Setiap Minggu pagi, Desa Kemiren punya pasar jajanan tradisional. Pasar berisi aneka kuliner khas masyarakat Osing.
Oleh
DAHLIA IRAWATI, BUDI SUWARNA
·5 menit baca
Matahari masih malu-malu bersinar. Namun, senyum ramah sudah menyeruak di sepanjang Gang Lurung Cilik, Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pada gang yang lokasinya tidak jauh dari balai desa itu, Ibu-ibu penjaja makanan dan pengunjung sama-sama menebar bahagia. Saling sapa dan tersenyum ramah, berbalut canda.
Di kanan-kiri gang, deretan lapak kuliner berjajar rapi di sepanjang gang yang memiliki lebar 2 meter. Dagangan dipajang di atas meja lapak dengan sederhana. Ada yang menuliskan nama jualannya di atas kertas dan ada yang lebih memilih menjelaskan langsung saat ada pembeli mendekat.
Ibu-ibu penjual di pasar jajanan Kampung Osing, Desa Kemiren, pun melayani pembeli dengan berdandan rapi, mengenakan kebaya warna hitam, dan kain batik sebagai bawahan. Sangat memikat hati. Desa Kemiren adalah salah satu desa wisata adat di Indonesia.
”Silakan, ada pecel pithik (pecel ayam), ada semanggi, ada kue apem gula aren juga. Silakan,” sambut Raja Onah alias Mak Onah (53), warga Desa Kemiren, yang menjadi salah satu penjual di pasar jajanan Osing, Minggu (19/11/2023).
Mak Onah adalah salah satu penjual yang sudah memiliki pelanggan. Bahkan, hampir tiap Minggu, pelanggannya menyempatkan datang dari pelosok Banyuwangi atau bahkan dari luar kota.
Salah satu pengunjung, Didik Enggot (60), warga yang rumahnya di sisi selatan Banyuwangi, daerah Bangorejo, hari itu sengaja berboncengan sepeda motor dengan istrinya sejauh 50 kilometer untuk menikmati kuliner Osing di Desa Kemiren. ”Iya, hari ini kami sengaja datang ke sini untuk makan semanggi dan membeli jajanan khas Osing. Pasar pagi di sini cukup menyenangkan dan penjualnya ramah. Makanya, kami sengaja datang,” kata Didik.
Sambil menyendok sepiring semanggi, Didik bercerita bahwa dia sudah sering memesan pecel pithik kepada Mak Onah. Selain harga terjangkau, masakan Mak Onah dinilainya cocok di lidah. ”Biasanya kalau ada tamu atau ada acara, saya pesan di Mak Onah. Telepon dahulu. Nanti kalau sudah jadi bisa diambil,” katanya.
Semanggi ala Kemiren disajikan dengan nasi putih dan sambal serai. Makanan dilengkapi dengan lauk tempe, bakwan jagung, dan telur bumbu kecap. Menu sederhana tersebut bukan menu harian. Mak Onah biasanya hanya menjualnya pada Minggu pagi di pasar jajanan di Kampung Osing, Kemiren.
Sebelum pulang, Didik pun meminta jajanan tradisional, seperti apem gula aren, cucur, dan serabi, untuk dibungkus. Ia ingin membawa buah tangan untuk keluarganya di rumah. Di lapak Mak Onah, setidaknya Didik menghabiskan uang sekitar Rp 100.000. Belum dia membeli es dan camilan di lapak lain.
Hari ini, kami sengaja datang ke sini untuk makan semanggi dan membeli jajanan khas Osing. Pasar pagi di sini cukup menyenangkan dan penjualnya ramah.
”Memang diniatkan ke sini, ya harus jajan, ha-ha-ha. Ini sekaligus hiburan setelah seminggu bekerja,” kata pria yang sehari-hari seorang guru itu.
Didik adalah salah satu dari banyak pengunjung pasar jajanan Kampung Osing, Desa Kemiren. Meski tidak riuh berdesakan, pengunjung dari dalam dan luar kota terus mengalir sejak pukul 06.00 hingga pukul 10.00 WIB. Bahkan, sejam sebelum waktu jualan habis, biasanya banyak lapak sudah kehabisan barang dagangan.
Jika Anda ingin mengenal Osing, bisa dimulai dengan mencicipi kuliner khas mereka. Cara termudah adalah datang pada saat pasar jajanan Osing di Pasar Kampung Osing di Desa Kemiren tersebut.
Pasar Kampung Osing bisa dijumpai setiap hari Minggu mulai pukul 06.00 hingga pukul 10.00. Ada 43 lapak jajanan dan makanan khas Osing yang bisa dikunjungi.
Dedi Wahyu Hernanda (30), pengarah pasar Kampung Osing, bercerita bahwa pasar tersebut mulai muncul tahun 2018 dengan diinisiasi Kementerian Pariwisata. ”Awalnya pun hanya berjualan makanan saja. Namun, kemudian tahun 2019 kami tambah dengan spot hiburan atau budaya seperti angklung paglak dan lesung, serta yang instagramable sehingga membuat pengunjung lebih bersemangat datang,” kata Dedi.
Selain orang berjualan, ada sekelompok pemusik memainkan alat musik lesung untuk menghibur para pengunjung di pasar jajanan tersebut.
Di pasar jajanan Kampung Osing, Kemiren, setidaknya ada 20 penjual jajanan dan 23 penjual nasi. Artinya, pendapatan dalam sehari (selama lebih kurang 4 jam) bisa mencapai sekitar Rp 70 juta.
Dedi mengatakan, pasar tersebut sebenarnya dibuat untuk memberikan pemasukan tambahan bagi warga Kemiren. Namun, lama-lama pasar itu justru menjadi pasar wisata.
”Semula ingin meningkatkan ekonomi warga lokal. Sebab, di hari Minggu mereka ada pekerjaan sampingan dengan berjualan atau bermain lesung. Warga Kemiren ini sehari-hari pekerjaan utamanya adalah petani meski ada juga yang berdagang atau membuat kue,” kata Dedi.
Lama-kelamaan, pasar tersebut akhirnya berkembang menjadi pasar wisata dan bertahan hingga sekarang.
Meski hanya berjualan selama 3-4 jam, pendapatan di pasar jajanan Kampung Osing, Kemiren tidak main-main. Pedagang jajanan, misalnya, dalam waktu empat jam bisa mendapatkan uang Rp 800.000. Sementara pedagang nasi bisa mendapatkan Rp 2,6 juta sehari.
”Uang dibelanjakan di pasar jajanan Minggu pagi ini cukup lumayan, Rp 800.000-Rp 2,6 juta per pedagang. Nanti, dari pendapatan itu akan dikumpulkan, yaitu untuk pedagang jajanan akan dibebani pajak Rp 5.000 dan untuk pedagang nasi terkena pajak Rp 10.000 per jualan. Dari uang pajak itu, dalam setahun, kami akan sumbangkan 50 persennya untuk BUMDes,” kata Dedi. Sisanya, dana kas akan digunakan untuk operasional pasar tersebut.
Begitulah, meski pasar jajanan tersebut sederhana, kesan menyenangkan sangat lekat. Dalam hitungan empat jam, pasar tersebut mampu menghasilkan puluhan juta rupiah dan menyumbang ke desa jutaan rupiah per tahun. Konsep menjajakan kuliner lokal khas Osing, Kemiren, rupanya mendapat tempat tersendiri di hati banyak orang.