Kelapa yang Mengakar di Kehidupan Warga Selayar
Kelapa tidak hanya menopang perekonomian, tetapi juga meresap ke dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Selayar.
Kelapa begitu mengakar di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Tidak hanya menopang perekonomian, kelapa juga meresap ke dalam kehidupan dari kelahiran hingga kematian. Namun, hilirisasi perlu didorong agar potensi besar kelapa tetap menyejahterakan.
Seorang perempuan duduk di atas buah kelapa bertunas. Ia menggendong boneka bayi di pangkuan. Sementara itu, pemeran dukun beranak di belakangnya bertindak seolah-olah membelah kelapa dan menyiramkan airnya kepada pemeran ibu dan bayi bonekanya.
Demikian sepintas simulasi ritual Anjoro Tahunidi Kepulauan Selayar, Kamis (30/11/2023). Ritual ini menjadi rangkaian Festival Budaya Maritim Kepulauan Selayar 2023: Kelapaku Budayaku, Lautku Kehidupanku, 28 November-1 Desember lalu. Festival sejalan dengan program Muhibah Budaya Jalur Rempah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kepulauan Selayar berada di bagian selatan Pulau Sulawesi. Laut di antara pulau utama Selayar dan Sulawesi dikenal sebagai Selat Selayar. Selat Selayar sejak masa lampau merupakan jalur perdagangan, mulai dari komoditas rempah-rempah, teripang, hingga kopra.
Baca juga: Jejak Peradaban Jalur Rempah di Selayar
Setelah melewati berbagai tahapan, termasuk menggunakan bunga kelapa, simulasi ritual Anjoro Tahuni itu diakhiri dengan menanam kendi berisi ari-ari bayi bersama tunas kelapa. Dalam bahasa Selayar, anjoro berarti ’kelapa’ dan tahuni berarti ’ari-ari bayi’.
”Makna ritual ini adalah sang anak akan tumbuh dan bermanfaat seperti kelapa. Tanaman kelapa, dari batang, daun, hingga buahnya, bermanfaat bagi kehidupan,” kata Badaruddin, tokoh masyarakat di Desa Bontolempangan, Kecamatan Buki, Kepulauan Selayar.
Ritual Anjoro Tahuni sejalan dengan ritual Abokong Burane bagi anak laki-laki ketika beranjak remaja. Abokong Burane artinya ’bekal untuk laki-laki’. Kakek-nenek dari pihak ayah menyerahkan puluhan bibit kelapa dan sebidang tanah. Kebun kelapa itu kelak menjadi mahar pernikahan.
Dua ritual tersebut mencerminkan bagaimana kelapa begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Selayar. Kehidupan warga bergantung pada kelapa, baik dari sektor ekonomi maupun budaya. Di berbagai penjuru Pulau Selayar, misalnya, berjejer kebun-kebun kelapa. Rumah-rumah panggung berdiri di antara pohon-pohon kelapa.
”Sekitar 70 persen warga desa kami hidup dari hasil perkebunan kelapa,” kata Abdul Rauf (66), warga Desa Kaburu, Kecamatan Bontomanai, yang punya 500 batang kelapa.
Lenrawati dan Nurul Adliyah Purnamasari, peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, mencatat, bagi warga Selayar, terutama di daerah pegunungan, kelapa menjadi bagian atau pelengkap upacara lingkaran hidup, dari upacara tujuh bulanan hingga kematian. Penggunaan kelapa pada setiap upacara itu memiliki manfaat terhadap kesehatan.
Kelapa juga memiliki arti tersendiri yang dijadikan simbol, antara lain batang sebagai simbol kekokohan, daun simbol kesegaran, buah simbol kesuburan, air sebagai simbol kebersihan dan kesucian, bunga sebagai simbol kebersamaan, dan akar sebagai simbol persatuan.
”Simbol yang telah diuraikan merupakan satu tuntunan dalam menjalani hidup,” tulis Lenrawati dan Purnamasari dalam artikel ”Fungsi Kelapa dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Selayar” pada jurnal Pangadereng, Volume 6 Nomor 1, Juni 2020.
Sekitar 70 persen warga desa kami hidup dari hasil perkebunan kelapa.
