logo Kompas.id
NusantaraJalan Panjang Menciptakan...
Iklan

Jalan Panjang Menciptakan Nilai Tambah Nikel di Indonesia

Presiden Joko Widodo dengan tegas melarang ekspor bijih nikel sejak 2020. Hilirisasi nikel pun berjalan.

Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE, RINI KUSTIASIH
· 7 menit baca
Kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, pagi hari sebelum matahari terbit, Minggu (26/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, pagi hari sebelum matahari terbit, Minggu (26/11/2023).

Pertama kali ditemukan di Indonesia pada awal abad 20, komoditas tambang nikel menjadi primadona sejak dekade lalu, seiring tumbuhnya permintaan, termasuk untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Jargon hilirisasi yang kencang digaungkan pemerintah juga membuat perburuan nilai tambah nikel di Indonesia kian masif. Lalu, ke mana saja perginya nikel Indonesia?

Mengutip buku Nikel Indonesia karya Irwandy Arif (2018), bijih nikel pertama di Indonesia ditemukan di Pegunungan Verbeek, Sulawesi, oleh penjelajah Belanda bernama Kruyt pada 1901. Studi endapan nikel lebih lanjut dilakukan oleh ahli geologi dari PT Inco Limited, perusahaan pertambangan asal Kanada. Adapun kegiatan eksplorasi mulai dilakukan pada 1934 oleh perusahaan Boni Tolo Maatschappij di Sulawesi, termasuk di Pomalaa.

Pada 1961, Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan tambang setelah bahan galian nikel dinyatakan termasuk mineral strategis yang hanya dapat diusahakan oleh negara. Pemerintah lantas mendirikan PN Aneka Tambang pada 1968, yang kemudian menjadi PT Aneka Tambang (Antam) pada 1974. Perusahaan ini sudah mengekspor bijih (ore) nikel ke Jepang sejak 1969.

Selain Antam, penambangan nikel juga dilakukan PT International Nickel Indonesia (Inco) pada 1968, setelah penandatanganan kontrak karya. Sejak 2012, PT Inco berubah nama menjadi PT Vale Indonesia, Tbk, setelah Vale mengakuisisi PT Inco Limited sebagai pemegang saham terbesar PT Inco. Di samping itu, terdapat juga sejumlah perusahaan tambang nikel lain di Indonesia.

Baca juga: Nikel, Pedang Bermata Dua di Maluku Utara

Salah satu pembangkit listrik yang sedang dibangun di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Salah satu pembangkit listrik yang sedang dibangun di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023).

Seiring waktu, sejumlah perusahaan pertambangan juga masuk, baik untuk eksplorasi maupun operasi produksi nikel. Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mewajibkan pengolahan dan pemurnian produk tambang di dalam negeri, sebagai peningkatan nilai tambah. Itu selambatnya lima tahun sejak UU itu berlaku.

Presiden Joko Widodo dengan tegas melarang ekspor bijih nikel sejak 2020. Keputusan tegas ini yang memicu protes dari sejumlah negara, terutama Eropa.

Sejak itu, bijih nikel wajib diolah di dalam negeri. Apabila sudah menjadi produk turunannya seperti feronikel, nickel pig iron, dan nickel matte, barulah boleh diekspor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada lonjakan volume ekspor feronikel (Kode HS 72026000) dari 1,5 juta ton pada 2019 menjadi 5,7 juta ton pada 2022. Nilainya meningkat dari 2,5 miliar dollar AS (Rp 35 triliun) pada 2019 menjadi 13,6 miliar dollar AS (Rp 210,8 triliun) pada 2022. Negara tujuan ekspor terbesar adalah China. Di samping itu, ada juga India, Korea Selatan, dan Taiwan.

Baca juga: Limbah Nikel Kini Kaya Manfaat di Desa Kawasi

Area tailing atau limbah hasil proses hidrometalurgi di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Area tailing atau limbah hasil proses hidrometalurgi di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Volume ekspor nikel dan dari padanya (Kode HS 75) meningkat dari 91,5 ton pada 2019 menjadi 775,6 ton pada 2022. Nilainya melonjak dari 813,1 juta dollar AS (Rp 11,38 triliun) pada 2019 menjadi 5,9 miliar dollar AS (Rp 91,45 triliun) pada 2022. Selain China, negara tujuan ekspor di antaranya India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat.

Salah satu perusahaan yang memproduksi nikel ialah PT Vale Indonesia Tbk (PTVI), yang 20 persen sahamnya dikuasai oleh Mind.id, perusahaan induk BUMN pertambangan. PTVI menambang nikel laterit untuk menghasilkan produk akhir berupa nickel matte (nikel kelas satu) yang kemudian dikirim ke Jepang, dengan berbagai peruntukan, antara lain baja nirkarat dan untuk plating (pelapisan).

