Tertekan Pertambangan, Sektor Pertanian Didorong Jadi Penopang Masa Depan Sultra
Sektor pertanian, perkebunan, dan kelautan diharapkan menjadi penopang ekonomi Sultra pada masa depan. Hal ini karena sektor itu menjadi tumpuan banyak warga.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sektor pertanian, perkebunan, dan kelautan di Sulawesi Tenggara diharapkan terus tumbuh dan menjadi penopang pada masa depan. Hal ini karena sektor itu dinilai memiliki potensi besar dan menjadi tumpuan banyak warga. Namun, sektor tersebut terus tertekan akibat melentingnya industri pengolahan dan pertambangan nikel yang justru belum berdampak banyak ke masyarakat.
Kepala Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara Agnes Widiastuti mengungkapkan, potensi pertanian, perkebunan, dan kelautan di Sultra sangat besar. Banyak warga yang mendapat penghasilan dari sektor itu. Pada 2023, jumlah pekerja di sektor ini mencapai 30,8 persen dari 1,35 juta penduduk yang bekerja di Sultra.
”Secara peranan dalam postur ekonomi, sektor pertanian juga tinggi, mencapai 23 persen. Artinya, peranan sektor ini sangat tinggi untuk perekonomian Sultra. Sementara itu, kontribusi industri pengolahan baru 9,68 persen dan pertambangan 2,49 persen,” kata Agnes seusai diskusi Sultra Economic Outlook di kantor Gubernur Sultra, Kendari, Selasa (5/12/2023).
Dalam diskusi yang diselenggarakan Tribun Network tersebut, hadir pula Penjabat Gubernur Sultra Andap Budhi Revianto, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sultra Doni Septadijaya, dan ekonom Universitas Halu Oleo, Syamsul Anam.
Menurut Agnes, ada banyak komoditas pertanian dan perkebunan yang bisa dikembangkan di Sultra, misalnya lada, jambu mete, ubi kayu, dan kakao. Pengembangan potensi pertanian itu didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia dan permintaan pasar.
Meski demikian, sektor pertanian, perkebunan, dan kelautan di Sultra juga terus tertekan. Hal ini terlihat dari jumlah rumah tangga usaha pertanian yang turun di berbagai bidang selama 10 tahun terakhir. Tidak hanya itu, angka masyarakat miskin di Sultra juga masih tinggi, yaitu 11,43 persen.
Agnes menambahkan, para petani dan nelayan yang ingin berganti pekerjaan tidak otomatis terserap di industri pengolahan dan pertambangan. Hanya sebagian dari mereka yang bisa terserap ke industri pengolahan dan pertambangan karena industri itu bersifat eksklusif dan padat modal.
”Oleh karena itu, perlu didorong perhatian lebih ke sektor pertanian untuk terus dikembangkan semaksimal mungkin, mulai dari bantuan alat, teknologi, hingga bibit. Termasuk juga pengembangan industri di sektor pertanian dan kelautan yang bisa memberdayakan masyarakat,” katanya.
Syamsu Anam memaparkan, selama satu dekade terakhir, sektor pertanian di Sultra terus mengalami perlambatan. Hal ini berbanding terbalik dengan naiknya peranan sektor industri pengolahan dan pertambangan.
Secara tidak langsung, situasi ini menyebabkan masyarakat yang awalnya bekerja sebagai petani dan nelayan memilih meninggalkan profesinya dan mencari pekerjaan di bidang lain. Padahal, sektor pertanian memegang peranan penting terhadap perekonomian Sultra.
”Kami pernah melakukan kajian bahwa agar ekonomi Sultra konvergen dengan daerah lain, maka pertumbuhannya harus terus tinggi. Namun, ini bisa dicapai jika sektor utama berkembang, bukan sektor sekunder, seperti industri dan pertambangan saat ini,” ujarnya.
Menurut Syamsu, pertambangan nikel dan industri pengolahan di Sultra harus tetap dimanfaatkan secara proporsional. Dia menyebut, pertumbuhan sektor itu idealnya menjadi pengungkit untuk membangun sektor pertanian hingga kelautan.
Dengan demikian, para petani dan nelayan terus bisa berkembang dengan perhatian dan dukungan dari pemerintah. Upaya untuk hilirisasi hasil pertanian dan ekspor juga harus terus diupayakan. Sebab, saat ini ekspor Sultra hanya bergantung pada olahan nikel dan hanya berpusat di satu negara tujuan, yaitu China.
”Memang situasinya berat, tetapi masa depan Sultra itu ada di pertanian. Performa nikel yang melejit saat ini tidak akan bertahan lama dan kita harus mencari cara agar daerah tidak goyah saat permintaan nikel turun dan stok kita habis,” ucap Syamsu.
Oleh karena itu, perlu didorong perhatian lebih ke sektor pertanian untuk terus dikembangkan semaksimal mungkin.
Andap Budhi Revianto menyatakan, selama ini para petani di Sultra menghadapi sejumlah permasalahan, misalnya bibit yang sulit diperoleh, modal yang terbatas, alat pertanian yang kurang, dan lahan yang sempit. Akibatnya, hasil panen tidak bisa maksimal dan petani sulit berkembang.
Berbagai persoalan itulah yang menyebabkan para petani terjerat kemiskinan. Oleh karena itu, pemerintah harus hadir dan menyelesaikan permasalahan, termasuk memotong rantai tengkulak yang menjerat petani.
”Tujuan akhir itu bukanlah sekadar menanam, tetapi menjaga keberlangsungan kehidupan. Bagaimana upaya kita agar bisa berdaulat pangan dan petani sejahtera,” kata Andap.