2024 Tiba, ”Kuproy” IKN: Tak Ada Libur, Air Bersih Pun Sulit
Proyek IKN terus berjalan. Para pekerja terus bertugas. Beberapa dari mereka jenuh tetapi memilih bertahan.
Rudiansyah (29) dan Ridho Alfandi (22) tak bisa mandi selama dua hari pertama setelah tiba di sebuah situs megaproyek nasional bernama Ibu Kota Nusantara atau IKN pada September 2023. Letaknya di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Di sana, sebanyak 22 gedung modular hunian pekerja konstruksi (HPK) sudah dibangun sejak Agustus 2022 dan rampung pada April 2023. Dengan kapasitas tampung 14.736 orang, fasilitasnya lengkap meski semuanya bersifat komunal, dari kamar tidur yang dihuni belasan orang hingga kamar mandi umum yang dilengkapi wastafel.
Namun, selama dua hari itu, air memang tak mengucur dari keran. ”Pagi enggak ada, siang enggak ada, sore juga enggak ada. Mau buang air besar pun akhirnya ditahan,” kata Ridho, yang berasal dari Kalianda, Lampung Selatan, pada siang superterik yang berdebu di salah satu kantin sekitar HPK IKN, Sabtu (31/12/2023).
Kedua karyawan perusahaan konstruksi pelat merah itu bahkan terpaksa tidur dalam kondisi gerah dengan kulit yang terasa lengket. Namun, suatu ketika mereka melihat banyak pekerja proyek lain berjalan kembali ke kompleks HPK dengan celana basah dan wajah yang segar seperti habis mandi.
”Ternyata habis mandi di kali di belakang sana,” kata Rudiansyah menunjuk area di belakang HPK, yang ditumbuhi pohon eukaliptus. ”Jauh tempatnya, nanjak-nanjak. Ternyata airnya keruh juga, tapi kami tetap mandi. Mau gimana lagi? Kami butuh nyiram badan,” lanjutnya.
Selama 14 tahun menjadi pekerja konstruksi, dari Sumatera sampai Sulawesi, Rudiansyah mengaku tak pernah merasakan kondisi setidakmenyenangkan itu di lokasi proyek. Namun, ia tak langsung ngambek dan minta pulang. ”Pikiran saya, pasti enak. Fasilitasnya pasti bagus soalnya ini ibu kota negara,” kata pemuda yang juga berasal dari Kalianda itu.
Rusdiansyah mengatakan, masalah air di HPK belum selesai. Sampai sekarang pun kata mereka, air yang keluar dari keran tetap keruh. Namun, Kompas sempat ke kamar kecil di kantin HPK dan air terlihat bersih saat itu. Di kemudian hari, Rabu (3/1/2023), Rusdiansyah mengoreksi pernyataannya. Saat ini kejernihan air membaik, meski ia menyebut keruh dan jernih itu perspektif masing-masing.
Memang sulit menemukan air jernih di kawasan hutan tanaman industri yang dikonversi menjadi situs konstruksi mahabesar yang butuh anggaran Rp 466 triliun. Menghirup udara bersih saja nyaris mustahil gara-gara tebalnya kabut debu proyek akibat lalu lalang kendaraan.
Namun, dua kuli proyek yang kini membidangi struktur bangunan di calon kompleks kantor Kementerian Koordinator 2 itu memilih bertahan tanpa protes. ”Kecuali beda-beda (kualitas) airnya, baru kami protes. Masalahnya, semua orang (pekerja), kan, mandinya pakai air keruh itu juga,” kata Rudiansyah.
Buruknya kualitas air di HPK bahkan bikin Dimas A Pratama (23) mengalami gangguan kulit. Bintik-bintik merah muncul pada kulit kedua lengannya, paha, dan betisnya. Gatalnya bikin tidak nyaman pekerja las besi sekaligus petugas kebersihan di proyek Kantor Presiden itu.
”Saya semprotkan parfum (ke bagian gatal), jadinya seperti ini,” kata Dimas sambil menyingsingkan kemeja lengan panjangnya.
Terlihat lapisan kulit di lengan kanannya terkelupas dan mengering. Ia pikir kandungan alkohol dalam parfum bisa mengurangi keluhannya soal bintik-bintik gatal yang ia derita. Meski tak menolong banyak, hasilnya ia rasa cukup efektif.
