Kasus penangkapan ikan destruktif marak terjadi di NTT, khususnya di Flores Timur dan Sikka. Luas lautan NTT lebih dari 15 juta hektar dijaga oleh personel TNI AL dan anggota Polairud dengan jumlah terbatas.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kasus pengeboman ikan terjadi masif di Kabupaten Flores Timur dan Sikka dan sekitarnya. Sebanyak 200 detonator diamankan aparat.
Kepala Bidang Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Timur Mery Funay mengatakan, kebanyakan nelayan ingin mendapatkan ikan dengan cara mudah. Tidak peduli kondisi lingkungan laut.
”Kasus penangkanan secara ilegal hampir terjadi di sejumlah kabupaten/kota di NTT. Tetapi, lebih marak di dua kabupaten, yakni Flores Timur dan Sikka,” katanya dalam pembahasan illegal fishing, di Kupang, Rabu (6/12/2023)
Di samping itu, praktik pengambilan ikan ilegal juga terjadi di kabupaten lainsepert Rote Ndao, Ende, dan Lembata. Sepanjang 2020-November 2023 tercatat 17 kasus pengeboman ikan yang terlaporkan.
Yang terbanyak di Flores Timur, yaitu tujuh kasus, dan Sikka dengan lima kasus. Pengeboman ikan dilakukan dengan berbagai cara, misalnya menggunakan botol, kompresor, dan racun. Lebih umum nelayan tradisional menggunakan racun dari tumbuhan tuba. Batang tuba dihancurkan, kemudian ditebarkan di dalam air laut, tempat ikan berada.
Ikan yang sudah sempoyongan di dalam air laut langsung ditangkap dengan tangan atau alat lain. Jenis ikan apa saja yang mencium bau tuba pasti pusing dan tak berdaya. Pohon tuba ini mudah didapatkan di hutan. Kebanyakan nelayan mengenal pohon itu.
Nelayan juga menggunakan bahan potasium, sianida, dan jenis-jenis pembiusan lain, baik kimia maupun bahan alami. Di perairan antara Selat Solor, Adonara, dan Flores Timur, nelayan sudah sulit mendapatkan ikan. Itu pertanda populasi ikan sudah berkurang.
Staf Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Fauzan Hidayat, mengatakan,bahan pembiusan ikan sering dimasukkan di dalam botol bekas air mineral. Dicampur dengan daging atau ikan kecil, kemudian dibuang di dasar atau permukaan laut.
Kegiatan penangkapan secara destruktif berdampak luas bagi lingkungan bawah laut. Selain kerusakan terumbu karang, juga ikan-ikan endemik terancam punah, dan bagian tertentu dari ikan putus seperti ekor. Keinginan mendapatkan ikan secara instan, tetapi berdampak luas.
Populasi ikan menurun, terumbu karang rusak, dan generasi yang akan datang tidak lagi menikmati atau melihat jenis-jenis ikan endemik di daerah mereka. Jika penangkapan ikan seperti ini terus berlanjut, suatu saat NTT hanya punya laut, tetapi tidak dihuni biota laut dalam jumlah yang diharapkan.
Staf Korps Kepolisian Perairan dan Udara Polda NTT Brigadir Kepala Surya mengatakan, Polairud terus melakukan patroli di seluruh wilayah perairan NTT. Luas wilayah perairan 15.141.773,10 hektar, tersebar di 596 pulau. Jumlah personel Polairud pun terbatas. Masih banyak wilayah perairan yang belum terkawal dengan baik.
Pengawalan wilayah perairan juga melibatkan TNI AL didukung 60 kelompok pengawas perairan, terdiri dari nelayan dan masyarakat pesisir. Tetapi, sebagai provinsi kepulauan, luas itu belum optimal terjaga. Meski semua pihak bekerja maksimal di lapangan, pelaku selalu berupaya mencari peluang dan bebas dari pantauan aparat.
”Selama tahun 2022 Polairud menangani tujuh kasus, tersebar di Flores Timur dan di Sikka. Semua pelaku sudah diserahkan ke kejaksaan tiap-tiap tempat. Saat ditangkap, para pelaku itu bertindak seakan-akan gila, bisu, sakit berat, dan banyak aksi lain. Kami tetap proses, setelah diketahui mereka berbohong,” katanya.
Anggota Polairud juga berhasil mengamankan 200 detonator dari tangan para nelayan di Wuring, Sikka. Di Perairan Rotepelaku menggunakan klorida dicampur belerang. Tiap daerah punya cara sendiri menangkap ikan secara tidak bertanggung jawab.
Jenis detonator itu memiliki daya ledak tinggi. Satu detonator, dampaknya menjangkau radius 1 km. ”Bayangkan, kalau 200 detonator itu tidak diamankan, dan mereka berhasil diledakkan, kondisi laut kita seperti apa,” kata Surya.
Kerugian akibat kerusakan pengeboman ini miliaran dollar AS per kilometer per segi. Terumbu karang, berbagai jenis ikan, muncul kubangan dasar laut, dan biota laut lain. Kerusakan ekosistem laut ini butuh perbaikan puluhan tahun. Itu pun kalau tidak ada pengeboman ulang di lokasi yang sama.
Para pelaku diserahkan ke kejaksaan bersamaan dengan barang bukti. Bahan peledak, botol, sisa-sisa detonator, bahkan bahan pestisida untuk membasmi hama tanaman.