Ibu Hamil Tewas Dipukul Suami, Alarm Keras Kekerasan Perempuan dari Sultra
MS (19), perempuan yang hamil tiga bulan, tewas dipukuli oleh LN (17), sang suami sendiri. Kasus ini menjadi tamparan keras akan kekerasan terhadap perempuan yang makin tak terbendung.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Nyawa MS (19) dan janinnya yang berusia tiga bulan melayang di tangan LN (17), suami sekaligus ayah korban. Kasus ini menjadi alarm berulang rentannya kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Tenggara.
Ny Sima (46) masih mengingat jelas perkataan MS, keponakannya, saat menelepon terakhir kali, Rabu (6/12/2023) malam. MS mengadu sembari terisak. Ia mengatakan kembali dipukuli suaminya, LN.
Kata Sima, kepala MS kembali dipukuli. Tidak tahan dengan perlakuan itu, korban minta dijemput pulang. ”Dia bilang, saya tidak tahan mi dipukuli,” kata Sima menirukan ucapan MS, Sabtu (16/12/2023), saat dihubungi dari Kendari.
Saat itu, Sima dan korban tidak berada di tempat yang sama. Korban tinggal di rumah mertuanya di Kelurahan Lipu, Baubau, Sulawesi Tenggara. Sedangkan Sima tengah di luar Baubau dan baru bisa datang pada Kamis (7/12/2023).
Motifnya pelaku tidak ingin isi percakapan di ponselnya diketahui korban.
Tiba di kediaman LN, Sima dan suaminya menemukan kejanggalan. Setelah beberapa menit mengetuk, pintu baru dibuka. Kamar MS juga terkunci. Pintu terbuka saat orangtua LN meneriakkan sesuatu.
Saat itu, MS terlihat terbaring di tempat tidur. Kepalanya miring ke kanan.
”Saya kira masih tidur, tapi dikasih bangun tidak mau bergerak. Suami saya bilang, ini sudah meninggal. Saya kaget sekali,” tuturnya.
Sembari menangis dan panik, Sima lantas memeriksa tubuh korban. Faktanya mengejutkan. Ada sejumlah lebam di kepala MS. Merasa tidak wajar, Sima dan suaminya melaporkan kejadian ini kepada polisi.
Menurut Sima, keponakannya baru menikah tiga bulan. Namun, MS sudah melapor empat kali dipukul suaminya. Bahkan, sebelum menikah, LN dikenal ringan tangan.
”Yang kami tidak sangka kenapa sampai bunuh orang? Di rumah itu juga ada banyak orang, masa tidak dengar kalau ada yang menangis dan dipukuli?” tutur Sima.
Akan tetapi, Sima juga menyesal tidak sejak lama mencegah kejadian ini. ”Salahnya kami kenapa tidak jemput ketika sudah beberapa kali dipukuli. Kami tidak sangka, kenapa orang bisa habisi nyawa perempuan hamil. Kami kira tidak cukup kalau cuma pelaku yang ditahan. Di mana belas kasihnya orang-orang sekitar?” tanya Sima.
Polisi lalu memeriksa kasus ini. Korban juga divisum. Polisi meminta persetujuan keluarga agar korban diotopsi. LN ikut diperiksa.
Pada Jumat (15/12/2023), polisi mengungkap kasus ini. Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Baubau Inspektur Satu Ismunandar mengatakan, korban meninggal karena ada patahan di leher.
Menurut Ismunandar, sebelum meninggal, korban dipukuli beberapa kali pada Rabu siang dan petang. Sempat keluar rumah untuk bermain futsal, LN kembali memukul korban yang berujung kematian.
”Motifnya pelaku tidak ingin isi percakapan di ponselnya diketahui korban,” tuturnya.
Saat ini, LN yang masih di bawah umur telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Pelaku diancam Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
Tamparan keras
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Baubau terus berulang pada 2023. Satu kasus yang menyita perhatian publik adalah pemerkosaan terhadap dua bocah perempuan yang saat ini masih berproses hukum.
Yustina Fendritta, pemerhati masalah perempuan dari Lambu Ina, organisasi yang aktif mengadvokasi kasus kekerasan seksual di wilayah Kepulauan Sultra, menyampaikan, tewasnya istri di tangan suami merupakan tamparan keras bagi semua pihak. Perempuan, baik dewasa maupun anak, sangat rawan menjadi korban kekerasan.
”Ini sudah bukan alarm lagi, tapi tamparan keras untuk kita semua. Kasus ini terjadi di depan mata dan tidak bisa ditangani,” tuturnya.
Menurut Fendritta, kasus ini menunjukkan tidak adanya sistem perlindungan ideal bagi perempuan baik di tingkat individu, keluarga, maupun komunitas. Padahal, berbagai lembaga telah dimandatkan menyadarkan hingga menyosialisasikan hal ini kepada semua lapisan masyarakat.
Seharusnya, ucap Fendritta, sebelum menikah setiap orang mendapatkan pengetahuan cukup terkait peran dan tanggung jawab. Tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga peran dalam keluarga hingga upaya menjaga perempuan agar tidak mengalami kekerasan.
Upaya itu idealnya berlanjut dalam lingkup keluarga hingga komunitas. Dengan begitu, setiap orang akan mengambil peran ketika terjadi kasus kekerasan di sekitar mereka. Hal itu bisa menghindarkan dari dampak fatal dan kasus yang berulang.
”Di kepolisian dan lembaga peradilan juga sama. Banyak kasus yang berujung pada damai sehingga tidak ada efek jera. Dan, ketika seseorang dihukum, tidak ada putusan untuk rehabilitasi agar pelaku sadar dan tidak mengulangi perbuatan. Jadi, ini memang kerja keras yang harus dilakukan terus-menerus. Cukup kasus di Baubau ini yang terakhir,” katanya.