Tragedi Kereta Api, dari Bintaro hingga Cicalengka
Tabrakan kereta api di Cicalengka menambah daftar panjang tragedi serupa di Indonesia. Faktor manusia dan teknis menjadi penyebab utama. Kecelakaan harusnya tak berulang dengan sistem kerja yang tepat dan memadai.
Tabrakan maut antara dua kereta api di Cicalengka, Jawa Barat, menambah panjang tragedi di atas rel. Sebelumnya, kecelakaan serupa juga terjadi di Pemalang, Brebes, Cirebon, hingga Bintaro yang menelan lebih dari 100 korban jiwa. Tragedi ini seharusnya tidak berulang.
Jarum jam baru menunjukan pukul 06.30. Cahaya matahari belum lama menembus masuk rumahnya, saat Ny Dede (53), warga Babakan Dka, Kelurahan Cikuya, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dikejutkan guncangan dan suara keras, Jumat (5/1/2024).
Suaranya seperti tumbukan dua batu besar itu datangnya dari rel kereta api. Jaraknya dari rumah Dede tidak jauh, sekitar 200 meter.
Kejadian itu sebenarnya membuat Dede cemas. Namun, karena penasaran, ia nekat mendatangi asal suara yang tepat berada di belakang rumahnya.
Lihat juga : Kecelakaan Kereta Api di Cicalengka
Faktanya mengejutkan. Di hadapan Dede ada dua kepala kereta api remuk. Ekor ”ular besi” itu memanjang tidak beraturan. Bahkan, ada gerbong yang terjun ke sawah. Belakangan Dede tahu bahwa itu adalah Kereta Api Turangga 65A yang bertabrakan dengan Kereta Api Commuter Line Bandung 350.
”Saya langsung balik lagi ke rumah. Anak-anak saya bawa keluar takut ada kejadian susulan. Saat itu, penumpangnya satu per satu mulai turun,” kata Dede dalam bahasa Sunda campur bahasa Indonesia.
Ny Elis (49), warga Babakan Dka lainnya, melihat langsung penumpang yang trauma itu. Wajah mereka layu. Salah satu penumpang yang singgah di rumahnya kepalanya berdarah.
”Ada 20 yang singgah sebentar di rumah saya. Hanya ada air dan makanan seadanya. Baru satu jam kemudian, mereka dijemput mobil pribadi dan ambulans,” kata Elis.
Tinta duka
Hingga kini, penyebab kecelakaan masih ditelusuri. Namun, kejadian ini sudah menebalkan tinta duka dalam sejarah transportasi Indonesia. Tragedi di Cicalengka menambah daftar panjang tabrakan maut antarkereta di Indonesia yang tercatat dalam arsip Kompas.
Pada Oktober 2010, misalnya, insiden terjadi di Serang, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Jaraknya kurang dari 500 meter dari Stasiun Petarukan.
Saat itu, KA Senja Utama jurusan Jakarta-Semarang yang berhenti di jalur tiga ditabrak dari belakang oleh KA Argo Bromo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya. Setidaknya 34 nyawa melayang dalam peristiwa itu. Kecelakaan saat itu diduga karena masinis tertidur dan melanggar sinyal.
Kelalaian manusia juga menjadi penyebab insiden tabrakan kereta pada kasus kecelakaan KA Kertajaya dengan KA Sembrani di Stasiun Gubug, Kabupaten Grobogan, Jateng, pada April 2006.
Akibatnya, 14 tewas dalam tabrakan maut itu. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkapkan, masinis KA Kertajaya diduga menjalankan lokomotif tanpa aba-aba petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) dan kondektur, sesuai dengan prosedur pemberangkatan KA.
Faktor kelalaian manusia kembali ditemukan dalam kecelakaan maut di Desa Cigedug, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes, Desember 2001. Saat itu, KA Empu Jaya dari Pasar Senen ke Lempuyangan ”adu kepala” dengan KA Gaya Baru Malam Selatan (GBMS) dari Surabaya Gubeng menuju Pasar Senen.
Akibatnya, 30 tewas seketika dan 50 lainnya luka-luka. Kecelakaan itu akibat masinis KA Empu Jaya melanggar sinyal masuk. Padahal, di emplasement waktu itu sedang masuk KA GBMS. Tabrakan pun tak terhindarkan.
Sekitar tiga bulan sebelumnya, KA Empu Jaya jurusan Jakarta-Yogyakarta terlibat kecelakaan dengan lokomotif Cirebon Ekspres yang sedang langsir di Stasiun Kejaksan Cirebon, Minggu (2/9/2001) sekitar pukul 03.44. Setidaknya 40 meninggal dan 62 lainnya terluka.
Saat itu, lokomotif Cirebon Ekspres nomor CC20120 sedang langsir, menungu berangkat pukul 03.55 ke Jakarta. Namun, dari arah berlawanan datang KA Empu Jaya yang melaju dengan kecepatan sekitar 80 kilometer per jam. Hasil penyelidikan, KA Empu Jaya melanggar sinyal.
Perencanaan tidak aman artinya jika perekrutan, pelatihan, hingga pengawasan untuk personel yang terlibat dalam perkeretaapian tidak ideal. Adapun lingkungan tidak aman merujuk pada kondisi kerja masinis yang tidak sesuai. Misalnya, jam kerja banyak dan gaji kecil.
Setahun sebelumnya, tepatnya 10 September 2000, tabrakan maut juga terjadi di dekat Stasiun Pelabuhan, Krengseng, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Jateng. Kecelakaan itu melibatkan KA Tawangjaya dengan KA barang Parcel.
