Masyarakat Dayak Bidayuh di Dusun Sontas, Entikong, Kalimantan Barat, dan di Kampung Entubuh, Sarawak, Malaysia, merayakan perjumpaan dengan saling meneguhkan dalam doa dan menari bersama. Mereka tetap kokoh bersaudara.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
Masyarakat Dayak Bidayuh di Dusun Sontas, Entikong, Kalimantan Barat, dan di Kampung Entubuh, Sarawak, dipisah oleh teritori negara. Akan tetapi, sesungguhnya mereka adalah keluarga.
Kanisius Kartus (49) pada Sabtu (16/12/2023) siang tiba di Kampung Entubuh, Sarawak. Ia dan puluhan orang Dayak Bidayuh dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, tiba di halaman Gereja Saint Matthew di Kampung Entubuh, Sarawak, setelah menempuh perjalanan darat sepanjang 6 kilometer.
Kanisius bergelar Temenggung Benua. Hanya pemimpin adat tertinggi yang menyandang gelar tersebut. Ia yang memimpin rombongan melintasi Pos Pelayanan Lintas Batas Negara (PLBN) Indonesia dan Malaysia. Begitu tiba, rombongan itu diterima oleh setidaknya 626 masyarakat Dayak Bidayuh, Sarawak.
Di halaman depan Gereja Saint Matthew terdapat spanduk bertuliskan ”Program Kerohanian dan Pra-Krismas St Matthew dengan Paroki St Yohanes Maria Vianney Entikong” yang digantung di gapura.
Arip Anak Tachin (64), anggota pengurus Gereja Saint Matthew, langsung menyambut mereka. Arip menyapa mereka menggunakan bahasa Dayak Bidayuh yang direspons dengan anggukan umat Katolik dari Dusun Sontas.
Arip meminta Kanisius memimpin rombongannya beristirahat. Sebelum mereka meninggalkan halaman gereja, Arip berkata, ”Biasanya kalian datang saat Gawai (acara adat syukuran panen). Namun, kali ini kita bertemu untuk misa. Nanti baru saya sambung lagi, ya. Kita istirahat dulu.”
Umat dari Dusun Sontas pun menuju rumah umat Kampung Entubuh untuk menginap. Salah satunya menuju rumah Gasau (52) yang terletak di Lorong Nomor 13 (Gang No 13).
Gasau menyuguhkan kopi, teh, dan nasi beserta lauk-pauk, antara lain ikan sambal dan sayur daun ubi. Santap pada sore hari tersebut diiringi lagu pop Malaysia dan dangdut Indonesia dari radio milik Gasau.
”Silakan dimakan duriannya. Natal tahun ini durian di kebun saya berbuah,” ujar Gasau sembari menyuguhkan durian di atas meja. Tak hanya bahasa, bahkan buah-buahan dan makanan mereka pun serupa.
Dayak Bidayuh dan masyarakat Entubuh bagai adik-kakak. Dalam berbagai kegiatan bersama, setiap keluarga mengajak anak-anak dan sanak keluarganya.
Pada sore hari, umat Katolik Dusun Sontas dan umat Kampung Entubuh misa bersama di Gereja St Matthew. Misa dipimpin pastor setempat, yaitu Pastor Cornelius dan Pastor Paroki Entikong RD Yohanes Bartolomeus Tolo. Misa berlangsung khidmat. Lagu yang mengiringi misa ada yang berbahasa Indonesia, ada pula berbahasa Dayak Bidayuh.
”Terima kasih untuk semua yang berkumpul di sini. Kita berkumpul untuk Pra-Krismas. Saya berharap kebersamaan ini terus dilanjutkan,” kata Pastor Cornelius seusai misa.
Acara tidak berhenti di situ. Setelah misa, dilanjutkan ramah tamah di halaman gereja. Ibu-ibu Wanita Katolik Entikong membuka acara dengan menari poco-poco. Tubuh mereka bergerak lincah mengikuti irama lagu, diiringi tepuk tangan hadirin.
Acara kian meriah tatkala umat dari Kampung Entubuh ikut menari bergabung bersama umat dari Entikong. Lagu silih berganti mengiringi mereka menari bersama, mulai dari lagu Dayak, rohani, hingga beberapa kali terdengar lagu dangdut.
Sejatinya saudara
Acara dua negara itu diawali dengan undangan dari umat Katolik di Kampung Entubuh untuk datang ke Sarawak. Mereka yakin kedua kelompok dari negara yang berbeda ini merupakan kerabat. Mereka ingin persaudaraan mereka tak hanya sebatas acara adat, tetapi juga dalam acara rohani.
Binggam Anak Libai (69), mantan Ketua Kampung Entubuh, menuturkan, berdasarkan cerita turun-temurun, masyarakat Dayak Bidayuh di Kampung Entubuh berasal dari Dusun Sontas. ”Babeh (kakek) kami dari Sontas,” tuturnya.
Kakek mereka dulu pindah dari Sontas ke Kampung Entubuh karena tidak mampu membayar cukai kepada kolonial Belanda. Namun, kala itu, kakek mereka belum mengetahui daerah Entubuh itu masuk wilayah Indonesia atau Malaysia.
Seiring waktu, pada sekitar tahun 1950, leluhur mereka mengetahui bahwa lokasi tempat mereka bermukim merupakan wilayah negara yang berbeda dengan yang ada di Sontas. Kemudian, seiring waktu, ada PLBN yang memisahkan Malaysia dengan Indonesia.
”Menurut cerita kakek kami, mereka pindah ke Entubuh sebelum tahun 1800/1920. Itu lebih kuranglah (kira-kira seperti itu). Mendiang ayah saya dulu lahir di sini tahun 1921,” ujarnya.
Masyarakat Dayak Bidayuh di Kampung Entubuh jika menggelar suatu kegiatan selalu mengundang dan memberi tahu saudaranya di Sontas. Sebaliknya, mereka juga selalu diundang jika saudara mereka di Sontas menggelar acara. Ini membuat persaudaraan terjalin kokoh di antara mereka.
”Kalau ada kematian sanak keluarga, juga saling kunjung,” kata Binggam. Kakek mereka dulu berpesan, masyarakat Dayak Bidayuh tidak boleh memutuskan hubungan dengan saudaranya di Sontas. Sebab, mereka berasal dari Sontas. Apa pun yang terjadi di kedua belah negara, mereka tetap bersaudara.
Pastor RD Yohanes Bartolomeus Tolo dalam kata sambutannya menuturkan, mereka tidak hanya saudara, tetapi juga adik-beradik. Dengan acara ini, generasi muda kedua belah pihak juga semakin mengetahui satu sama lain.
”Biarpun kalian di sini (Entubuh) dan kami di sana (Sontas), kita satu keluarga,” ujarnya.
Senada dengan itu, Kanisius Kartus menuturkan, Dayak Bidayuh dan masyarakat Entubuh bagai adik-kakak. Dalam berbagai kegiatan bersama, setiap keluarga mengajak anak-anak dan sanak keluarganya. Mereka memperkenalkan saudara-saudaranya sehingga saling mengenal turun-temurun.
Kanisius dan Arip lalu berjabat tangan, diikuti ratusan orang lain. Saat berjabat tangan dan berpelukan, air mata mereka menetes. Bukan karena sedih, melainkan bahagia, seperti tangisan adik yang bertahun-tahun tak berjumpa kakaknya, atau pelukan kakak ke adik yang hendak keluar kampung mencari penghidupan.