Mencari Emas Hijau Baru Selayar
Selayar terpuruk setelah popularitas kopra meredup. Warga pantang menyerah. Kini, minyak kelapa murni menjadi harapan untuk mengembalikan kejayaan kelapa.
Bagi masyarakat Selayar, Sulawesi Selatan, kelapa adalah kehidupan. Saat diolah jadi kopra, kelapa sempat dianggap sebagai ”emas hijau” berharga tinggi. Namun, kilau kopra perlahan meredup digerus waktu. Kini, babak baru mulai digali. Wujud ”emas hijau” yang baru adalah minyak kelapa murni.
Tumpukan kelapa di pinggir jalan sepanjang pesisir Kepulauan Selayar, Selasa (10/7/2018), seperti memperlihatkan wajah muram. Kelapa yang biasanya memadati bagian bawah rumah panggung warga, siang itu nyaris tak terlihat. Truk pengangkut kelapa yang biasanya hilir mudik pun jarang tampak. Tak terlihat asap-asap membubung tinggi keluar dari gubuk pembuatan kopra.
”Sekarang harga kopra jatuh, hanya Rp 3.800-Rp 4.000 per kilogram. Dua bulan lalu masih Rp 9.000 per kilogram. Akibatnya, saya harus mengurangi olahan kelapa. Awalnya, bisa 4.000 butir per hari, sekarang Rp 2.000 butir per hari,” kata Rosdiana (46), pembuat kopra di Bontomatene, Selayar.
Terlalu berisiko apabila tetap mengolah kopra dalam jumlah banyak. Rosdiana yakin bakal merugi karena ongkos produksi tak seimbang dengan harga jual.
Dia memaparkan, harga kelapa, bahan baku kopra, Rp 800 per buah. Biaya angkut kelapa Rp 150 per buah dan biaya pembelahan serta cungkil kelapa masing-masing Rp 50 dan Rp 100 per buah. Artinya, ia menghabiskan biaya Rp 1.100 per buah kelapa untuk diolah jadi kopra. Untuk 1 kilogram kopra, butuh empat butir kelapa. Jadi biaya produksi Rp 4.400 per kg.
”Jika hanya laku Rp 3.800, saya rugi. Lebih baik tidak buat kopra banyak-banyak kalau harganya jatuh,” katanya.
Rosdiana mengatakan, petani tak kuasa menentukan harga. Pemilik pasar ada di Benteng, pusat kota Selayar, sekitar 40 kilometer dari desanya. Petani selama ini hanya tahu harga kopra dari mulut ke mulut. Padahal, sebagai produsen, ia adalah rantai awal perdagangan kopra sebelum ke pedagang.
Kondisi ini diperburuk tingginya biaya angkut. Selayar terpisah lautan dengan daratan Sulsel. Ditambah lagi, daerah lain seperti Polewali Mamasa, Majene, Mamuju, serta Sulawesi Utara, juga mengembangkan tanaman kelapa. Persaingan harga pun terjadi.
Terpuruknya harga kopra menjadi pukulan bagi sebagian pelaku usaha. Sejak lama, kelapa sudah menjadi urat nadi Selayar. Sejarah perdagangan Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kopra.
Sekitar tahun 1880, kopra Selayar sudah dikirimkan ke Eropa sebagai bahan baku margarin dan sabun. Selain sumber pendapatan, kelapa berperan penting, yakni menjadi mas kawin dalam pernikahan di Selayar. Semakin tinggi status sosial, semakin banyak jumlah pohon kelapa yang diserahkan (Kompas, 20 Desember 2017).
Minyak kelapa
Namun, di tengah keterpurukan, orang Selayar pantang menyerah. Harapan tetap dipupuk Nurhayati (34), mantan petani kopra dari Benteng Utara, Selayar, lewat produksi minyak kelapa murni (virgin coconut oil/ VCO). Dia yakin, apabila telaten, VCO punya potensi jadi emas hijau selanjutnya.
Kerja keras Nurhayati terlihat bersama tujuh perempuan anggota Kelompok Kelapa Terpadu. Mereka mengolah kelapa menjadi VCO. Aroma kelapa menyeruak di tempat produksi mereka.
Nurhayati mengklaim, produk bermerek VCO Silajara itu dapat memelihara kehalusan kulit, mengandung antibakteri dan antijamur. Harga VCO jauh di atas kopra. Satu liter dijual Rp 150.000. Pasarnya tak hanya di Sulsel, tapi hingga Jawa Timur.
”Waktu Ramadhan kemarin, kami masing-masing dapat Rp 300.000 dalam tiga hari produksi,” ucap istri kuli bangunan itu.
Sejak Januari 2018, Patimasan (46), ketua kelompok, mengatakan, telah memproduksi puluhan liter VCO. Sebanyak 70 butir kelapa, menghasilkan 5 liter VCO. Dalam sebulan, ada tiga kali produksi.
Kelompok tersebut mendapat bantuan modal dan pembinaan dari Baznas. Nurhayati dan teman-temannya tinggal memproduksi dan hasilnya dipasarkan Econatural Society, yayasan yang mendampingi mereka.
Pendiri Econatural Society Ziaul Haq (38) mengatakan, ibu-ibu yang diberdayakan berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pembuatan produknya diawali riset tahun lalu. Namun, produk itu belum berskala pabrikan.
”Kami juga mengembangkan nata de coco dan produk sabut kelapa. Semoga pemerintah daerah menangkap peluang ini,” kata Ziaul Haq.
Potensi itu sebenarnya terbuka lebar. Dengan luas lahan 19.406 hektar atau 28 persen dari luas kebun kelapa di Sulsel, Selayar menjadi sentra kelapa. Produksinya tahun lalu mencapai 24.979 ton. Itu sebabnya, sebagian besar dari 130.000 warga Selayar bergantung pada kelapa.
”VCO bisa jadi pilihan pengolahan kelapa. Masyarakat tidak harus bergantung hidup pada kopra yang harganya pasang surut. VCO dapat menjadi bahan baku kosmetik, produk bayi, dan obat-obatan yang diminati dunia,” katanya.
Berdasarkan analisis konsultan pemasaran industri asal Amerika, Research Nester, pasar VCO akan tumbuh 11 persen dalam kurun waktu 2016-2023. Pemasok terbesar produk itu berasal dari Filipina, Sri Lanka, dan India. Padahal, Indonesia memiliki areal perkebunan kelapa terbesar di dunia, yakni 3,5 juta hektar dengan produksi hingga 2,8 juta ton (Kompas, 14/5/2018).
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Selayar Syamsul Pano mengakui, diversifikasi olahan kelapa bisa menjadi masa depan. Namun, pihaknya mengalami keterbatasan anggaran untuk menghidupkan VCO.
”Belum ada juga investor yang tertarik ke Selayar. Tak ada pabrik pengolahan kelapa karena infrastruktur belum memadai. Tidak ada pelabuhan peti kemas di sini,” ujar Syamsul.
Dengan segala keterbatasan, diversifikasi produk harus mendapat perhatian. Apalagi, tahun ini, Selayar dinobatkan sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus. Keunggulan komparatif lewat melimpahnya sumber daya alam kelapa dan keuletan manusianya bisa jadi modal besar memunculkan emas hijau.