Seharusnya, KA Tawangjaya berhenti di Stasiun Pelabuhan. Namun, kereta penumpang ini terus berjalan hingga menabrak KA barang Parcel. Sedikitnya 13 tewas dan 10 luka berat.
Pada Mei 2000, tabrakan maut antara dua kereta rel diesel (KRD) terjadi di lintasan antara Stasiun Sudimara-Stasiun Serpong, Kabupaten Tangerang. Tabrakan frontal antara KA 209 jurusan Merak-Jakarta dan KA 906 jurusan Jakarta-Rangkasbitung itu menewaskan empat orang.
Sejumlah faktor memicu kecelakaan. Salah satunya tidak berfungsinya peralatan komunikasi antara Stasiun Sudimara dan Stasiun Serpong, serta di lokomotif KA 209. Pemimpin perjalanan KA Stasiun Serpong kala itu terindikasi tidak melihat tanda di komputer bahwa kereta sudah melaju.
Pada 1993, tabrakan maut juga terjadi antara dua kereta api listrik (KRL) Jabotabek yang datang dari arah berlawanan di Desa Ratujaya, Kecamatan Pancoran Mas. Kompas melaporkan 34 orang meninggal dalam insiden itu. Masinis dari kedua kereta itu turut menjadi korban jiwa.
Memilukan
Peristiwa Cicalengka juga mengingatkan pada kecelakaan KA paling tragis di Indonesia, yakni tragedi pada 19 Oktober 1987 di Kelurahan Bintaro, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kecelakaan itu, menurut pemerintah, telah merenggut 129 nyawa dan mengakibatkan 238 orang luka berat.
Kejadian mengerikan ini berlangsung sekitar pukul 07.00 pada saat penumpang penuh sesak. Dua rangkaian kereta api datang dari arah berlawanan.
Satu dari arah Rangkasbitung menuju Jakarta Kota dan satu dari Tanah Abang menuju Merak dengan kecepatan 30-60 km per jam berhadapan dan beradu di Pondok Betung, sekitar 4 km dari Stasiun Kebayoran Lama.
Tabrakan terjadi ketika kereta nomor 225 dari arah Rangkasbitung menuju Tanah Abang yang menarik delapan gerbong ”adu kepala” dengan kereta nomor 220 dari Jakarta yang melewati rel yang sama.
Masinis Slamet yang mengemudi KA 225 kemudian menjadi tersangka utama dari peristiwa ini. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 22 Agustus 1988 menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada Slamet. Ia memberangkatkan kereta tanpa mengikuti aba-aba pimpinan perjalanan KA.
Baca juga : Benahi Manajemen Keselamatan Kereta Api
Dari sekian kasus kecelakaan kereta sebelum tragedi di Cicalengka, tampak faktor kelalaian manusia dan teknis memicu insiden tersebut. Dalam hal ini, menarik melihat tulisan Andang Kasriadi, Ketua Jurusan Teknik dan Manajemen Industri Universitas Langlangbuana, Bandung, pada 11 November 1988.
Dalam opininya, Andang menjelaskan tentang teori domino dalam kecelakaan terkait tragedi di Bintaro. Intinya, kecelakaan merupakan bagian akhir dari perencanaan tidak aman, lingkungan tidak aman, dan tindakan tidak aman.
Perencanaan tidak aman artinya jika perekrutan, pelatihan, hingga pengawasan untuk personel yang terlibat dalam perkeretaapian tidak ideal. Adapun lingkungan tidak aman merujuk pada kondisi kerja masinis yang tidak sesuai. Misalnya, jam kerja banyak dan gaji kecil.
Gaji kecil
Dalam kasus kecelakaan di Cirebon dua dekade lalu, misalnya, harian Kompas pernah menuliskan gaji masinis yang kecil. Seorang masinis yang sudah mengabdi selama 34 tahun di PT Kereta Api Indonesia (KAI) hanya mendapat gaji pokok Rp 371.000 per bulan tahun 2000.
Jika lingkungan tidak aman sudah tercipta, tinggal menunggu waktu tindakan tidak aman. Masinis yang kelelahan, misalnya, bisa mengantuk saat menjalankan kereta. Dalam konteks tragedi Bintaro, tindakan tidak aman juga dilakukan penumpang yang membeludak hingga di atap lokomotif.
Perencanaan, lingkungan, hingga tindakan tidak aman inilah yang berujung pada kecelakaan. Faktor manusia pun acap kali menjadi penyebab utama kecelakaan. Namun, dalam konteks pekeretaapian, masinis bukanlah sopir yang bisa menentukan keberangkatan. Terdapat sistem kerja untuk menentukan jalan tidaknya kereta.
Dalam artikelnya, Andang memberi contoh tentang faktor kelalaian manusia yang berarti penyimpangan dari kemampuan normal manusia. Seorang dewasa, misalnya, diharapkan dapat mengangkat beban seberat 20 kilogram selama lima detik. Kalau tidak mampu, ini dapat dianggap sebagai human error dari pekerjaan itu.
”Namun, bila pekerja tersebut tidak mampu menjalankan tugas mengangkat barang 20 kg tersebut karena lengannya cedera, maka human error dituduhkan pada pengawas atau mandornya yang membiarkan pekerja tersebut mengangkat barang itu,” tulisnya.
Dalam kecelakaan Cicalengka, teori domino bisa menjadi pisau analisis untuk mendalami penyebab kecelakaan. Di era digital saat ini, perlu dilihat sarana prasarana kereta api hingga sistem kerja secara keseluruhan.
Lihat juga : Evakuasi Jenazah Korban Kecelakaan Kereta di Cicalengka