Jalan Keabadian Karl-Edmund Prier, Sang ”Empu” Inkulturasi Musik Liturgi
Pastor Prier bukan sekadar rohaniwan. Ia juga dikenal sebagai ”empu” musik yang berdedikasi tinggi pada musik daerah.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
Pastor Karl-Edmund Prier SJ bukan sekadar rohaniwan. Ia juga dikenal sebagai ”empu” musik yang berdedikasi tinggi pada musik daerah. Kegigihannya mengeksplorasi musik daerah membuat umat Katolik bisa mengekspresikan keimanannya dengan corak budaya lokal. Kini, sang ”Empu” telah berpulang menuju keabadian.
Pastor Prier mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 86 tahun di Rumah Sakit Panti Rapih, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (21/1/2024) pada pukul 00.40 WIB. Sebelumnya, ia menjalani perawatan intensif karena kondisi kesehatannya menurun sejak Sabtu (20/1/2024). Adapun Prier sudah tidak lagi bekerja dari kantornya di Pusat Musik Liturgi, Kota Yogyakarta, sejak Selasa (16/1/2024).
”Beliau izin untuk tidak ngantor karena harus menjalani terapi injeksi pada kakinya. Kebetulan beliau masih proses menyelesaikan buku. Maka, kami menugaskan staf untuk membantu beliau mengetik mulai Selasa itu,” kata pemimpin Pusat Musik Liturgi (PML), Elisabeth Twitien Sezi K, saat ditemui di Kapel Pusat Kateketik, Yogyakarta, Minggu siang.
Penurunan kondisi itu, jelas Elisabeth, diketahui salah satu staf (PML) sewaktu mendatangi Pastor Prier, Sabtu pagi. Staf itu melihat Pastor Prier terengah-engah sehingga mesti dilarikan ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Pastor Prier sebelumnya sering keluar masuk rumah sakit sejak November 2022. Hanya saja, ia kerap memaksakan diri agar bisa pulang dari masa perawatannya karena ingin segera kembali bekerja. Entah itu menulis buku ataupun mengajar musik.
Di pengujung hidupnya, Pastor Prier sedang merampungkan beberapa buku tentang perjalanannya melakukan inkulturasi musik gereja di berbagai penjuru Nusantara. Tiga buku rampung ditulis, yakni Sumatera, Kalimantan, dan Flores. Buku tentang Flores sedang dalam proses cetak, sedangkan Sumatera dan Kalimantan sudah terbit.
”Yang belum selesai ini soal (perjalanan di) Timor. Lalu, ada empat buku lagi. Sebetulnya itu yang dia mau kejar. Di akhir hayatnya, dia ingin menyelesaikan itu dan ingin mengajar. Sampai Senin lalu, dia masih mengajar,” tutur Elisabeth, yang pertama kali menjadi murid Pastor Prier pada 1996.
Inkulturasi musik liturgi menjadi hal yang membuat Pastor Prier semakin dikenal luas. Itu berawal dari perbincangannya dengan seorang pengajar dan penggubah lagu gereja, Paul Widyawan, pada 1967, tiga tahun sejak pertama kali Pastor Prier menginjakkan kaki di Indonesia.
Topik yang mereka bahas terkait perwujudan musik gereja bernuansa Indonesia sesuai pesan dari Konsili Vatikan II. Hasil perbincangan keduanya berujung dengan pendirian Pusat Musik Liturgi (PML) pada 1971. Lantas, konsep perihal inkulturasi musik liturgi diperkenalkan dalam Kongres Musik Liturgi di Jakarta pada 1973.
Untuk itu, PML mencoba membawakan lagu-lagu baru bergaya budaya Nusantara, seperti Sunda dan Manado. Sebagian dimainkan dengan alat musik seperti angklung. Ternyata, itu diapresiasi sehingga muncul mandat untuk digelar kembali kongres musik liturgi di Yogyakarta pada 1975.
Dalam kajian budaya, ini sekaligus mengangkat kelokalan secara global. Dalam artian, kita (lokal) itu berharga dalam ruang lingkup universal. Kita bernyanyi dalam ekspresi lokal, tetapi juga menjadi bagian dari dunia.
Tidak hanya itu, konsep inkulturasi musik gereja disebarkan Prier dan Paul dalam 57 lokakarya musik di seluruh penjuru Nusantara selama 1984-2015. Dalam lokakarya itu, dialog antara Prier dan umat dari setiap daerah berlangsung. Ia menawarkan agar lagu-lagu gereja dinyanyikan dengan gaya lagu tradisional setempat.
”Dia benar-benar terjun ke masyarakat. Dia menggali musik inkulturasi itu benar-benar dari akar rumputnya,” ucap Elisabeth.
Penghargaan
Kegetolan Prier dalam inkulturasi musik membuahkan penghargaan doktor honoris causa pada 2023. Gelar itu diberikan oleh Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bertindak sebagai promotornya ialah mantan muridnya, sewaktu ISI Yogyakarta masih bernama Akademi Musik Yogyakarta, yakni Triyono Bramantyo.
Menurut Triyono, peranan Prier sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik di Indonesia. Pasalnya, pastor asal Jerman itu tidak berhenti di ruang kelas. Ia rela berkelana menggelar lokakarya guna menyerap budaya-budaya lokal.
”Bicara tentang tokoh pendidikan musik di Indonesia, yang penting salah satunya adalah Pastor Prier. Baik di bidang musik liturgi, paduan suara seluruh Indonesia, dan musik inkulturasi, dan pendidikan musik Barat di sekolah-sekolah musik,” ucap Triyono.
Sementara itu, G Budi Subanar SJ, budayawan, mengatakan, inkulturasi musik yang dilakukan Prier merupakan upaya membumikan nilai-nilai Gereja Katolik. Keimanan dapat diekspresikan melalui budaya lokal melalui cara yang dialogis. Langkah itu memberikan kebaruan sehingga membuat penduduk lokal sebagai subyek.
”Dalam kajian budaya, ini sekaligus mengangkat kelokalan secara global. Dalam artian, kita (lokal) itu berharga dalam ruang lingkup universal. Kita bernyanyi dalam ekspresi lokal, tetapi juga menjadi bagian dari dunia,” tutur Subanar.