Petani Cilacap Harapkan Pengakuan atas Sawah Sedimentasi Segara Anakan
Puluhan tahun menggarap sawah di tanah timbul sedimentasi Segara Anakan, ribuan petani di Cilacap harapkan SHM.
Puluhan tahun menggarap dan menggantungkan hidup pada timbulan tanah sedimentasi Segara Anakan, ribuan petani di Cilacap, Jawa Tengah, mengharapkan pengakuan atas kepemilikan tanah itu lewat sertifikat hak milik. Mereka kini menghadapi sengketa hak atas tanah yang totalnya 13.000 hektar melibatkan 25.000 kepala keluarga.
Deru traktor bersahutan dengan suara ratusan bebek yang berburu keong. Sejauh mata memandang tampak hamparan sawah nan luas. Tiupan angin bagaikan oase di bawah terik mentari siang itu.
Siapa sangka wilayah itu dulunya berupa perairan Segara Anakan, yang akibat sedimentasi mengakibatkan tanah berawa-rawa muncul ke permukaan. Telah puluhan tahun petani menggarap dan menggantungkan hidup pada tanah yang muncul akibat sedimentasi Segara Anakan ini. Mengolahnya menjadi mata pencarian. Kini, mereka berharap mendapatkan pengakuan atas tanah itu lewat kepemilikan sertifikat hak milik.
”Tanah ini sudah dikelola sejak tahun 1980-an sampai sekarang,” kata Ketua Presidium Serikat Tani Mandiri (STaM) Cilacap Petrus Sugeng, di Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (9/1/2024).
Mulanya tanah itu muncul dari sedimentasi yang terjadi di sekitar Segara Anakan. Luasnya sekitar 10.000 hektar.
Sesuai aturan, tanah sedimentasi adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Tanah itu dapat diberikan hak kepemilikannya kepada warga negara Indonesia yang telah mengelolanya selama 20 tahun berturut-turut.
Sugeng mengatakan, para petani bersama STaM serta Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sudah memperjuangkan pengakuan berupa kepemilikan tanah itu sejak lama, tetapi hingga kini belum terwujud. Harapan warga masyarakat adalah diterbitkannya surat hak milik (SHM) atas nama masing-masing masyarakat penggarap. ”Bahasa saya, masyarakat sudah jenuh, sudah bosan menanti, bosan mendengar janji-janji pemimpin bangsa ini. Ke depan, siapa pun presidennya, siapa pun menterinya, mereka harus mengedepankan dan menuntaskan perjuangan warga masyarakat,” papar Sugeng.
Baca juga: Polisi Ungkap Mafia Tanah
Sejumlah petani yang menggarap tanah sedimentasi dari beberapa wilayah, misalnya dari Desa Bulupayung dan Rawaapu di Kecamatan Patimuan serta Desa Sidaurip di Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap, menuturkan hal serupa.
Junarto (48), petani dari Desa Bulupayung, mengisahkan, kakek dan ayahnya sudah menggarap tanah yang semula berupa rawa sejak 1985. Mereka membersihkan semak belukar dan menjadikannya sawah dengan luas 600 ubin atau sekitar 8.400 meter persegi. ”Ini dulu rawa-rawa dan semak belukar, ada banyak rumput rawa yang kami menyebutnya prepetan. Tanah ini timbul akibat sedimentasi bawaan dari Sungai Cibeureum yang bermuara di Segara Anakan. Hulunya ada di Majenang, Cipari, Sidareja, Kawunganten,” tutur Junarto.
Kami takut nantinya, setelah kami membangun jalan usaha tani ini dan menggarap lahan yang kini sudah produktif, ada investor datang, terus diberikan HGU, lalu kami mau ke mana?
Junarto mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran warga jika tanah ini tidak jelas status kepemilikannya. Pertama, tentang anak cucu mereka nanti karena sekarang lahan pertanian sudah mulai menyempit untuk perumahan dan lain sebagainya. ”Kami takut nantinya, setelah kami membangun jalan usaha tani ini dan menggarap lahan yang kini sudah produktif, ada investor datang, terus diberikan HGU, lalu kami mau ke mana. Jadi, kami itu merasa belum tenang meskipun lahan sepenuhnya sudah kami garap,” katanya.
