Anak-anak di Yogyakarta Rentan Alami Kekerasan Seksual di Bawah Ancaman
Kekerasan seksual di bawah ancaman rawan terjadi pada anak-anak di Yogyakarta dan Sleman.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual marak terjadi di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman serta kerap diwarnai ancaman psikis dan senjata. Pelaku mengintimidasi korban agar takut melapor.
Kepolisian Resor Kota (Polresta) Yogyakarta menangkap JL (24), guru di salah satu SD swasta di Kota Yogyakarta, DIY, sebagai pelaku kekerasan seksual. Korbannya lima anak di sekolah tersebut. Kekerasan seksual dilakukannya dengan mengancam para korban dengan sebilah pisau yang diperolehnya dari sekolah.
”Agar tidak terjadi perlawanan, para korban mendapat ancaman dengan pisau yang dipegang pelaku di bawah leher mereka,” ujar Kepala Polresta Yogyakarta Komisaris Besar Aditya Surya Dharma, dalam konferensi pers yang digelar di Polresta Yogyakarta, Senin (15/1/2024).
JL adalah guru pengampu mata pelajaran kreator konten di SD tersebut. Pencarian polisi terhadap pelaku dilakukan pada Jumat (12/1/2024). Adapun JL ditangkap di rumahnya di Kabupaten Sleman, Sabtu (13/1/2024) dini hari.
Agar tidak terjadi perlawanan, para korban mendapat ancaman dengan pisau yang dipegang pelaku di bawah leher mereka.
Dalam pemberitaan sebelumnya, dari hasil penyelidikan yang dilakukan sekolah, diketahui jumlah korban mencapai 15 anak, di mana semuanya adalah siswa kelas VI. Namun, dari hasil penyelidikan polisi, diketahui bahwa jumlah korban pelecehan seksual terdata lima orang.
”Tindakan tersangka terhadap lima anak itulah yang kami pastikan memenuhi unsur-unsur pelecehan karena organ vital lima anak tersebut dipegang, diraba oleh pelaku,” ujarnya.
Lima anak tersebut terdiri atas empat murid laki-laki dan satu murid perempuan. Mereka berusia 11-12 tahun.
Sementara itu, 10 orang lainnya tidak dinyatakan sebagai korban karena pelaku memegang mereka pada bagian tubuh yang lain, seperti bahu dan tangan.
Aditya menuturkan, pihaknya masih terus berupaya memperdalam penyidikan untuk mengetahui rekam jejak tersangka, apakah yang bersangkutan pernah mengajar dan melakukan hal serupa di sekolah lain.
Atas perbuatannya ini, pelaku diduga telah melakukan perbuatan cabul terhadap anak dan melanggar Pasal 82 Ayat 2 juncto Pasal 78E Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Pelaku terancam hukuman minimal lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara dengan denda maksimal Rp 5 miliar.
Sementara itu, tindak pencabulan juga terjadi di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Musibah itu menimpa anak laki-laki berumur 6 tahun. Pelaku adalah NGT (58) yang merupakan tetangga korban.
NGT dua kali menusuk anus korban dengan kayu. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Sleman Ajun Komisaris Riski Adrian menuturkan, kasus ini terungkap setelah anak tersebut mengalami demam pada 26 Desember 2023. Saat itu, ketika korban buang air besar dan dibantu ayahnya untuk dibersihkan, yang bersangkutan mengaduh kesakitan. Setelah itu, ayah korban mengecek pantat putranya dan melihat ada luka melingkar di bagian anus.
Setelah ditanyai, korban justru ketakutan. Setelah dilakukan pendekatan, barulah anak tersebut mau menuturkan kejadian yang dialaminya. Saat kejadian, korban menuturkan dirinya diancam akan dibunuh pelaku jika melapor.
NGT dalam acara jumpa pers enggan menjawab pertanyaan. Dia hanya mengaku khilaf melakukan hal tersebut. ”Saya pusing,” ujarnya menolak menjelaskan.
Ia dinyatakan melanggar Pasal 82 Ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU RI Nomor 01 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku terancam hukuman lima tahun penjara.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Yogyakarta Udiyati menuturkan, UPT PPA Kota Yogyakarta sudah rutin menjalankan tugas, memberikan psikoedukasi kepada anak-anak di sekolah-sekolah di Yogyakarta. Dalam kegiatan ini, anak-anak diberi penjelasan tentang bagian tubuh mana saja yang tidak boleh disentuh orang lain.
”Penjelasan ini diharapkan bisa memberikan bekal kepada anak-anak untuk menolak menjadi korban dan segera melaporkan perbuatan itu kepada orangtua atau guru-gurunya di sekolah,” ujarnya.