Nelangsa Jiwa-jiwa yang Mengembara di NTT
Ribuan orang dengan gangguan jiwa di NTT masih berkeliaran karena kurangnya perhatian dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Layanan kesehatan jiwa belum memadai karena keterbatasan obat dan tenaga medis terlatih.
Orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ di Nusa Tenggara Timur seakan tidak dilirik.Kehadiran rumah sakit jiwa masih terbatas, sementara ribuan ODGJ dipasung dan dirawat keluarga, sebagian lainnya masih berkeliaran di jalanan dan emperan toko.
Margot (34), perempuan paruh baya dengan gangguan jiwa, sudah beberapa bulan lalu memilih tinggal di emperan toko di Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia mengumpulkan sejumlah barang yang ditemui di jalanan. Margot biasa mengenakan sarung dan tidur–tiduran di emperan toko itu. Pemandangan di depan toko itu pun menjadi tidak menarik.
Akong (45), sang pemilik toko, pun kebingungan bagaimana memindahkan perempuan ini. Keluarga atau orangtua Margot pun tak pernah datang menjenguk, apalagi membawa pulang Margot untuk dirawat.
”Kalau ditanya namanya, cuma dijawab Margot. Tanya orangtuanya dijawab Bapa Sorgawi. Ditanya asalnya, dijawab dari Amerika. Tanya di mana rumah tinggal, sudah menikah atau belum, dan pekerjaan apa, tidak dijawab. Hanya tertawa,” kata Akong.
Baca juga: Setres Akibat Pandemi Berujung di Rumah Sakit Jiwa
Akan tetapi, Akong telah aman. Pada awal Desember 2023, Margot telah berpindah tempat. Entah siapa yang membantu kepindahan itu. Sejumlah barang yang dikumpulkannya selama ini, seperti kantong plastik, potongan tali rafia, dan beberapa jenis kaleng, telah tiada. Entah kemana Margot pergi. Dia bisa saja diambil pihak keluarga, tetapi ada pula warga berasumsi bahwa Margot diusir paksa dari tempat itu.
ODGJ di Kota Kupang sebenarnya sudah berkurang, bahkan jarang terlihat di jalan atau tempat umum sejak Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Naimata Kupang efektif beroperasi sekitar tahun 2016. Namun, terkadang masih terlihat ODGJ di jalan. Mereka datang dari Soe, Malaka, Kefamenanu, atau Atambua.
Akan tetapi, baik di Flores, Lembata, Alor, Sumba, Sabu, maupun Rote, sebagian ODGJ dipasung di rumah. Keluarga takut membawa pasien itu menyeberangi lautan. Mereka dikhawatirkan mencederai orang lain di kapal atau mencelakai diri sendiri selama perjalanan.
Saat ini diperkirakan masih ada ribuan ODGJ dari 22 kabupaten/kota di NTT berkeliaran di jalan-jalan, emperan toko, tempat pembuangan sampah, dan gedung-gedung kosong. Sebagian hamil di jalan, meninggal, dan babak belur dipukul orang tak berperikemanusiaan, seperti terjadi di Lembata pada Agustus 2023. Ada pula yang menderita berbagai penyakit, termasuk luka di tubuh yang dibiarkan membusuk.
Baca juga : Ancam dan Rusak Rumah Warga, Pasien diduga Gangguan Jiwa di Sikka dikeroyok Warga
Pendiri sekaligus Koordinantor Kelompok Kasih Insani (KKI) Peduli Sehat Jiwa (PSJ) NTT, P Aventinus Saur SVD, di Ende, NTT, Senin (4/12/2023), mengatakan, jumlah ODGJ di NTT lebih dari 8.000 orang. Mereka tersebar di 22 kabupaten/kota. Kabupaten Ende menempati urutan pertama dengan jumlah lebih dari 1.300 ODGJ. Maklum, KKI PSJ ini terpusat di Ende.
”Ini data dari KKI PSJ, bukan dari Dinas Kesehatan Pemprov (NTT). Data Pemprov (NTT) bisa lebih banyak atau jauh di bawah itu. Biasanya,kabupaten/kota denganlayanan ODGJ di puskesmas rendah, datanya sedikit. Layanan kesehatan jiwa melalui fasilitas kesehatan setempat belum berjalan baik,” kata Aventinus.
Rumah sakit jiwa semestinya memiliki bidang kesehatan jiwa masyarakat. Bidang ini bekerja sama dengan puskesmas dan dinas sosial untuk menangani ODGJ, termasuk mereka yang berkeliaran di jalan, emperan toko, dan tempat pembuangan sampah.
Banyak ODGJ yang masih berkeliaran, mengembara di jalan-jalan, emperan toko, tempat pembuangan akhir sampah, gudang kosong, dan tempat kumuh lain. Ini terjadi karena keluarga, masyarakat, tokoh publik, seperti tokoh agama, dan dinas sosial, kurang peduli. Belum adanya sistem layanan kesehatan jiwa di tingkat kabupaten/kota dan provinsi yang melibatkan pihak terkait.
