adat, hingga reforma agraria adalah tema paling ditunggu masyarakat Kalimantan dan wilayah lain yang berkonflik lahan. Namun, ketiga cawapres dinilai tanpa gagasan konkret, argumentasi, dan didukung data keliru.
”Tidak ada yang membahas bencana ekologi di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di Kalteng,” kata Bayu.
Food estate, kata Bayu, merupakan solusi pemerintah yang gagal dilaksanakan di Kalteng. Ada petani yang gagal panen padi dan singkong yang gagal tumbuh. Sayangnya, dua komoditas itu mengonversi hutan yang tentunya melepas ribuan metrik karbon.
Bayu menambahkan, tidak ada tawaran dari ketiga pasangan cawapres dalam debat malam itu baik soal pangan, masyarakat hukum adat, dan reforma agraria. ”Semuanya normatif dan tidak ada tawaran. Dari dulu sudah dibahas soal diversifikasi pangan dan pelibatan masyarakat. Sayangnya tidak dibahas dengan baik dan detail soal rencana mereka ke depan,” kata Bayu.
Hal serupa disampaikan Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi. Ia mengungkapkan, terkait konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, semua cawapres mengajukan program yang mengawang-awang.
”Bahkan, saking tidak jelasnya, ada salah satu cawapres yang ingin mencabut izin tambang ilegal. Izin tambang yang mana wong namanya ilegal. Seharusnya penegakan hukum dan perbaikan sistem penegakan hukum itu yang harus diperjelas,” kata Habibi.
Soal deforestasi pun, kata Habibi, ketiga cawapres tidak punya program konkret. Padahal, menurut Habibi, saat ini, pemerintah diduga sedang melegalkan praktik ilegal investasi berbasis lahan yang menyebabkan deforestasi dan kerusakan lingkungan melalui Pasal 110 A dan 110 B dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
”Dalam debat semalam, tidak tersentuh sedikit pun soal UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Jika dilihat dari debat semalam, baik Habibi maupun Bayu tidak memiliki harapan masa depan lingkungan hidup akan lebih baik. Mereka justru ragu bakal ada keadilan ekologi bagi masyarakat beserta pulihnya hak-hak mereka yang menjadi korban.