Bau Kayu Ilegal Menyeruak di Atas Duka Simangulampe
Ada pembiaran praktik ilegal penanaman dan pemanenan tanaman industri eukaliptus di hulu Danau Toba. Padahal sesuai SK Menteri LHK, kawasan itu berstatus hutan lindung.
Pembalakan liar memicu bencana ekologi yang memilukan di Desa Simangulampe. Lembah Bakkara hancur diempas banjir bandang. Air mata tak mampu lagi dibendung.
Johanes Sihombing (23) pun terduduk menangis di atas bebatuan besar. Batu itu telah menimbun rumahnya. Dari atas tumpukan batu menjulang setinggi 3 meter itu, Johanes berupaya mengintip puing-puing seraya mencari ayahnya, Desmah Sihombing (50), yang masih hilang.
”Banjir bandang ini menghancurkan semua kehidupan kami,” kata Johanes.
Simangulampe di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humban Hasundutan, berada di Lembah Bakkara. Berabad-abad masyarakat hidup makmur dan damai di lembah nan indah di tepi Danau Toba itu.
Meskipun berada di bawah perbukitan tinggi, belum pernah terjadi bencana banjir dan longsor. Itu karena perbukitan di atasnya, setahu warga, ditopang vegetasi rapat di hutan lindung. Mata air dan sungai dari atas mencukupi kebutuhan di perkampungan.
Mereka menanam mangga dan kemiri di lereng bukit. Area si sela-sela batu di kaki bukit ditanami bawang merah. Tangkapan dan budidaya ikan juga hidup di perairan Danau Toba. ”Sejak banjir bandang, semua berubah. Kami setiap saat hidup dalam ketakutan, apalagi kalau hujan turun,” kata Resmina boru Manullang (75), warga Simangulampe.
Resmina menangis setiap kali melihat operasi pencarian dan pertolongan yang masih berlangsung. Sudah dua orang ditemukan meninggal dan 10 lainnya masih hilang. Sebanyak 12 rumah rata tertimbun batu, 18 rumah rusak berat, serta 1 hotel dan 1 gereja juga rusak dihantam batu dan direndam lumpur. Kedamaian hidup di desa seketika berubah menjadi tragedi.
Baca juga : Presiden Tanam Pohon di Bukit Terjal Danau Toba, Minta Lingkungan Dikonservasi
Pembalakan hutan lindung
Atas tragedi ini, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) melakukan investigasi penyebab banjir bandang itu dengan observasi lapangan ke daerah hulu Desa Simangulampe.
Tim menelusuri aliran air mulai dari perkampungan, Bukit Sibunibuni, sampai ke hutan di hulu. Tim juga membandingkan kondisi tutupan hutan saat ini dengan beberapa tahun lalu menggunakan citra satelit Google Earth.
”Kami simpulkan, banjir bandang di Desa Simangulampe merupakan bencana ekologis yang disebabkan deforestasi masif di hulu di kawasan hutan lindung,” kata Direktur KSPPM Delima Silalahi.
Penelusuran berjalan mulai dari hulu mata air Aek Sibunibuni yang digunakan masyarakat untuk mengairi sawah. Berdasarkan pengamatan dari kamera drone, jalur mata air Sibunibuni tampak menganga karena sisi kiri dan kanannya longsor. Jika diikuti terus sampai ke hulu, area longsor di jalur itu tersambung secara langsung ke kawasan hutan lindung yang baru dibabat oleh pembalak liar.
Ada pembiaran dari pengelola hutan. Penanaman eukaliptus di hutan lindung sebenarnya banyak ditemukan di kawasan Danau Toba, tetapi selama ini tidak ada tindakan tegas.
Di sana masih terdapat sisa kayu yang baru dipanen dan jalan darurat truk pengangkut kayu. KSPPM juga menemukan 15,6 hektar bekas tanaman eukaliptus baru dipanen. Pahahal, berdasarkan peta Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8088 Tahun 2018 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumut, lokasi itu adalah hutan lindung.
”Ada pembiaran dari pengelola hutan. Penanaman eukaliptus di hutan lindung sebenarnya banyak ditemukan di kawasan Danau Toba, tetapi selama ini tidak ada tindakan tegas,” lanjut Delima.
Tanaman eukaliptus itu, ujarnya, dipanen seseorang bermarga Manullang dua bulan lalu. Dulu, kawasan itu adalah hutan alam, lalu bercampur dengan pohon pinus dalam program reboisasi pemerintah.
