Bandung, Kenyang Dirundung Sebelum Jadi Legenda
Bandung memiliki banyak julukan sepanjang sejarahnya. Pada saat ini, Bandung diuji masalah sampah yang merajalela.
Bandung punya banyak julukan legendaris. Namun, semua tidak tiba-tiba datang. Dalam perjalanannya, kota ini sudah kenyang dirundung dan terstigma. Tahun ini, Bandung kembali diuji akibat sampah yang merajalela.
”Paradise in Exile” bisa jadi menjadi sanjungan paling lama dalam sejarah Bandung. Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto menyebut julukan itu merujuk pada Bandung (dulu disebut Tatar Ukur) yang masih berupa hutan lebat.
Tidak seperti sekarang, Bandung dulu disebut neraka dunia hingga pertengahan abad ke-18. Penipu dan koruptor dari Batavia dibuang ke sana.
Harapannya, tentu saja mereka lekas mati. Bisa karena kelaparan, binatang buas, atau ganasnya nyamuk malaria.
Akan tetapi, keinginan jahat itu urung terjadi. Mereka yang dibuang justru hidup bahagia.
Pada tahun 1742, misalnya, seorang kopral penipu yang dibuang ke Bandung justru menjadi kaya raya. Dia sukses berkongsi dengan orang Eropa lain di sana menjalankan usaha penggergajian kayu. Kisah itu diyakini memicu munculnya istilah ”Surga dalam Pembuangan” alias ”Paradise in Exile”.
Sejak itu, banyak orang berdatangan. Mereka ingin sejahtera ketimbang hidup sengsara di Batavia.
Orang kaya baru
Salah satu kelompok yang datang mencari cuan adalah pengusaha perkebunan. Komoditas seperti kopi, kina, dan teh cocok tumbuh di daerah pegunungan seperti Bandung.
Hasilnya sesuai perkiraan. Tanah vulkanis yang subur membuat hasil panen melimpah. Komoditas itu bahkan laku keras diminati konsumen dunia.
Status orang kaya baru pun muncul dari perkebunan di pegunungan itu. Belakangan mereka disebut Preangerplanters atau para pekebun dari Priangan.
Dengan cepat, pamornya menyaingi pengusaha gula dari Jawa Timur dan tembakau di Sumatera Utara. Namun, gara-gara tinggal di dataran tinggi yang jauh dari keramaian kota, muncul sebutan satire dari sesama pengusaha, yaitu ”orang-orang gunung”.
Salah satu puncak persaingan antarpengusaha perkebunan terjadi tahun 1896. Saat itu, Bandung ditunjuk jadi tuan rumah kongres pengusaha perkebunan gula tahun 1899.
Ada rumor, pemilihan Bandung itu untuk membuat malu pengusaha teh. Alasannya, Bandung diyakini belum siap menjadi tuan rumah acara besar itu.
Jalan masih penuh kubangan. Minim tempat pesta dan hiburan. Moda transportasi pun sangat terbatas.
Akan tetapi, urang Bandung tidak mati kutu. Mereka sepakat bekerja sama. Rumah warga digunakan sebagai penginapan.
Penyanyi dari Perancis hingga permainan musik Ursone bersaudara, perintis peternakan susu di Bandung utara, ikut memeriahkan acara. Acara itu sukses. Sejak itu, sebutan ”orang-orang gunung” pun perlahan luntur.
Baca juga : Geliat Kota Bandung: Karena Pandemi Tak Datang Sekali…
Penipu dan koruptor dari Batavia dibuang ke sana. Harapannya, tentu saja mereka lekas mati. Bisa karena kelaparan, binatang buas, atau ganasnya nyamuk malaria.
Revitalisasi
Akan tetapi, pengalaman dirundung itu membuat pengelola Kota Bandung, pengusaha, hingga menak Sunda memilih berbenah. Mereka sadar, infrastruktur Bandung masih jauh dari ideal.
Mereka duduk bersama untuk mencari cara membangun Bandung dalam berbagai bidang. Dari sana, disepakati pendirian Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstreken(Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya) tahun 1898. Saat itu, isu sanitasi dan tata kota menjadi perhatian utama.
Salah satu masalah yang mencuat adalah stigma Bandung sebagai tempat kuburan bayi (kindekerkhof). Itu terjadi saat angka kematian bayi di Bandung masih tinggi.
Ironisnya, warga belum memiliki kesadaran kesehatan yang baik. Banyak warga mengubur jenazah bayi itu di pekarangan rumah atau kebun. Selain tidak sehat, perilaku itu membuat Bandung menyeramkan karena kuburan di sana-sini.