Dimas bisa saja membeli obat kulit dari apotek atau toko di luar lokasi proyek. Namun, Istana Presiden IKN yang jadi tempatnya bekerja berjarak sekitar 4 kilometer dari jalan raya. Untuk keluar lokasi proyek, ia mesti menumpang bus proyek. Itu pun mesti membayar Rp 30.000 untuk pergi-pulang.
Kita manusia, bukan robot. Bisa capek juga. Saya berharap pemimpin yang memanusiakan manusia.
Ada cara lain, seperti meminjam motor anggota keamanan proyek. Namun, ia mesti mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk sewa motor dan diminta untuk mengisi bensin motornya sesuai kemampuan.
Dengan kondisi demikian, cara paling praktis menyelesaikan gatal di kulitnya adalah menggunakan barang pribadi. Itu yang paling mudah dijangkau dan tanpa biaya.
Beban kerja
Kini, di kompleks Kemenko 2, Rudiansyah dan Ridho terikat penugasan selama 510 hari, tetapi mereka pesimistis proyek tersebut akan selesai tepat waktu pada 2025. Pasalnya, pasokan air di situs konstruksi pun terbatas, begitu pula pasokan material bangunan dan ketersediaan alat-alat konstruksi, seperti besi dan bahan cor-coran.
”Di sini banyak PT, tapi batching plant (fasilitas pengolahan bahan beton atau ready mix) cuma satu dan disuruh menyuplai seluruh IKN. Kadang kami enggak kebagian. Tandon air untuk pembersihan mesin concrete pump (pompa beton) juga belum ada,” kata Rudiansyah, yang mengetuai tim bidang struktur beranggotakan empat orang asal Kalianda.
Tanpa wadah air untuk pembersihan mesin sehabis kerja, mereka tidak mau mengambil risiko yang menyebabkan kerusakan mesin. Karenanya, meski sudah diminta masuk kerja hari itu, mereka menolak. ”Saya enggak mau kerja kalau kebutuhan kami belum dilengkapi. Masalahnya, saya juga kena komplain kantor pusat,” katanya.
Lambatnya laju proyek berarti mereka juga harus menyesuaikan diri dengan ketidaknyamanan lainnya di IKN yang jaraknya sekitar 90 kilometer dari Balikpapan, yaitu mahalnya biaya hidup. Di kantin HPK, misalnya, sepasang sandal jepit harganya Rp 25.000, padahal di kota hanya sekitar Rp 12.000. Rokok pun melejit dari normalnya Rp 33.000 ke Rp 40.000 sebungkus.
Masalahnya, pendapatan mereka tak bisa dibilang besar. Sebagai ketua tim, gaji Rudiansyah hanya Rp 5,8 juta meski sebelumnya ia sudah pernah merasakan gaji Rp 8 jutaan di lokasi proyek lain, sedangkan Ridho Rp 4,6 juta.
Meski kebutuhan makanan sudah disediakan, gaji itu sering kali tak cukup setelah dikurangi kiriman ke rumah. ”Seumur-umur baru sekarang saya ngerepotin orangtua. Saya sering minta mereka isiin pulsa,” kata Rudiansyah.
Baca juga: IKN dan Debu Proyek yang Bikin Batuk
Di tengah segala kekurangan itu, mereka malah terus diminta mengebut kerja proyek. Kejengkelan mereka pun memuncak meski tak mungkin dimuntahkan dalam bentuk protes kepada atasan.
”Dari semua proyek, di sini yang paling ngetes kesabaran. Masalahnya, kesabaran saya setipis tisu. Akhirnya, kami jadikan bahan bercanda aja sama teman. Itu aja yang bikin kami senang, karena keluar (berhenti kerja) juga enggak mungkin,” ujar Rudiansyah.
Bukan robot
Sementara itu, bagi Dimas, bekerja sebagai kuli di IKN tak semegah gaung proyek futuristik yang dibangun sebagai kota masa depan, inklusif, dan diharapkan berdampak pada pemerataan pembangunan.