Menurut Junarto, tanah itu memang baru bisa ditanami sekali setahun karena mengandalkan hujan sebagai sumber airnya. Dari 600 ubin, sekali panen, Junarto bisa memanen 6 ton gabah kering panen. ”Untuk olah lahan, ada satu pekerja karena saya memiliki handtractor. Lalu, untuk menanam, ada 4-5 orang yang menanam padi,” ujarnya.
Tamad (71), Ketua Kelompok Tani Karya Makmur, menyampaikan, di desanya masih ada sekitar 493 hektar areal persawahan yang sudah sejak lama digarap oleh 1.600 anggota, tetapi statusnya termasuk dalam kawasan hutan karena merupakan tanah timbul alias tanah hasil sedimentasi.
Menurut Tamad, pada sekitar 1980-an sempat ada program tumpang sari. Areal ini ditanami kayu putih, ketapang, dan mahoni, tetapi kemudian gagal lantaran banjir. Pada 2017, petani penggarap di Desa Bulupayung berswadaya membuat jalan usaha tani sepanjang 14 kilometer dengan lebar 4 meter untuk mempermudah akses.
Karena statusnya masih kawasan hutan, kata Tamad, hingga kini pengembangannya kurang berjalan. Areal belum tersentuh bantuan pupuk, bantuan traktor, dan lain-lain dari pemerintah. ”Saya ingin ini menjadi sentra pertanian. Semenjak dikuasai atau diatur oleh kelompok, satu rumah pun tidak boleh (dibangun),” ujarnya.
Ahdin Samhudin (57) dari Desa Rawaapu mengatakan, dirinya menggarap lahan sekitar 2 hektar yang ditanami pohon kelapa. Dulunya tanah itu juga merupakan tanah timbul akibat sedimentasi dan mulai digarap masyarakat sekitar 1980-an. ”Kelapa ini untuk produksi gula merah. Ada sekitar 240 pohon kelapa yang menghasilkan 1 kuintal gula merah dengan harga Rp 14.000 per kilogram,” kata Ahdin yang berharap bisa mendapatkan SHM atas tanah itu.
Damuri (52), petani yang menggarap sawah seluas 200 ubin di Desa Sidaurip, Kecamatan Gandrungmangu, mengatakan, saat menjadi Ketua Kelompok Tani Peduli Sidaurip, dirinya pernah memperjuangkan tanah seluas 475,11 hektar yang digarap oleh 1.475 kepala keluarga. Pada 2005 dan 2007, ketika menjabat sebagai ketua kelompok tani, ia pernah ditangkap dan dipenjara karena dianggap menebang pohon kelapa.
”Itu juga merupakan tanah timbul dari Segara Anakan. Pada 1942-1943, oleh Jepang, pohonnya ditebang untuk bahan bakar kereta api. Lalu, hutan yang gundul itu digarap masyarakat,” kata Damuri.
Ketua Kelompok Tani Peduli Sidaurip Sutaryo (45) mengatakan, masyarakat khawatir, jika tidak ada pengakuan hak milik dari negara untuk masyarakat, tanah itu bisa dicaplok investor. ”Karena belum ada irigasi, tanah itu baru bisa satu kali ditanami. Di sana, per hektar bisa menghasilkan 6-7 ton gabah kering,” katanya.
Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Jateng-DIY Purwanto mengatakan, masyarakat di sekitar Segara Anakan dulunya bekerja sebagai nelayan, tetapi karena adanya letusan Gunung Galunggung yang mengakibatkan timbulan tanah, mereka beralih pekerjaan menjadi petani. ”Akhirnya itu diklaim oleh Perhutani sebagai kawasan hutan yang tanpa melibatkan proses penatabatasan. Tiba-tiba sudah ada SK (surat keputusan) penetapan kawasan hutan. Acuan Perhutani tidak jelas dalam menetapkan tanah timbul sebagai kawasan hutan,” papar Purwanto.