Kejayaan kelapa
Meresapnya kelapa (Cocos nucifera) dalam kehidupan warga Selayar tak bisa lepas dari kejayaan komoditas ini pada masa lampau. Perdagangan kopra menjadi penopang ekonomi Selayar pascaera kejayaan perdagangan rempah abad ke-16 dan ke-17 dan teripang abad ke-18 dan ke-19.
Baca juga: Mencari Emas Hijau Baru Selayar
Dosen sejarah maritim UIN Raden Intan Lampung, Abdul Rahman Hamid, menyebut, memasuki abad ke-19, Selayar kembali jaya melalui komoditas kopra. Pada masa itu, di wilayah Indonesia timur, mulai dari Manado, Ambon, hingga Selayar, kelapa dibudidayakan secara masif.
”Komoditas kopra laris dari awal abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, terutama dari Selayar. Kopra Selayar sangat dikenal bermutu tinggi,” kata pria asal Pulau Seram yang pernah mengajar di Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.
Rahman melanjutkan, umumnya kopra dijual kepada pedagang-pedagang Tionghoa. Bahkan, orang-orang Tionghoa Makassar datang ke Selayar, tinggal sementara, untuk mengatur pembelian kopra. Kopra diangkut ke Makassar dengan perahu lokal. ”Sejak akhir abad ke-19, kopra juga diangkut dengan KPM, kapal dagang Belanda,” ujarnya.
Abdul Rasyid Asba, mengutip Christiaan G Heersink, menulis, dalam laporan pertanian disebutkan, sampai tahun 1860, tanaman kelapa masih sangat langka di Sulsel, kecuali di Selayar. Saat itu, hampir 70 persen tanaman kelapa di Sulsel ditemukan di Selayar.
”Itulah sebabnya, sejak tahun 1855, Selayar menjadi pemasok bibit kelapa untuk daerah lain,” tulis Asba dalam buku Kopra Makassar, Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia (2007).
Menurut Asba, tanaman kelapa untuk kopra mulai mendapat perhatian serius tahun 1880-an saat penguasa Hindia Belanda menetapkan kopra sebagai salah satu komoditas ekspor utama dari Makassar.
Tulisan Heersink (2009), Selayar and the Green Gold: The Development of the Coconut Trade on an Indonesian Island, menyebutkan, sekitar tahun 1880, untuk pertama kalinya kopra, sebagai bahan baku margarin dan sabun, dikirim dari Selayar ke Eropa via Makassar.
Menurut Rahman, penduduk Selayar begitu menikmati kejayaan komoditas kopra hingga pertengahan abad ke-20. Begitu kayanya orang Selayar karena kopra, banyak warga yang menggunakan gigi emas.
”Ibu-ibu Selayar saat tertawa terlihat gigi emasnya. Istilah emas hijau (green gold) Selayar bermula dari cerita itu,” kata penulis buku Sejarah Maritim Indonesia (2013) dan Sejarah dan Budaya Maritim Indonesia (2020) ini.
Rahman menambahkan, jumlah kepemilikan pohon kelapa dan kopra jadi prestise bagi orang-orang Selayar. Status sosial dan kebangsawanan mereka turut dipengaruhi oleh seberapa banyak pohon kelapa yang dimiliki dan kopra yang dihasilkan.
Memudarnya kopra
Masa kejayaan kopra, termasuk di Selayar, berlangsung hingga pertengahan abad ke-20. Setelah itu, sinar kejayaan kopra memudar, bermula dari depresi ekonomi dunia tahun 1930-an, hingga gejolak politik dan ekonomi dalam negeri tahun 1960-an.
Kini, masyarakat Selayar tetap menggantungkan hidup dari hasil perkebunan kelapa meskipun harga kopra tak lagi selalu menguntungkan. Selain menjadi bagian kebudayaan, perkebunan kelapa telah menjadi warisan turun-temurun.
Abdul Rasak (39), warga Desa Bontolempangan, mengatakan, dirinya mengandalkan perkebunan kelapa warisan nenek moyang sebagai penghasilan utama, karena hanya itu harta yang ia punya. Sekarang ia dan orangtuanya mengelola 500 batang kelapa di kebun seluas 3 hektar dan hasilnya dibagi dua.