Berdasarkan laporan tahunan PTVI, produksi pada 2022 mencapai 60.090 ton nickel matte atau lebih dari 8,1 persen dari 2021. Penurunan itu karena adanya pembangunan kembali tanur listrik 4. Head of Communications PTVI Bayu Aji Suparam, di Jakarta, Jumat (12/1/2024) menyebutkan, produksi sepanjang 2023 mencapai sekitar 70.000 ton nickel matte.

Hasil produksi berupa nickel sulfate di pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Hasil produksi berupa nickel sulfate di pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Pada 2022, PTVI memulai realisasi pemanfaatan peluang ekonomi hijau dengan melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) proyek Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Bersama mitra, yakni Huayou Indonesia, PTVI akan membangun smelter HPAL dengan proyeksi kapasitas sampai 120.000 ton setara nikel dalam MHP per tahun.

Selain itu, PTVI juga bakal membangun smelter HPAL lainnya, bersama Huayou dan Huali Nickel Indonesia di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Ditargetkan akan dihasilkan 60.000 ton setara nikel dalam MHP per tahun serta 5.000 ton setara kobalt dalam MHP per tahun, yang nantinya menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.

Bayu menuturkan, hingga kini PTVI tidak pernah memproduksi produk nikel dengan kualitas di bawah nickel matte. Arah bisnis PTVI ke depan pun searah dengan program hilirisasi pemerintah untuk pengembangan kendaraan listrik.

Ada juga investor swasta nasional, yakni PT Trimegah Bangun Persada Tbk (TBP) atau Harita Nickel, yang beroperasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Mendapat izin eksploitasi pada 2006-2007, aktivitas penambangan dimulai pada 2010. Pada 2020, pemerintah menetapkan Pulau Obi masuk sebagai proyek strategis nasional.

Selain teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang menghasilkan feronikel, Harita bersama Lygend memiliki smelter dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP), dengan volume produksi 365.000 ton per tahun. MHP lalu diproses lagi menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat, yang merupakan bahan baku baterai kendaraan listrik.

https://cdn-assetd.kompas.id/O7VapbAr5gQvpvLbMr_CUMYcCbw=/1024x632/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F06%2Ff03d59f8-aeda-4ca8-a194-ab658417692c_jpg.jpg
Iklan

Pekerja menunjukkan hasil produksi berupa mixed hidroxyde precipitate (MHP) di pabrik peleburan nikel (smelter) dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Direktur Utama PT TBP Roy Arman Arfandy mengatakan, total investasi Harita di Pulau Obi telah mencapai sekitar Rp 61 triliun. ”Industrialisasi nikel yang kami lakukan di Pulau Obi berkontribusi dalam peningkatan nilai tambah dalam negeri,” katanya.

Roy menjelaskan, Harita selama ini telah mengekspor produk feronikel yang menjadi bahan baku untuk baja nirkarat (stainless steel) ke beberapa perusahaan di Eropa dan China. Adapun ekspor perdana nikel sulfat dilakukan pada Juni 2023, sedangkan produksi perdana kobalt sulfat dilaksanakan pada Juli 2023.

”Sebagian besar, kami melakukan ekspor produk MHP (mixed hydroxide precipitate), nikel sulfat, dan kobalt sulfat ke negara produsen baterai kendaraan listrik, seperti China. Sebagai bahan baku prekursor untuk baterai kendaraan listrik," ujar Roy.

Perusahaan lain yang memproduksi nikel adalah PT Antam Tbk. Dikutip dari laporan tahunan Antam pada 2022, area eksplorasi nikel Antam, yang merupakan BUMN, meliputi wilayah Pomalaa, Halmahera Timur, Konawe Utara dan Pulau Gag.

Baca juga: Nikel, Harta Karun Masa Kini dari Pulau Obi

Feronikel hasil pengolahan smelter milik grup Harita Nickel, di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (8/4/2023).
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG

Feronikel hasil pengolahan smelter milik grup Harita Nickel, di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (8/4/2023).

Hingga akhir 2022, total cadangan nikel konsolidasian Antam tercatat sebesar 461,84 juta wet metric ton (wmt). Angka tersebut tumbuh 21 persen dari 2021. Sementara sumber daya nikel konsolidasian Antam pada 2022 tercatat sebesar 1,3 miliar wmt atau di bawah tahun sebelumnya yang 1,4 miliar wmt.

