Upaya Indonesia Bebas Sampah Plastik Tahun 2030 Masih Terjal
Ambisi bebas sampah plastik pada 2030 masih terjal karena tata kelola sampah masih belum optimal.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
—
Demikian benang merah dalam pemaparan hasil riset studi sensus sampah plastik oleh Komunitas Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (11/1/2024). Sensus berlangsung di 64 lokasi di 30 kabupaten/kota dalam 13 provinsi kurun 2022-2023.
Selama periode itu, mereka mengumpulkan hampir 25.800 sampah plastik. Material yang ditemukan lantas didata merek, tipe produk, material, dan lapisan.
Dari sensus, mayoritas sampah plastik dihasilkan produsen yang tidak memberi merek. Selanjutnya, ada korporasi nasional dan multinasional yang memproduksi barang konsumsi masyarakat, seperti makanan, minuman, dan perawatan pribadi.
Selain itu, di 64 lokasi, yang terdiri dari sungai, danau, pantai, rawa, dan perairan terbuka, juga masih ditemukan beragam sampah plastik. Beberapa di antaranya kantong, kemasan makanan, minuman, sabun, obat, dan barang konsumsi lainnya.
”Jika perairan tidak dibersihkan, sampah plastik menjadi mikroplastik yang mencemari dan membahayakan lingkungan serta manusia,” kata Koordinator Program BRUIN Muhammad Kholid Basyaiban, Kamis.
Kholid melanjutkan, pencemaran sampah plastik di negeri berpopulasi 270 juta jiwa ini sudah mengkhawatirkan, setidaknya menurut penilaian Badan Investigasi Lingkungan (EIA). Di perairan, sampah plastik diperkirakan 3,22 juta ton. Dengan jumlah itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang menghasilkan banyak sampah plastik di dunia.
Di pesisir utara Jatim dari Tuban sampai Banyuwangi, misalnya, tim BRUIN menyebut, di beberapa lokasi, setiap 100 liter airnya terkandung 57-87 partikel mikroplastik. Selain itu, dari Ekspedisi Sungai Nusantara 2022 di 68 sungai se-Indonesia, seluruh airnya sudah tercemar partikel mikroplastik dengan kandungan partikel berbeda-beda. Mendekati kota atau daerah padat permukiman, kandungan partikel mikroplastik dalam air sungai kian tinggi.
Pendiri Envigreen Society, Mochammad Alaika Rahmatulloh, menambahkan, ambisi bebas sampah plastik pada 2030 dikhawatirkan tidak realistis. Alasannya, tata kelola sampah di Indonesia masih tidak optimal.
Dari pengalamannya mendampingi komunitas masyarakat, hanya 30 persen sampah yang diolah. Sebagian besar adalah sampah organik yang diolah komunitas. Belum banyak warga yang berkomitmen menekan penggunaan sampah plastik.
”Secara politis, hasil sensus ini nanti akan dikirim ke tim kampanye calon presiden-calon wakil presiden. Harapannya, pasangan terpilih punya wawasan dan perhatian dalam program penanganan sampah plastik,” kata Alaika.
Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga Suparto Wijoyo mengatakan, upaya optimal pengurangan sampah plastik ialah menekan hulunya lewat pertanggungjawaban produsen (extended producer responsibility). Produsen barang konsumsi masyarakat yang menggunakan plastik sebagai kemasan dapat dimintai pertanggungjawaban untuk mengawasi peredaran, menarik, menampung, hingga mendaur ulang.
Ini, katanya, sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No 31/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Itu diperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan PPLH serta Peraturan Menteri LH dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
”Masyarakat berhak menekan pemerintah menempuh tata kelola sampah yang baik dan mewajibkan produsen, misalnya, menyediakan fasilitas penarikan, penampungan, pengolahan atau daur ulang, dan menyiapkan kemasan ramah lingkungan,” ujar Suparto.
Suparto mengapresiasi BRUIN yang mendorong komunitas pelestari lingkungan hidup di Padang, Sumatera Barat, mengumpulkan sampah plastik produksi suatu produsen di Jakarta dan mengirimkan benda-benda itu melalui jasa logistik. Ini simbol peringatan kepada produsen agar tidak mengabaikan kewajiban pengurangan sampahnya.
Cara ini pernah berkali-kali dilakukan oleh komunitas di Jatim. Seusai memulung sampah plastik, komunitas memilahnya berdasarkan produsen, dan mengirim ke pabrik atau kantor manajemen produsen.
”Produsen yang baik bisa menyiapkan insentif dan sarana sehingga publik pengguna produk berkemasan plastiknya mau mengembalikan sampah plastiknya melalui semacam tempat penampungan di jaringan toko, ritel, supermarket. Jika terjadi, produsen yang baik itu sepatutnya diberikan apresiasi dan insentif juga oleh pemerintah,” kata Suparto.