Pemulihan kondisi korban kekerasan seksual harus diperhatikan. Mereka akan menanggung beban berat dalam waktu yang lama, mulai dari trauma hingga stigma di masyarakat.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pemulihan kondisi korban kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa Herry Wirawan (36) perlu diperhatikan. Tidak hanya mengalami trauma, adanya stigma dari masyarakat juga dikhawatirkan bisa membuat para korban semakin tidak berdaya.
Herry Wirawan divonis penjara seumur hidup oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/2/2022). Pelaku kekerasan seksual terhadap 13 anak ini meninggalkan trauma bagi para korban. Bahkan, ada sembilan bayi yang lahir dari aksi bejatnya dan butuh diperhatikan.
Tidak hanya materi, pemulihan hingga pemenuhan hak dari para korban dan anak-anak yang mereka lahirkan menjadi tugas yang panjang. Ketua Pengurus Yayasan Sapa Sri Mulyati saat dihubungi di Bandung, Rabu (16/2), menyatakan, perhatian saat ini perlu diarahkan ke aspek-aspek ini.
”Saya menyayangkan saat ini orang-orang masih menyoalkan hukuman bagi terdakwa. Padahal, ada yang lebih penting, yakni bagaimana kepastian pemulihan dari para korban. Mulai dari trauma yang sangat sulit dihilangkan hingga ancaman stigma dari masyarakat,” ujarnya.
Sebagai organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Sri melihat kondisi ini kerap terjadi kepada korban. Trauma yang dirasakan oleh para korban tidak hanya setelah mendapatkan kekerasan seksual, tetapi bisa berdampak lama. Karena itu, pemulihan para korban menjadi hal yang utama agar hidup mereka tidak selalu dirundung ketakutan.
”Bayangkan juga kalau anak yang lahir ternyata mirip dengan bapaknya sebagai pelaku kekerasan seksual. Itu akan membuat mereka semakin trauma. Ini yang perlu mendapatkan perhatian jangka panjang,” paparnya.
Di samping itu, stigma yang ada mampu menyisihkan para korban di masyarakat, bahkan kepada anak yang lahir dari kekerasan seksual. Hamil di luar nikah hingga anak yang lahir tanpa seorang ayah menjadi hal yang buruk di mata masyarakat. Korban dan anaknya bisa saja mendapatkan diskriminasi, bahkan sulit meraih hak-hak mereka.
”Bahkan, ada anak yang tidak mendapatkan kembali haknya untuk bersekolah hanya karena mereka korban kekerasan seksual dan hamil di luar nikah. Anak yang lahir kerap disebut anak haram karena berasal dari hubungan yang tidak sah. Kalau begini, mereka menjadi korban berkali-kali,” tuturnya.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Jawa Barat Diah P Momon menyatakan, pihaknya akan tetap mengawal pemenuhan upaya pemulihan trauma bagi para korban. Selain itu, dorongan untuk banding terhadap hukuman terdakwa tetap dilakukan demi keadilan para korban.
”Anak-anak ini menaruh harapan yang tinggi dengan bersekolah di tempat terdakwa. Bahkan, ada yang ingin menjadi guru. Tetapi, apa yang mereka dapatkan, kekerasan seksual yang membuat mereka trauma. Terdakwa harus dihukum berat dan para korban harus didampingi untuk pemulihan,” paparnya.
Sebagian besar korban akhirnya menarik laporan karena prosedur yang berbelit dari kepolisian, bahkan petugas menyarankan korban untuk mediasi.
Menurut Sri, diskriminasi dari masyarakat ini bisa hilang jika ada pembuktian secara hukum bahwa mereka menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual. Status hukum ini menunjukkan para korban tidak menghendaki adanya hubungan seksual dan semua ada dalam paksaan.
”Sebagian besar korban akhirnya menarik laporan karena prosedur yang berbelit dari kepolisian, bahkan petugas menyarankan korban untuk mediasi. Itu hanya akan merugikan para korban karena, dengan berdamai, secara tidak langsung korban mengamini bahwa ini adalah tindakan atas dasar suka sama suka,” ujarnya.
Karena itu, Sri meminta para korban kekerasan seksual untuk mengadu kepada polisi. Di sisi lain, penegakan hukum juga tidak boleh berbelit dan tidak mengedepankan mediasi karena akan merugikan korban seutuhnya.
”Jika sudah ada ketetapan hukum, korban bisa membuktikan kepada masyarakat kondisi ini murni karena paksaan dan mereka menjadi korban. Jika mengedepankan mediasi, tidak ada efek jera bagi pelaku kekerasan seksual sehingga potensi adanya korban tambahan kembali muncul,” tuturnya.