Proyek Pengembangan Kota Baru Bandung pun bergulir tahun 1918. Salah satu kawasan yang dibenahi adalah Andir.
Daerah itu menjadi kawasan real estat pertama di Bandung. Rumah di sana dibangun dengan harga 2.000-10.000 gulden, harga yang tidak murah saat itu.
Kawasan lebih elite ada di sekitar Kosambi dengan gaya romantik yang jadi tren dunia saat itu.
Hunian yang lebih eksklusif dibuat di sekitar Oranje Plein atau sekitar Taman Pramuka saat ini. Sebanyak 19 rumah sewa atau motel dibuat di sana dan dikenal dengan sebutan lux vincent.
Pemakaman umum juga dibuat di Astanaanyar (kuburan baru). Sementara di Karanganyar dibuat kompleks pemakaman bagi para menak.
Akan tetapi, dari semuanya, yang paling fenomenal adalah revitalisasi Braga. Kawasan itu dulu hanya bisa dilintasi pedati. Jalannya tanah yang ditutupi jerami.
Namun, setelah revitalisasi, Braga menjadi rumah bagi banyak tren terbaru dunia di awal abad ke-20.
Toko dengan beragam dagangan, mulai dari makanan hingga busana mewah ala kiblat mode dunia seperti Paris di Perancis, menjamur. Listrik hingga sambungan telepon yang masih langka kala itu terpasang di sana. Pembuatan jalan beraspal dilakukan agar kendaraan nyaman melintas di sana.
Hasilnya, Braga pernah disebut sebagai ”jalan paling Eropa” di Hindia Belanda. Julukan ”Parijs van Java” lantas melegenda sampai sekarang.
Hendrikus Petrus Berlage (1856-1934), arsitek terkenal dari Belanda, mengatakan, Bandung layak dijadikan contoh bagi pembangunan kota kolonial di Hindia Belanda. Dia juga memberi saran agar Bandung punya lebih banyak ciri khas lokal, tidak sekadar menyerap bangunan seperti di Eropa.
Puncak apresiasi datang saat Bandung dilirik Pemerintah Hindia Belanda di Batavia sebagai kota baru. Saat itu, Batavia sedang didekap pencemaran hingga episentrum wabah penyakit. Namun, rencana itu gagal terwujud karena Perang Dunia II keburu meletus.
Setelah era penjajahan Belanda usai, Bandung masih terus mendapat julukan baru. Paling heroik adalah ”Bandung Lautan Api”. Hal itu muncul setelah para pejuang membakar Bandung agar tidak dikuasai tentara Sekutu pada 23 Maret 1946.
Pengelolaan sampah
Akan tetapi, tahun ini, julukan itu dengan mudah jadi bahan olok-olok. Kesulitan menangani penumpukan sampah akibat terbakarnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti pada Agustus 2023 menjadikan ibu kota Jawa Barat ini lantas disebut ”Bandung Lautan Sampah”.
Setelah itu, Bandung seperti sulit bangkit. Meski api di TPA Sarimukti telah padam akhir September, tata kelola sampah masih menjadi catatan merah. Sekitar 1.200 ton sampah per hari dari Kota Bandung belum sepenuhnya bisa diangkut ke TPA.
Pemerintah Kota Bandung mengklaim sudah menempuh berbagai cara. Selain pengangkutan konvensional, sekarang tengah digalakkan pemilahan dan pengolahan sampah sejak dari rumah.
Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna mengatakan, kini sudah 151 kelurahan yang memiliki hanggar maggot atau pengolahan sampah menggunakan maggot (larva black soldier fly). Dengan ukuran 10 meter x 10 meter, setiap hanggar maggot bisa mengolah 1 ton sampah per hari di setiap kelurahan. Ada 604 warga yang direkrut menjadi petugas pengolah sampah organik itu.
Selain itu, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Gedebage tengah diuji coba. TPST itu ditargetkan mampu mengolah lebih dari 60 ton sampah organik per hari lewat mesin penghancur dan budidaya maggot.
Ema yakin, fasilitas ini efektif mengurai sampah sisa makanan. Untuk itu, ia mendorong sampah sisa makanan kafe dan restoran di Bandung diolah di TPST Gedebage.
”Favoritnya maggot ini sisa makanan manusia. Satu kotak idealnya mencapai 1 kuintal maggot. Makin banyak makanan makin banyak maggot-nya,” ujar Ema.
Harapan Bandung mampu melewati segala jenis perundungan kali ini sangat besar. Jika dulu segala stigma berujung legenda, bukan tidak mungkin kali ini hal yang sama terulang lagi.