Jangan Diam, Ayo Laporkan Semua Kekerasan
Bale Istri, kelompok ibu-ibu di Kabupaten Bandung, tampil di Panggung Ekspresi 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan.
Benang kusut kekerasan hingga pelanggaran hak asasi manusia sulit terurai selama korbannya hanya diam. Padahal, saat mereka bicara, uluran tangan dari berbagai pihak bisa ikut meredakan badai kejahatan yang laten mengancam generasi selanjutnya.
Suntikan semangat dan edukasi untuk korban kekerasan hadir di sela tawa dalam penampilan Reog Sunda oleh kelompok Bale Istri di Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (10/12/2023). Komunitas ibu-ibu dari Desa Cipaku, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, itu tampil dalam rangkaian Panggung Ekspresi 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP).
Polah jenaka Neng Sri (43) sebagai dalang, bersama lima perempuan paruh baya itu, membuat puluhan penonton tergelak. Tabuh gendang yang dimainkan bersama lawakan membuat acara semakin meriah.
Beberapa kali Neng terlihat kesal melihat ibu-ibu pemain gendang lain yang kerap berulah. Mereka berakting di luar skenario. Tingkahnya yang merajuk dan menekukkan wajahnya membuat pemain reog lainnya, bahkan para penonton, ikut menggodanya.
”Dalang pundung (kesal) euy,” teriak penonton dan ibu-ibu Reog Sunda serempak sambil tertawa.
Baca juga: Sugih Hartini, Nyali Hebat Perempuan Kuat
Akan tetapi, acara itu tidak hanya mencari tawa. Di sela canda, Neng Sri dan kawan-kawannya juga memberikan edukasi. Untuk sebagian penonton yang pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, dukungan turut disampaikan.
”Ibu kunaon ceurik? (ibu, kenapa nangis),” kata Neng menyapa seorang ibu yang berperan sebagai korban kekerasan. Ibu itu lalu menunjukkan giginya, menunjukkan dampak perlakuan kasar dari suaminya.
Neng yang melihat kondisi itu lalu mengingatkan ibu tersebut tidak ragu mengadu ke polisi. ”Ibu tidak usah takut. Silakan mengadu, yang penting berani,” ujarnya.
Adu nyawa dan nasib
Neng tidak sembarangan menampilkan parodi itu. Ia paham benar dengan kondisi korban KDRT. Neng pernah ada di posisi mereka, terpuruk saat jadi korban.
Setelah menikah di tahun 2000, Neng menyebut, rumahnya bukan tempat terindah yang ia dambakan. Suaminya ternyata ringan tangan.
Tidak tahan dengan perlakuan itu, Neng memilih pergi menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) di Arab Saudi. Minim keahlian, Neng bekerja sebagai asisten rumah tangga. Di negeri orang, dia bekerja pada 2006-2009.
Namun, kepergiannya itu tidak membuat suaminya berubah. Bahkan, lelaki itu hendak menikah lagi. Ironisnya, modal yang hendak digunakan untuk kawin lagi adalah uang kiriman Neng mengadu nasib dan nyawa jadi PMI.
Hal itu membuat dia enggan kembali ke Arab Saudi. Apalagi, ia cemas dengan kondisi anak-anaknya yang minim perhatian. Dia lantas memilih mencari kerja di salah satu pabrik tekstil di Kabupaten Bandung.
Akan tetapi, lagi-lagi dia menjadi korban. Kali ini, ia dilecehkan sesama pekerja pabrik. Lagi-lagi Neng bungkam. Ia bahkan memilih berhenti bekerja. Keputusan itu membuat beberapa rekannya curiga. Setelah diusut, ternyata bukan hanya Neng yang menjadi korban.
”Awalnya saya tidak berani mengadu. Namun, karena desakan dari rekan-rekan dan ada juga korban lainnya, akhirnya kami mengadu ke manajemen dan pelaku dipecat. Bahkan, ada juga dukungan dari serikat buruh untuk membantu kami. Saya merasa tenang sehingga bisa bicara apa yang terjadi,” kata Neng.
