Pemuda di Borobudur Inisiasikan Wisata Berbasis Kearifan Lokal
Para pemuda dari 20 desa di Kecamatan Borobudur bersepakat buat destinasi wisata berbasis kearifan lokal. Hal ini dimaksudkan juga untuk mewujudkan kerukunan warga yang selama ini berupaya membuka wisatanya sendiri.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Kelompok pemuda dari 20 desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, berupaya mengembangkan wisata berbasis kearifan lokal. Upaya ini dilakukan untuk menciptakan destinasi wisata di luar keramaian kunjungan ke Candi Borobudur sekaligus melestarikan budaya.
”Setelah sebelumnya kami hanya terbiasanya berebut rezeki dari pembukaan lahan untuk parkir untuk pengunjung dari acara-acara di kawasan candi, maka sekarang, sudah waktunya kami, pemuda Borobudur, berinisiatif menciptakan pusat destinasi sendiri,” ujar Zhawung Dio Syaputra dari kelompok pemuda Mahajava Aksata, Jumat (15/12/2023).
Upaya berebut rezeki dari kunjungan ke candi tersebut, menurut dia, sudah waktunya disudahi karena hal itu kerap menimbulkan gesekan antarpemuda dan desa. Kelompok Mahajava Aksata adalah kelompok pemuda-pemudi dari 20 desa di Kecamatan Borobudur, di mana sebagian besar diantaranya memiliki mata pencarian di sektor wisata. Kelompok ini terbentuk sejak 22 Juni 2023.
Sejak berdiri, Mahajava Aksata sudah berupaya menggelar berbagai kegiatan terkait budaya warga setempat. Gelaran itu di antaranya berupa sendratari Ramayana di Desa Tuksongo Juni lalu. Kegiatan dilanjutkan dengan pembelajaran tembang Macapat dengan melibatkan sejumlah narasumber pada September lalu. Acara ini juga dimeriahkan oleh pawai 500 obor.
Selain untuk ditampilkan dan disaksikan masyarakat umum, acara-acara tersebut sengaja dilaksanakan sebagai bagian dari upaya mereka untuk mempelajari lebih dalam tentang budaya dan kearifan lokal di desa.
Pada 22-23 Desember 2023, Mahajava Aksata akan membuat acara membatik di atas kain sepanjang 1.500 meter, membuat replika Candi Borobudur berbahan bambu, dan menggelar pentas tari selama 39 jam. Keseluruhan acara selama dua hari tersebut nantinya digelar di Desa Wringinputih, Kecamatan Borobudur.
Upaya menyatukan semangat dan bersama-sama menciptakan destinasi wisata tersebut, menurut dia, dinilai perlu dilakukan karena pembukaan destinasi baru yang selama ini dilaksanakan warga di tiap desa kurang sukses. Banyak destinasi hanya bertahan selama beberapa tahun dan kemudian tutup.
Kondisi ini, menurut dia, terjadi karena destinasi itu hanya semata-mata menjual keindahan pemandangan tanpa melengkapinya dengan cerita terkait dengan budaya masyarakat setempat.
”Tidak menambah daya tarik dengan budaya-budaya desa, banyak pelaku wisata justru merusak alam lingkungan dari destinasi karena memaksakan membangun bangunan modern dari bahan-bahan seperti besi atau kaca,” ujarnya.
Adi Pramuningtyas, yang menjadi koordinator pemuda dari kelompok Mahajava Aksata, mengatakan, inisiasi menggalang kekuatan dari pemuda untuk menciptakan destinasi wisata ini muncul karena selama ini banyak program pelatihan dari pemerintah daerah hingga pusat sering kali tidak ditindaklanjuti oleh pihak penyelenggara.
”Kami, dari desa, biasanya juga kesulitan untuk menindaklanjuti karena program tersebut kerap tidak sesuai dengan karakter dan permasalahan yang ada di desa,” ujarnya.
Semua kegiatan yang dilakukan oleh Mahajava Aksata adalah kegiatan sosial bermodalkan biaya dari iuran mereka sendiri. Upaya menggerakkan pemuda untuk melakukan segala sesuatunya secara swadaya dinilai penting dilakukan sebagai bagian dari mengubah pola pikir mereka yang selama ini cenderung berpikir komersial.
”Sekian lama berada di daerah wisata, banyak pemuda di sini (Borobudur) hanya semata-mata berpikir bagaimana mendapatkan keuntungan dari suatu kegiatan atau dari kunjungan pendatang atau wisatawan,” ujarnya.
Adyn Hysteria, pegiat seni sekaligus anggota Dewan Ekonomi Kreatif Jawa Tengah, dalam kesempatan terpisah, memuji niat baik para pemuda Borobudur yang ingin menciptakan destinasi wisata baru berbasis kearifan lokal.
Sekian lama berada di daerah wisata, banyak pemuda di sini (Borobudur) hanya semata-mata berpikir bagaimana mendapatkan keuntungan dari suatu kegiatan atau dari kunjungan pendatang atau wisatawan.
Namun, agar lebih menarik, setiap budaya yang ditampilkan disarankan harus digelar dengan visi-misi tertentu, dan disesuaikan dengan konteks keadaan, isu atau permasalahan yang ada di desa.
”Jangan semata-mata menjalankan tradisi di desa sebagai aktivitas rutin semata. Buatlah tradisi budaya di desa dengan menyentuh isu seperti pemanasan global, musim tanam yang terpaksa mundur, dan jalan rusak,” ujarnya.