Selain fasilitas dasar yang tak memadai, kata dia, kontraktor tempat kerjanya tak memberi hari libur untuk pekerja kontrak sepertinya, termasuk hari perayaan pergantian tahun.
Selama tiga bulan kerja, ia mengaku masuk setiap hari tanpa jeda libur. Ia baru bisa berhenti bekerja saat sakit dan dirawat di klinik proyek. Dengan kondisi kerja seperti itu, ditambah lokasi proyek yang berdebu dan cuaca panas, ia pernah terserang tifus hingga tak bekerja selama seminggu.
Hal lain yang membuatnya merasa begitu berat menjadi kuli proyek IKN adalah keharusan bekerja dengan waktu yang panjang dan tak tentu. ”Jam delapan (pagi) sudah harus di lokasi proyek. Kalau pekerjaan normal, pulang jam sepuluh (malam),” katanya.
Jika ada target pekerjaan yang mesti dicapai, kunjungan tamu negara, atau kunjungan Presiden ke lokasi proyek tempatnya bekerja, tugas Dimas semakin berat. Ia mesti lembur sampai tengah malam sejak seminggu sebelum kedatangan pejabat.
Bahkan, mendekati kunjungan Presiden terakhir, Dimas pernah bekerja sampai pukul 03.00 Wita. Artinya, ia bekerja 18 jam, termasuk waktu istirahat.
Atasan Dimas ingin pekerjaan terlihat bagus, rapi, dan bersih saat ada kunjungan pejabat atau tamu pemerintah ke lokasi proyek.
Kerja tanpa hari libur, tak ada uang lembur, dan banyak tugas yang diemban, Dimas diupah Rp 4,5 juta per bulan. Selama tiga bulan bekerja di IKN, upah yang dijanjikan ditransfer tanggal 27 setiap bulannya pun tak pernah tepat waktu.
Dimonitor pemerintah
Kepala Satgas Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur IKN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Danis H Sumadilaga mengatakan, pihaknya melakukan beberapa tindakan untuk memastikan kesejahteraan pekerja konstruksi. Hal itu meliputi pembangunan HPK, pembatasan sif, dan pelarangan lembur.
Mendengar kisah Dimas, pelarangan lembur itu tak sepenuhnya dijalankan oleh kontraktor yang mengerjakan proyek IKN.
Danis mengatakan, pemerintah sudah menyampaikan kepada penyedia jasa untuk membagi waktu giliran kerja (sif), yaitu maksimal tiga sif dalam sehari. Setiap sif diisi oleh pekerja yang berbeda untuk menghindari lembur dan menjaga kondisi kesehatan pekerja.
Baca juga: Isu IKN Panaskan Panggung Debat Siapa Diuntungkan
”Kami monitor, pasti ada (tindakan) korektif,” kata Danis dalam keterangan tertulis kepada Kompas.
Selain itu, Kementerian PUPR juga bekerja sama dengan penyedia jasa telekomunikasi nasional agar KIPP terlayani sinyal. Untuk fasilitas lain bagi pekerja di HPK, pemerintah menyediakan sarana dan prasarana olahraga dan pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pekerja.
Sebagai hiburan dan untuk kebugaran pekerja, beberapa kali Kementerian PUPR mengadakan turnamen bola voli bekerja sama dengan swasta. Setiap dua minggu sekali, lanjut Danis, Divisi Sosial Budaya Tim Transisi Pengelolaan HPK mengadakan senam sehat.
Untuk kebutuhan hiburan pekerja, belum lama ini pemerintah bekerja sama dengan Bank BNI dan Mandiri menyelenggarakan festival musik.
Saat malam pergantian tahun 2023 ke 2024, Kompas melihat ada hiburan bernyanyi bersama di kantin HPK, meski tak diikuti seluruh pekerja konstruksi.
Bangunan dengan luas sekitar 30 x 15 meter itu tak terisi penuh oleh pekerja. Beberapa pekerja terlihat berada di sekitar kamar masing-masing atau mengobrol di sekitar HPK.
Mengenai kualitas air, Danis mengatakan, air bersih di HPK saat ini berasal dari kolam retensi yang diolah melalui instalasi pengolahan air minum (IPA).
Air tersebut disimpan dalam ground water tank (GWT) pada masing-masing tower HPK. Air yang didistribusikan itu, kata Danis, sudah diuji dan layak untuk digunakan.