Pihaknya mengedukasi dan mengadvokasi masyarakat bahwa semua orang bisa mengakses tanah itu serta memanfaatkannya seoptimal mungkin. Soal klaim dari Perhutani, lanjutnya, itu terserah mereka. Ia mendorong perlunya peninjauan mendalam sejarah kawasan itu.
Supaya masyarakat bisa mendapatkan SHM atas tanah itu, pemerintah diharapkan bisa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja kembali ke Undang-undang Pokok Agraria. KPA merekomendasikan, pemerintah melalui Menteri LHK perlu menerbitkan satu keputusan perihal penetapan tata batas kawasan hutan agar desa-desa yang berkonflik dengan kawasan hutan dapat diredistribusikan. Selain itu, rekomendasi kedua adalah Menteri ATR/BPN menerbitkan keputusan pengakuan hak atas tanah hasil pelaksanaan reforma agraria melalui sertifikat tanah bagi para petani.
Saat dihubungi, Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas Barat Arif Fitri menyampaikan, untuk pelepasan kawasan hutan, kewenangan ada di Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). ”Jadi, jika ada masyarakat yang menginginkan pelepasan kawasan hutan, silakan mengajukan permohonan kepada Menteri LHK,” kata Arif.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sampai sekarang belum memberikan respons terkait permohonan wawancara Kompas secara langsung untuk mengetahui progres percepatan program reforma agraria, khususnya yang terkait dengan pelepasan kawasan hutan.
Namun, dalam acara refleksi KLHK akhir Desember 2023, Direktur Jenderal PKTL Hanif Faisol Nurofiq menyebut bahwa, untuk menunjang legalitas dari kawasan hutan, perlu upaya meningkatkan legitimasi melalui program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Target redistribusi tanah melalui TORA dari pelepasan kawasan hutan ini mencapai 4,1 juta hektar.
”Sampai hari ini, kita telah merealisasikan di angka 2,9 juta hektar yang sudah didistribusikan oleh Bapak Presiden kepada masyarakat di seluruh Indonesia. Sisa realisasi 1,2 juta hektar dari program TORA akan dikejar tahun 2024,” katanya.
Menurut Hanif, kawasan hutan yang menyebar di berbagai wilayah menjadi salah satu kendala sehingga dibutuhkan dukungan sumber daya manusia yang lebih besar. ”Legitimasi terhadap kawasan hutan tentu perlu juga melakukan pengokohan terhadap kegiatan masyarakat yang ada di dalamnya,” ucapnya.
Upaya menyelesaikan konflik agraria di Indonesia harus melihat akar permasalahan yang terjadi sejak puluhan tahun lalu. Bahkan, secara historis, konflik agraria yang ditandai dengan adanya klaim sepihak dari penguasa dan menyingkirkan peran masyarakat sebenarnya sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu pada masa kolonial Hindia Belanda.
Dalam buku Politik Pertanahan: Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) karya Eddy Ruchiyat, pengaruh kebijakan pertanahan pada masa kolonial terjadi saat pergantian pemerintahan Hindia Belanda dari kaum konservatif ke liberal. Peran negara di sektor pertanian pun mulai digantikan oleh swasta pemilik modal.
Melalui Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan pada 1870, para pemodal asing memiliki kesempatan luas untuk mengusahakan perkebunan di Indonesia. Pemerintah kolonial menetapkan asas Domein Verklaring yang menyatakan semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai milik negara.
Aturan tersebut diterapkan agar pemerintahan kolonial dapat memiliki tanah rakyat yang saat itu hampir seluruhnya masih menerapkan sistem hukum adat. Kebijakan yang berusaha menyingkirkan peran petani tersebut pada akhirnya menimbulkan konflik agraria karena dapat melemahkan kedudukan sosial ekonomi masyarakat di daerah perdesaan.
Dalam penantian dan perjuangan ini, petani pun menitipkan harapan kepada pemimpin negara ini supaya dapat memperhatikan serta mewujudkan status hak milik bagi tanah yang mereka garap. Bukan semata-mata demi kesejahteraan keluarga mereka, melainkan juga bagi keberlanjutan lumbung pangan di daerah ini. Semoga!