Neng semakin berani saat mengenal Bale Istri di tahun 2012. Bale Istri dibentuk Yayasan Sapa pada tahun 2007. Organisasi ini fokus mendampingi perempuan di Kabupaten Bandung. Anggotanya kerap terlibat dalam meminimalkan dampak pernikahan dini hingga KDRT.
Di sana, ia belajar tentang banyak hal terkait kesetaraan. Neng enggan terus menjadi korban. ”Suami akhirnya tidak mau macam-macam lagi. Dia tahu, kalau kasar, saya bisa membela diri,” ujarnya tersenyum.
Berani bersuara
Tidak dapat dimungkiri, KDRT dan kasus kekerasan lain pada perempuan masih serupa gunung es. Kecil di puncak, tapi sangat besar di lapisan yang tidak terlihat. Di tengah kondisi itu, kiprah Neng dan rekan-rekannya adalah modal emas bagi keberanian para penyintas yang tengah bersemi di Jabar.
Dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan Tahun 2023, kasus kekerasan berbasis jender di Jabar tertinggi di Indonesia. Laporan yang masuk dari berbagai sumber dan lembaga layanan itu menyebutkan ada 61.139 kasus atau setara 17,99 persen dari 339.782 kasus.
Setelah Jabar, Jawa Timur menyusul dengan 53.861 kasus, Jawa Tengah (49.920), dan DKI Jakarta (17.517). Selain memperhitungkan jumlah penduduk, laporan ini disebut bisa saja terjadi karena korban sudah berani melapor.
Baca juga: Komnas Perempuan, 25 Tahun Bersuara Bersama Perempuan Korban Kekerasan
Hal senada juga merujuk pada data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Dari laman kekerasan.kemenpppa.go.id yang diakses Minggu (17/12/2023), laporan kekerasan dengan korban perempuan sejak awal 2023 dari Jabar mencapai 2.058 kasus dari total 23.276 laporan di Indonesia. Sementara itu, laporan di Jatim mencapai 1.824 kasus dan Jateng (1.813).
Akan tetapi, banyak pihak yakin angka yang muncul tidak lantas menggambarkan kondisi riil. Kejadiannya bisa jadi jauh lebih besar dari yang terdata. Butuh edukasi lebih ideal untuk membuat banyak korban bersuara agar lepas dari belenggu kekerasan. Penampilan ibu-ibu Bale Istri di panggung ekspresi jadi bukti niat baik itu berusaha diapungkan.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan Jaringan Advokasi Jawa Barat-Youth (JAJ-Youth), berbagai seni ditampilkan dan memberi makna. Koordinator JAJ-Youth Sri Wahyuni menyebut, kegiatan ini menjadi kampanye dan dukungan untuk upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis jender dan seksual di Jabar.
”Kali ini kami menggunakan media berupa seni dan budaya untuk menumbuhkan kepedulian terhadap korban kekerasan. Di sini, semua bebas berekspresi dengan baik dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Sekarang para korban bisa melapor dari mana saja, every door is the right door.
Seniman pantomim asal Bandung, Wanggi Hoed, ikut meramaikan acara dengan pertunjukan bertajuk ”Senyap dalam Pecah”. Dia menggunakan tubuhnya untuk membicarakan kekerasan seksual. Lewat beragam gerak, dia menyuarakan perlunya dukungan dari berbagai pihak untuk mengatasi permasalahan itu.
Wanggi yang kerap berkarya untuk kelompok marjinal dan korban kekerasan melihat pentingnya dukungan dari semua pihak agar korban berani berbicara. Jika tidak, mereka akan terus diam dan kejahatan yang dialami tidak akan hilang. Saling mengingatkan dalam wujud seni diharapkan bisa memberikan ruang nyaman bagi para korban untuk membuka diri.