”Kemungkinan air yang kotor tersebut dibeli oleh penyedia jasa untuk keperluan air tambahan,” katanya.
Kementerian PUPR mencatat, sampai 21 Desember 2023, pekerjaan tahap 1 IKN sudah mencapai 66,7 persen. Adapun tahap 2 sudah mencapai 12,7 persen. Para pekerja itu bertugas untuk menyiapkan kantor dan hunian aparatur sipil negara (ASN) yang bakal bertugas di gelombang pertama penempatan ASN di IKN.
Danis mengatakan, saat ini pemindahan ASN sedang dirumuskan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Otorita IKN, dan kementerian/lembaga.
Para pekerja yang kami wawancara itu bekerja di area proyek yang sebagian besar ditarget bisa digunakan pada Agustus 2024 oleh pemerintah.
Kementerian PUPR mencatat, pada Agustus 2024, bangunan pada Kawasan Istana Kepresidenan dan Perkantoran sudah fungsional. Itu meliputi proyek Kemenko 1, 2, 3, 4, dan Kementerian Sekretariat Negara.
Sementara itu, di waktu yang sama, pemerintah menargetkan hunian rumah tapak jabatan menteri, 12 tower rumah susun ASN, dan kantor di sektor pertahanan dan keamanan sudah selesai dibangun.
Harapan pekerja
Memasuki 2024, Dimas berharap kondisi kerja di tempatnya bekerja bisa lebih sehat, terutama adanya hari libur. ”Kita manusia, bukan robot. Bisa capek juga. Saya berharap pemimpin yang memanusiakan manusia,” katanya.
Pria asal Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, itu bertahan di proyek IKN karena ingin mengumpulkan modal. Ia ingin membeli mesin jahit dan membuka usaha konfeksi. Selain itu, ia juga ingin membelikan mesin las untuk mengembangkan bengkel ayahnya.
Ia butuh tabungan Rp 7 juta-Rp 9 juta untuk rencana itu. Di akhir tahun 2023 ini, Dimas berencana memperpanjang kontrak sampai Ramadhan 2024 pada April. Ia berupaya menabung Rp 1 juta per bulan.
Niat itu mesti ia upayakan dengan membagi upah Rp 4,5 juta setiap bulan: mengirim anak-istri Rp 1,5 juta per bulan, mengurangi belanja kebutuhan di tempat proyek, dan tidak mengambil cuti. Saat anak-istrinya butuh tambahan kiriman, Dimas mengambil dari tabungan.
Sebenarnya, setelah empat bulan kerja, Dimas diperbolehkan mengambil cuti. Namun, jika mudik dilakukan saat jatah cuti diambil, kontraktor yang mempekerjakannya tak memberi ongkos pulang ke kampung. Kontraktor baru memberikan ongkos pulang saat ia sudah selesai masa kontrak.
”Obat lelah kerja itu kalau sudah video call anak dan istri di kampung,” katanya menjelaskan bagaimana ia menjaga kondisi mental di tengah beratnya tuntutan kerja.
Rudiansyah dan Ridho pun demikian. Mereka berharap segala kekurangan, baik kebutuhan dasar seperti air dan sinyal seluler maupun material proyek, bisa dipenuhi. Dengan demikian, kehidupan di lokasi proyek di IKN yang panas, berdebu, dan serbamahal bisa terasa lebih baik.
”Memang (IKN) enggak ada pengaruhnya buat saya. Mau ibu kota pindah ke Arab Saudi pun, enggak ada pengaruhnya. Siapa pun presidennya, orang kecil kayak saya kalau enggak kerja, ya, enggak makan. Tapi, harapan saya, semoga kebutuhan di sini bisa dilengkapi,” tutur Rudiansyah.
Kendati demikian, ia mengakui, sebersit kebanggaan akan tumbuh dalam benaknya jika suatu saat ia akan melintas di IKN dan melihat gedung-gedung pemerintahan megah itu berdiri kokoh. ”Kebanggaan saya itu waktu melihat gedung itu ditempati banyak orang, meskipun saya enggak bisa ikut menempati,” katanya.
*Berita ini telah mengalami perubahan dari versi pertamanya