Kegilaan Warga Pulau Buluh Melestarikan Bakau di Sarang Para Pembalak
Warga Pulau Buluh di Batam, mengubah sarang pembalak liar menjadi pembibitan bakau. Mereka bekerja walau dianggap gila.
”Dulu kami dibilang gila sama orang-orang. Untuk apa susah payah menanam tumbuhan yang sebenarnya bisa tumbuh sendiri. Buat apa menanam pohon yang tidak menghasilkan buah,” kata Muhammad Syaifullah (59), Selasa (19/12/2023).
Syaiful adalah salah satu perintis Kelompok Pejuang Mangrove Pulau Buluh. Sejak 2016, komunitas itu telah menanam ratusan ribu bibit mangrove di sejumlah pulau kecil.
Pulau Buluh terletak di perairan sebelah barat Pulau Batam, Kepulauan Riau. Buluh merupakan pulau dengan penduduk terpadat di Kota Batam. Ada 900 keluarga yang tinggal di pulau seluas 500 hektar tersebut.
Menurut Syaiful, gerakan menanam mangrove itu berawal dari keresahan nelayan. Tangkapan udang dan kepiting terus merosot seiring dengan hilangnya tutupan hutan bakau di pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Buluh.
”Hutan mangrove di pulau-pulau sekitar habis dibabat untuk membuat arang bakau. Memang dulu di sekitar Pulau Buluh inilah tempat pembuatan arang bakau yang paling besar di Batam,” ujar Syaiful.
Waktu itu, sarang pembalak dan pembuat arang bakau yang paling besar terdapat di Pulau Bulan yang terletak di seberang Pulau Buluh. Di sana terdapat 12 dapur arang dan puluhan pekerja yang dalam satu hari bisa memproduksi berton-ton arang bakau.
Sekitar pertengahan tahun 2000-an, seorang pekerja arang di Pulau Bulan membunuh salah satu mandor. Sejak saat itu, menurut Syaiful, aktivitas pembuatan arang bakau di Pulau Bulan mulai meredup, lalu perlahan mati.
”Kami memutuskan untuk menduduki lokasi bekas dapur arang ini. Memang kami sengaja memilih lokasi ini untuk mengubah citra Pulau Bulan yang dulu dikenal orang sebagai penghasil arang bakau,” ucap Syaiful.
Di bekas dapur arang itu, Syaiful dan adiknya, Mohammad Sapet (45), serta 15 warga lain membangun tempat pembibitan bakau. Setiap hari mereka mengumpulkan bibit bakau sambil menangkap udang dan kepiting. Bibit yang terkumpul kemudian dibawa ke Pulau Bulan untuk disemai.
Di tahun pertama, Syaiful dan kawan-kawannya bekerja secara swadaya tanpa bantuan apa pun dari pemerintah ataupun pihak lainnya. Bahkan, warga lain sering mencemooh mereka sebagai orang gila karena buang waktu dan buang tenaga.
”Kami diam saja dicemooh begitu karena yakin suatu saat orang itu akan ikut merasakan hasil kerja kami. Mereka itu juga nelayan, jadi kalau hutan bakaunya lebat, pasti nanti tangkapan naik,” kata Syaiful.
Salah satu warga yang kemudian tertarik ikut menanam bakau adalah Nur Firmansyah (28). Sekarang, setelah hutan bakau di pulau-pulau sekitar Pulau Buluh kembali lestari, ia merasa lebih mudah menangkap udang.
”Itu saya rasakan betul saat mencari kepiting di Pulau Buaya yang letaknya sekitar 2 kilometer dari Pulau Buluh. Waktu bakau-bakau di sana masih gundul, susah sekali mencari udang, tetapi sekarang saya bisa dapat 7 kilogram sehari,” ujarnya.
Bila mendapat 7 kg udang, Firman bisa mengantongi Rp 700.000 dalam satu hari. Jumlah itu terbilang cukup besar untuk nelayan seperti Firman yang hanya mengandalkan alat tangkap tradisional berupa jaring tekop.