”Yang dialami para korban, paling membekas dan laten itu dari psikis. Jadi hal-hal ini yang tidak diperhatikan. Apalagi, saat menjadi korban, mereka akan membatasi aktivitasnya. Hak itu yang akan tercerabut karena kekerasan yang didapat itu membekas,” ungkapnya.
Payung hukum
Dukungan terhadap para korban juga telah memiliki payung hukum. Melalui Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS, sudah saatnya para korban dan pendampingnya bisa lebih lantang berbicara dan mengakhiri kekerasan.
Direktur Women Crisis Center Pasundan Durebang Ira Imelda menyatakan, hak-hak korban secara garis besar sudah terpenuhi melalui UU yang disahkan tahun 2022 ini. Dia juga meminta para pendamping untuk mendorong penegak hukum menjerat para pelaku kejahatan dengan UU TPKS.
”Dalam UU TPKS, korban itu punya hak mendapatkan informasi dari kepolisian dan jaksa sejak pelaporan. Mereka juga berhak dapat restitusi (ganti rugi). Dan ingat, itu bukan uang damai, karena proses hukum akan berjalan terus,” ujarnya.
Bahkan, Ira menekankan, pihak yang terlibat dalam penyelesaian kekerasan tidak hanya penegak hukum. Berbagai sektor memegang peranan penting, seperti pemerintah, rumah sakit, bahkan perlindungan. Dia juga menekankan kepada para pendamping untuk memahami hak-hak yang didapatkan selama mendampingi korban.
”Sekarang para korban bisa melapor dari mana saja, every door is the right door. Bisa lewat lembaga layanan masyarakat, bilik pengaduan, dan lainnya. Yang diperhatikan adalah bagaimana mekanisme koordinasi untuk mendekatkan akses perlindungan kepada para korban kekerasan,” ujarnya.
Perlindungan kekerasan ini tidak hanya untuk korban berbasis jender atau kekerasan dalam rumah tangga, tetapi juga dalam ruang-ruang untuk beribadah sesuai dengan keyakinan. Aroma dupa yang menyeruak di sela kegiatan Minggu (10/12/2023) menjelang siang itu membawa pesan perdamaian dari para penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sejumlah pemuda dan pemudi dari Organisasi Budi-Daya dari Kabupaten Bandung Barat itu membawakan rajah, yakni doa atau mantra keselamatan. Deni Kumara (19) mengucapkan rajah dengan bahasa Sunda yang bermakna salam dan permisi kepada para leluhur dan alam.
”Acara-acara seperti ini menjadi tempat aman bagi kami untuk beribadah. Di sekitar kami memang tidak ada yang melarang, tapi masih ada bisik-bisik sinis karena menganggap kami berbeda. Bahkan, adik-adik kami juga masih mengalami perundungan karena cara beribadah kami berbeda,” ujarnya.
Deni juga melewati masa kecilnya dengan penuh perundungan. Gangguan itu mereda saat pemerintah memberikan hak untuk mencantumkan kepercayaan mereka dalam identitas kependudukan, seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Kebijakan ini merujuk pada putusan MK No 97/PUU-XIV/2016 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 118 Tahun 2017 tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
Namun, Deni berharap masyarakat menerima perbedaan ini. Dia melihat anak-anak dari penganut kepercayaan yang masih mendapatkan perundungan itu terjadi karena publik masih menganggap mereka berbeda.
”Padahal, seharusnya kami juga sama seperti yang lain, bisa beribadah tanpa merasa khawatir dan mendapatkan perundungan. Pemahaman kami kepada Tuhan Yang Maha Esa itu hak asasi manusia, dan seharusnya kita saling menghargai. Semoga saja ada produk hukum yang mampu melindungi semua orang beribadah sesuai kepercayaan masing-masing,” harapnya.
Dukungan dari berbagai pihak akan semakin kuat jika disertai instrumen hukum yang melindungi korban. Saat korban tidak menutup diri dan berani, saat semua orang saling mengerti, ruang aman itu akan hadir tanpa harus sembunyi.
Baca juga: Pemulihan Korban Kekerasan Seksual Jadi Prioritas