Baca juga: Cerita "Emas Hijau" di Selayar
Begitu kayanya orang Selayar karena kopra, banyak warga yang menggunakan gigi emas.
Menurut Rasak, hasil panen dijadikan kopra atau dijual per buah. Dalam setahun, kebunnya bisa panen 5-6 kali. Hasil paling banyak dalam sekali panen, yaitu 3.000-4.000 kelapa atau 700-800 kg kopra. Harga kopra Rp 7.500 per kg dan kelapa Rp 1.400 per buah. ”Harganya memang agak miring sekarang,” katanya.
Sementara itu, Abdul Rauf mengatakan, murahnya kopra membuat ekonomi keluarga tak kunjung membaik. Hasil kebun kelapa tak sebanding dengan harga kebutuhan pokok. Ia berharap harga kopra bisa membaik. ”Kami semua bergantung pada kelapa,” ujarnya.
Tantangan hilirisasi
Badan Pusat Statistik dalam Provinsi Sulawesi Selatan dalam Angka 2023 mencatat, Kepulauan Selayar masih menjadi penyumbang terbesar produksi kelapa di Sulawesi Selatan. Tahun 2022, luas perkebunan kelapa di kabupaten tersebut 19.769 hektar dengan produksi 26.891 ton.
Data itu menunjukkan Selayar menyimpan potensi besar dari sektor perkebunan kelapa. Apalagi kelapa sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Tinggal terus mendorong proses hilirisasi dan diversifikasi hasil panen kelapa supaya tidak melulu dijual sebagai kopra yang harganya tak menentu.
Pendiri Yayasan Econatural Society Ziaul Haq mengatakan, selama ini hasil perkebunan kelapa dari Selayar memang dominan berupa kopra. Dalam perdagangan komoditas kopra, petani berada dalam posisi lemah karena harga ditentukan oleh pembeli dan nilainya fluktuatif.
Dalam menghidupkan ekonomi sirkular kelapa, Econatural Society enam tahun terakhir membuat percontohan di Selayar. Desa Kaburu dikembangkan menjadi desa literasi dan edukasi kelapa terpadu. Sebanyak 50 keluarga dibina untuk membuat produk turunan kelapa, seperti nata de coco, VCO, minyak kelapa, dodol, dan arang.
Menurut Ziaul, siapa pun yang tertarik belajar bisa datang ke Desa Kaburu. Bahkan, mau menjiplak resep dan hitung-hitungan bisnis pun dipersilakan. Hal itu diharapkan agar semakin banyak generasi berikutnya menghilirisasi kelapa. ”Dengan demikian, menjadi gerakan ekonomi produktif skala lokal,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Kepulauan Selayar Saiful Arif mengatakan, pemkab pernah merancang pabrik pengolahan kelapa terpadu. Semua bagian kelapa, mulai dari isi, tempurung, sabut, hingga airnya, diolah menjadi produk turunan sebelum dipasarkan ke luar daerah.
Akan tetapi, setelah melalui kajian, kata Arif, program itu tidak jadi terwujud karena kelapa di Selayar tersebar di beberapa pulau. Hitungan bisnisnya tidak menguntungkan karena butuh biaya besar untuk mengumpulkan kelapa dari pulau-pulau ke satu tempat.
Arif melanjutkan, saat ini, pemkab sedang mencari informasi terkait mesin pengolah kelapa dalam skala kecil atau menengah. Dengan demikian, setiap pulau bisa menghasilkan produk turunan kelapa yang sudah jadi.
”Konsepnya nanti kerja sama supaya ada transfer teknologi dan pengetahuan sehingga masyarakat tidak jadi penonton. Jika ada pabrik masuk, kami berdayakan badan-badan usaha milik desa supaya jadi desa mandiri,” katanya.
Menurut Arif, Kepulauan Selayar diberkati tanah yang cocok untuk tanaman kelapa. Dari berbagai testimoni, kelapa Selayar disebut punya mutu tinggi. Ketebalan isi dan kekentalan minyak serta santannya di atas rata-rata kelapa di tempat lain. Sayang sekali jika potensi besar kelapa Selayar disia-siakan.