Sapet Ketua Kelompok Pejuang Mangrove Pulau Buluh mengatakan, seiring waktu perhatian dari pemerintah mulai mengalir. Kelompok itu dilibatkan dalam program penanaman bakau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
”Ada sekitar 200 warga dari Pulau Buluh dan pulau-pulau kecil sekitarnya yang terlibat menanam bakau. Sejak tahun 2016, kami sudah menanam lebih dari 420.000 batang,” katanya.
Hasil kerja keras dan keringat warga Pulau Buluh itu mulai tampak. Pulau-pulau di sekitar kampung mereka kembali menghijau. Berkat hal itu, tangkapan nelayan juga kembali meningkat.
Baca juga: Tangan-tangan yang Tak Berhenti Menanam
Krisis iklim
Menurut Sapet, krisis iklim membuat pulau-pulau kecil di Batam dan sekitarnya semakin terancam kenaikan muka air laut. Ironisnya, hutan bakau yang menjadi benteng alami bagi pulau-pulau kecil masih saja terus dibabat.
”Pulau-pulau di sekitar sini luasnya hanya puluhan atau ratusan hektar. Maka, kehilangan hutan bakau 1 hektar pun dampaknya akan langsung dirasakan warga,” kata Sapet.
Kehilangan hutan bakau 1 hektar pun dampaknya akan langsung dirasakan warga,
Data BRGM menunjukkan, pada tahun 2021, luas mangrove di Kepri mencapai 68.351 hektar. Dari jumlah itu, 18.524 hektar di antaranya terdapat di Kota Batam.
Data yang sama menunjukkan, kerusakan mangrove di Kepri mencapai 37.364 hektar. Dari jumlah itu, 24.624 hektar lahan mangrove yang rusak terletak di kawasan hutan.
Menurut Sapet, tantangan utama melestarikan hutan bakau bukan soal menanam. Namun, yang paling sulit adalah memastikan dan menjaga bibit yang ditanam tumbuh menjadi pohon dewasa. Itu butuh waktu bertahun-tahun.
”Kendalanya ada banyak, dari mulai masalah alami, seperti pohon yang masih kecil dimakan kepiting, sampai masalah yang disebabkan manusia, seperti soal alih fungsi lahan atau pencemaran,” ujarnya.
Banyak terjadi bakau yang sudah agak besar justru dirusak orang.
Tugas Kelompok Pejuang Mangrove Pulau Buluh tidak rampung seusai menancapkan bibit bakau di pesisir pulau-pulau kecil, secara berkala mereka harus melakukan pemantauan. Banyak terjadi bakau yang sudah agak besar justru dirusak orang.
Menurut Sapet, pelaku perusakan itu kebanyakan adalah pembalak kayu. Biasanya kayu bakau yang dicuri dari pulau-pulau kecil di sekitar Batam kemudian diselundupkan ke Singapura untuk dijadikan bahan bangunan.
Baca juga: Pesisir Pulau Batam Tercemar Limbah Minyak Hitam
Bakau yang ditanam warga juga pernah dibabat habis sebuah perusahaan karena lahannya akan dialihfungsikan untuk tambak udang. Hal itu sempat memicu konflik antara perusahaan dan warga Pulau Buluh.
”Bakau itu lambat sekali tumbuhnya, dalam lima tahun diameter batangnya baru seukuran ibu jari. Jadi, kami marah sekali kalau lihat pohon yang warga tanam dirusak orang,” ujar Sapet.
Selain itu, ancaman lain juga terjadi akibat pencemaran. Tepat satu tahun yang lalu, bakau yang ditanam di sekitar Pulau Buluh warga mati karena terkena limbah minyak hitam. Pelaku pencemaran itu sampai sekarang tidak terungkap.
”Suka tidak suka, kami harus turun lagi untuk menanam ulang. Kami merasa bertanggung jawab sebagai orang pulau karena hutan bakau adalah tempat kami cari makan untuk anak dan istri,” kata Sapet.