Pemalsu Sertifikat Tanah di Cirebon Berulah Lagi, Korban Rugi Rp 10 Miliar
Residivis kasus penipuan, NP, kembali menjual tanah dengan modus memalsukan sertifikat hak milik.
Jeruji besi dan lantai penjara yang dingin tidak membuat NP (35), residivis kasus penipuan, kapok. Warga Kota Cirebon, Jawa Barat, ini kembali menjual tanah dengan modus memalsukan sertifikat hak milik. Tidak tanggung-tanggung, para korbannya merugi hingga Rp 10 miliar.
Siang itu, Jumat (12/1/2024), NP berjalan menunduk ke halaman Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota. Ibu rumah tangga ini mengenakan baju tahanan berwarna biru. Kedua tangannya terborgol. Masker menutupi sebagian wajahnya. Di sisinya berdiri dua polisi wanita.
Polisi menghadirkan NP dalam ekspose kasus tindak pidana penipuan dan penggelapan. Kejadian itu bermula pada 31 Oktober 2022. Awalnya, korban berinisial RN (31), warga Mantrijeron, Yogyakarta, sedang mencari informasi tentang rumah yang dijual di Kota Cirebon.
RN lalu mendapatkan info dari seorang perantara terkait sebuah rumah di Kelurahan Larangan, Kecamatan Harjamukti, Cirebon. Rumah itu milik NP. Setelah melihat rumah itu melalui video dan secara langsung, korban pun merasa cocok. Ia ingin segera membelinya.
Baca juga: Identitas Palsu Muluskan Langkah Mafia Tanah
Korban dan tersangka kemudian melakukan transaksi jual beli di salah satu kantor notaris di Kecamatan Gunung Jati. Saat itu, korban sepakat membayar uang muka terlebih dahulu sekitar Rp 750 juta dari harga rumah Rp 1,45 miliar. Namun, belakangan, NP sulit dihubungi.
”Ternyata, sebidang tanah dengan SHM (sertifikat hak milik) tersangka itu palsu. SHM asli sudah dia agunkan di bank. Dia meminta jasa orang lain untuk memalsukan SHM itu,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Anggi Eko Prasetyo.
Pihaknya menyita sejumlah barang bukti dari tersangka, seperti dua bukti transfer masing-masing Rp 650 juta dan Rp 100 juta pada 2022, satu bundel perjanjian pengikatan jual beli, dan satu lembar sertifikat hak tanggungan dari bank. Ada juga satu bundel pembatalan kesepakatan.
Tersangka juga pernah kabur dan ditangkap akhir tahun 2023, tiga bulan setelah bebas dari penjara. Dalam penyelidikan lebih lanjut, tersangka ternyata merupakan residivis dengan kasus serupa.
”Sebelumnya, tersangka dihukum enam bulan penjara. Hukumannya lebih singkat karena berkelakuan baik,” ujarnya.
Kasus penipuan itu terjadi pada April 2021. Riwayat kasus tersebut tercatat dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Sumber.
Dalam SIPP disebutkan, NP menjual tanah di Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, dengan SHM atas namanya kepada korban berinisial S. Transaksi tanah seharga Rp 1,5 miliar itu juga berlangsung di salah satu kantor notaris di Kecamatan Gunung Jati.
Namun, saat korban mengeceknya, SHM tanah itu ternyata palsu. NP sudah mengagunkan sertifikat asli ke bank. Bahkan, NP terbukti membuat sertifikat palsu atas nama korban, S. Padahal, saat diperiksa di Kantor Pertanahan Kota Cirebon, sertifikat itu masih atas nama NP.
Ketika tanah tersebut sudah mempunyai sertifikat, lihat lagi apakah informasi yang diberikan sudah sesuai dengan data yang tertera atau belum? Kalau tidak sesuai, maka indikasi Anda sedang menjadi calon korban itu besar.
Modus penipuan
”Total korban ada lima orang. Ada tiga SHM yang dipalsukan. Lokasi obyek (pemalsuannya) juga ada di Bekasi (Jabar). Total kerugian korban semuanya Rp 10 miliar,” kata Anggi.
Pihaknya masih mendalami kasus itu, termasuk mengejar dua terduga yang masih buron. Mereka diduga membantu NP membuat sertifikat palsu.
Kepala Polres Cirebon Kota Ajun Komisaris Besar Rano Hadiyanto mengatakan, tidak tertutup kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain dalam kasus penipuan jual beli tanah. ”Siapa pun yang terlibat pasti akan kami proses hukum,” ujarnya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon Harmono menilai, kemungkinan adanya pelaku lain dalam kasus itu terbuka lebar. ”Indikatornya, perbuatannya bisa berulang. Namun, hasil penyidikan yang akan menentukan (tersangka lain),” ucapnya.
Menurut Harmono, kasus penipuan jual beli tanah terus terjadi karena ketidaktahuan dan ketidaktelitian korban dalam mempelajari dokumen pertanahan. Di sisi lain, pelaku semakin lihai melancarkan aksinya dengan berbagai modus.
Kasus penipuan jual beli tanah bermodus pemalsuan SHM tidak hanya berlangsung di Cirebon, tetapi juga di kota lain. Tahun 2019, misalnya, Polda Metro Jaya meringkus kelompok penipu dan pemalsu dokumen properti mewah. Kerugian tiga korban mencapai Rp 214 miliar.
Modusnya, komplotan ini meminjam sertifikat asli korban dengan alasan mengecek keasliannya. Namun, sertifikat itu dipalsukan, sedangkan yang SHM asli dijadikan agunan untuk meminjam uang kepada perusahaan pendana atau koperasi sebesar Rp 5 miliar (Kompas, 10/8/2019).
Baca juga: Arsip Pertanahan dan Mafia Tanah
Pemalsuan SHM hanya salah satu modus dalam kejahatan pertanahan atau praktik mafia tanah. Modus lainnya, pelaku yang berniat memperoleh SHM asli membuat laporan kehilangan di kantor polisi. Surat itu dibawa ke kantor pertanahan sebagai salah satu syarat untuk menerbitkan sertifikat pengganti yang dilaporkan hilang.
Modus ini dapat dilakukan seseorang yang punya hubungan dengan korban. Tujuannya mendapatkan sertifikat duplikat asli untuk dijadikan jaminan berutang di bank. Pihak bank yang melakukan pemeriksaan tidak dapat mengetahui bahwa berkas itu telah diduplikat meski tidak sesuai aturan.
Ada juga modus pelaku berperan sebagai pembeli dengan membayar uang muka dan meminjam SHM korban untuk diproses balik nama. Sertifikat dibalik nama berdasarkan data kependudukan yang direkayasa dengan melibatkan oknum pegawai kecamatan. Oknum itu membuat identitas palsu (Kompas, 8/5/2021).
Dengan beragamnya modus kejahatan pertanahan, Harmono mengimbau warga agar memanfaatkan teknologi yang disediakan Kementerian ATR/BPN. Mengecek lokasi tanah dan sertifikatnya, misalnya, melalui https://bhumi.atrbpn.go.id/ atau aplikasi Sentuh Tanahku.
”Ketika tanah tersebut sudah mempunyai sertifikat, lihat lagi apakah informasi yang diberikan sudah sesuai dengan data yang tertera atau belum? Kalau tidak sesuai, maka indikasi Anda sedang menjadi calon korban itu besar,” ujarnya.
Baca juga: Semringah Petani Gunung Anten dengan Sertifikat Tanah