Pada 2022, volume produksi bijih nikel mencapai 8,62 juta wmt, yang diperuntukkan sebagai bahan baku pabrik feronikel. Adapun volume produksi feronikel Antam pada 2022, yakni sebesar 24.334 ton, sedangkan penjualan sebesar 24.210 ton. Pada 2023, Antam menargetkan penjualan feronikel sebesar 27.201 ton.

Saat ini, Antam memiliki tiga unit smelter feronikel dengan empat lini produksi, dengan kapasitas gabungan sebesar 27.000 ton per tahun. Metode pengolahan feronikel di Pomalaa menggunakan metode RKEF. Antam juga tengah membangun pabrik feronikel di Halmahera Timur.

Kompas telah mengajukan pertanyaan tertulis, termasuk produksi 2023 serta kemajuan pembangunan smelter feronikel baru, kepada pihak Antam, tetapi belum juga dijawab.

https://cdn-assetd.kompas.id/3WI9WdadmAYLNB8PNY_RqlYqlnE=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F06%2F5dc8331c-4ff6-41f3-a8b7-252fcab2adb7_jpg.jpg

Kolam-kolam penampungan limbah di kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Tak cukup hilirisasi

Mitra senior Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta menuturkan, pilihan hilirisasi nikel, yakni diarahkan untuk pengembangan industri kendaraan listrik menantang. Ke depan, hilirisasi tidaklah sederhana, termasuk mengenai pasar dari produk turunan nikel yang dihasilkan di Indonesia. Menjadi pertanyaan apakah industri dalam negeri siap menyerap itu?

”Poin paling penting, seiring dengan rantai pasok nikel, maka jaringan produksi, birokrasi, dan kepastian hukum amat penting. Masalah-masalah klasik harus dibereskan jika ingin menjalankan hal tersebut,” ujar Krisna.

Jangan sampai hilirisasi tidak optimal karena reindustrialisasi tak disiapkan secara matang.

Di samping itu, kata Krisna, semakin lama menunggu ekosistem hilirisasi dan industrialisasi kendaraan listrik terbangun, maka nikel akan terus lebih banyak diserap untuk baja nirkarat. Jangan sampai, saat industri baterai kendaraan listrik sudah siap, tetapi cadangannya sudah jauh berkurang dan tidak banyak. Apalagi, teknologi juga terus berkembang, termasuk baterai tanpa nikel.

Sementara itu, di sisi lain, pelarangan ekspor bijih nikel sejak 2020 mendapat respons berupa gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Akan tetapi, pemerintah bergeming dan terus melanjutkan hilirisasi, demi peningkatan nilai tambah. Namun, saat ini, kelanjutannya masih menunggu dibentuknya badan banding oleh WTO.

Baca juga: Produksi Nikel dan Aluminium Dipacu untuk Kendaraan Listrik

https://cdn-assetd.kompas.id/y60V487ivYRdHp42w25oOb94YWo=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F15%2Fefb26b39-2b1c-4bbe-88df-a66342a640c7_jpg.jpg

Pekerja memonitor proses pengelolaan tailing atau material limbah tambang dengan menggunakan mesin filterpress di lokasi penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (25/11/2023).

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, berpendapat, ”peringatan” dari Uni Eropa itu sebagai hal wajar. Adapun Indonesia diharapkan konsisten jika memang hendak menggaungkan hilirisasi. Konsekuensi di balik pilihan tersebut, mesti dijalankan, termasuk menghadapi gugatan dari Uni Eropa, misalnya.

Namun, menurut Yusuf, yang penting ialah sinkronisasi kebijakan hilirisasi dan industrialisasi. Jangan sampai hilirisasi tidak optimal karena reindustrialisasi tak disiapkan secara matang. ”Dalam hal ini, perlu ada konsolidasi lintas kementerian. Bicara proses hilirisasi pertambangan harus sinkron. Semua mesti dilibatkan,” kata Yusuf.

Di samping itu, masifnya investasi nikel di Indonesia, diharapkan untuk tidak mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Kejadian ledakan tungku smelter di Kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah, akhir Desember 2023, diharapkan menjadi pelajaran semua pihak. Apabila terus berulang, cita-cita hilirisasi dapat terhambat.

Praktisi pertambangan dan industri, Andi Erwin Syarif, mengatakan, investasi smelter di Indonesia mesti menerapkan standar internasional K3 yang terkualifikasi (qualified) sehingga tercipta budaya K3 yang kuat di organisasi perusahaan. Termasuk juga peningkatan pengelolaan lingkungan hidup.

Editor:
HAMZIRWAN HAMID
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000