Beberapa tahun ini, ada pihak yang menanam eukaliptus di sana. ”Warga tidak tahu ke mana hasil panen eukaliptus dijual pembalak liar,” katanya.
Tanaman eukaliptus adalah komoditas hutan tanaman industri yang digunakan untuk bahan baku kertas. Tanaman itu banyak ditanam di area konsesi sebuah perusahaan yang beroperasi di kawasan Danau Toba.
Delima menyebut, pembalakan liar dan pembukaan jalan membuat anak sungai di hulu rusak berat. Daya tampung dan daya dukung kawasan hutan itu juga menurun drastis. Di beberapa tempat ada genangan air yang berkumpul di hulu. Ketika hujan deras, genangan itu tumpah bersama air hujan yang deras menghantam Sungai Aek Sibuni-buni dan dinding sungai yang mengandung batu-batuan besar.
Warga tidak tahu ke mana hasil panen eukaliptus dijual pembalak liar.
Banjir bandang dan tanah longsor di Desa Simangunlampe bukanlah bencana pertama yang menerjang wilayah itu. Pada 13 November 2023, sejumlah desa di Kecamatan Baktiraja juga dilanda banjir.
Menurut Delima, deforestasi di kawasan hulu Danau Toba sudah terjadi lebih dari sepuluh tahun. Hutan lindung yang semestinya menjadi daerah resapan air telah berubah menjadi hamparan eukaliptus, pinus, dan lahan pertanian. Ia menyebut, tidak ada upaya serius dari pengelola untuk memulihkan kawasan hutan tersebut.
Saat musim kemarau, sungai-sungai mengering. Saat tutupan hutan bagus, pohon menyimpan air dan sungai mengalir sepanjang tahun. ”Melihat bencana ekologi yang terjadi, pemerintah dan aparat penegak hukum harus menindak tegas pelaku pembalakan liar,” kata Delima.
Pemerintah juga didorong membuat rencana aksi daerah (RAD) mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Ada lebih dari 40 desa dengan penduduk lebih dari 50.000 jiwa yang rentan terhadap bencana banjir bandang di kawasan Danau Toba, yakni di Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan. Ini belum termasuk Simalungun, Karo, Toba, dan Pakpak Bharat.
RAD untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim selayaknya menjadikan masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai subyek. Berikan izin bagi masyarakat adat untuk mengelola hutan dan memulihkan ekosistem hulu.
Ketua Jendela Toba Mangaliat Simarmata mengatakan, pemerintah harus melakukan moratorium eksploitasi hutan di kawasan Danau Toba. ”Dalam beberapa tahun ini sudah berkali-kali terjadi banjir bandang dengan skala yang semakin besar. Korban jiwa semakin banyak dan lahan pertanian yang rusak semakin luas,” ujar Mangaliat.
Mangaliat menyebut, Presiden Joko Widodo sudah berkali-kali meminta penyelamatan lingkungan hidup di kawasan Danau Toba. Presiden bahkan menanam langsung pohon di Desa Simangulampe, desa yang saat ini dilanda banjir bandang. Pembalakan liar terjadi di atas bukit yang ditanami Presiden.
Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor juga menemukan pembalakan liar di hulu Desa Simangulampe. Dia bahkan secara terbuka menyebut pembalakan liar itu dibekingi oknum polisi berinisial DS. ”Oknum DS ini sudah lama bermain illegal logging,” kata Dosmar.
Kepala Kepolisian Resor Humbang Hasundutan Ajun Komisaris Besar Hary Ardianto menyebut, mereka masih menyelidiki pembalakan hutan lindung itu. "Kami akan berkoordinasi dengan Dinas LHK Pemprov Sumut untuk menyelidiki kasus ini. Kalau ada anggota (kepolisian) yang terlibat, akan kami tindak," katanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumut Yuliani Siregar belum merespons permintaan wawancara Kompas hingga Rabu (6/12/2023) siang.
Baca juga : Petaka di Humbang Hasundutan
Lembah Bakkara di Desa Simangulampe yang damai dan memberikan penghidupan bagi masyarakatnya pun kini berubah menjadi lembah menakutkan. ”Setiap hujan turun, kami meringkuk di dalam rumah, bersiap-siap melarikan diri jika mendengar gemuruh, suara yang kami dengar sebelum banjir bandang menghancurkan perkampungan kami,” kata Resmina, termenung di depan rumahnya.