Menurut dia, rumah sakit jiwa semestinya memiliki bidang kesehatan jiwa masyarakat. Bidang ini bekerja sama dengan puskesmas dan dinas sosial untuk menangani ODGJ, termasuk mereka yang berkeliaran di jalan, emperan toko, dan tempat pembuangan sampah.
Baca juga: Pria ODGJ Tinggal di Tebing Gua di NTT
Jika ODGJ sulit menemukan keluarganya, kata dia, negara harus bertanggung jawab. Sebab, sebagaimana amanat konstitusi, orang telantar dan fakir miskin dipelihara negara. Terkait itu, dinas sosial perlu mengeluarkan surat keterangan domisili bagi pasien, mengumumkannya ke publik, merawat mereka di RSJ atau di panti tertentu milik unit pelaksana teknis Kementerian Sosial, seperti Balai Efata Naibonat Kabupaten Kupang.
Layanan belum memadai
Kabupaten/kota yang sudah menjalankan layanan kesehatan jiwa pun layanannya belum memadai. Penyedia layanan masih perlu melakukan perbaikan terkait beberapa problem, antara lain soal kekurangan obat. Selain itu, belum semua tenaga dokter dan perawat terlatih menangani pasien kesehatan jiwa.
Berdasarkan pengalaman selama 20 tahun mendampingi ODGJ, kata Aventinus, gangguan kesehatan jiwa berat sering dibarengi dengan sejumlah penyakit, seperti diabetes, jantung, stroke, hipertensi, dan TBC. Orang-orang dengan kondisi seperti ini harus mengonsumsi obat secara rutin. Tidak boleh ada halangan, seperti kepemilikan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ataupun KTP.
Akan tetapi, selama KKI PSJ melayani di 22 kabupaten/kota, masih banyak puskesmas kekurangan obat. Guna mengatasi masalah ini, KKI PSJ membantu keluarga kurang mampu untuk mengakses obat di apotek-apotek swasta. Namun, tak semua terlayani. Lembaga non-profit ini bekerja secara sukarela membantu pasien gangguan jiwa.
Baca juga: Jurnalis Memberikan Diri Melayani Mereka dengan Gangguan Jiwa
”ODGJ dari kalangan ekonomi kurang mampu sangat tersiksa. Pasien itu tinggal menunggu nasib. Asupan gizi sangat rendah dan tidak ada obat yang memadai, baik untuk menyembuhkan sakit jiwa maupun penyakit penyerta lain,” kata Aventinus.
Selain itu, tak semua pasien merupakan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional. Namun, merekatetap dilayani. Menurut dia, ada pula pasien yang tidak memiliki KTP, bahkan nama mereka tidak ada di dalam kartu keluarga, entah sengaja tidak dimasukkan oleh keluarga atau dimasukkan tetapi kemudian dihilangkan.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri memerintahkan dinas kependudukan setiap kabupaten/kota agar merekam data KTP elektronik (e-KTP) bagi ODGJ. Namun, kata dia, sejauh ini belum ada kabupaten/kota yang melakukan hal itu. ”Pernah terjadi perekaman e-KTP di Sikka dan Manggarai Timur. Hanya berlangsung beberapa bulan, (lalu) berhenti tanpa alasan jelas,” kata Aventinus.
Baca juga: Kisah Pater Avent Saur SVD Melayani Mereka dengan Gangguan Jiwa
Sebagian pasien gangguan jiwa tinggal dengan keluarganya. Namun, keluarga tidak berupaya mengobatinya. Dengan kondisi sakit jiwa, sebagian keluarga menolak kehadiran penderita gangguan jiwa di rumah.
Ratusan ODGJ dibawa KKI PSJ ke Panti Rahabilitasi Jiwa Renceng Mose Ruteng di Manggarai milik biara Bruder Konggregasi Caritas. Masih ada belasan pasien masih dirawat di tempat itu. Ada pula pasien perempuan yang dirawat di Rumah Singgah Samaria di Ende.
”Setelah lebih dari 20 tahun, KKI PKJ terlibat menangani ODGJ, ribuan pasien sudah sembuh. Mengurus diri sendiri, bekerja, bebas dari pasung, dan beraktivitas dalam kehidupan sosial masyarakat,” kata Aventinus.
Menurut dia, KKI PSJ tidak mendapat bantuan dari pemerintah daerah (pemda). KKI terus melakukan advokasi agar pemda menyiapkan anggaran dalam APBD untuk layanan kesehatan jiwa. Sejauh ini belum ada kabupaten/kota di NTT menyediakan anggaran buat kesehatan jiwa.
Kabupaten Manggarai terpanggil menyediakan pos khusus dalam APBD untuk biaya ODGJ di Panti Renceng Mose. Manggarai Barat juga memiiki kebijakan itu, tetapi dalam bentuk sembako buat ODGJ dan kunjungan pengobatan di rumah keluarga.
Ketua Yayasan Timor Membangun Nusantara Martinus Duan mengatakan, perlu satu bidang khusus di RSJ Naimata Kupang guna menelusuri ODGJ di NTT, bekerja sama dengan setiap puskesmas, kelurahan, dan kepala desa. Selain itu, membuka posko pengaduan sekaligus nomor telepon yang bisa dikontak.
Baca juga: Rumah Sakit Jiwa Naimata Kupang Siap Tampung Caleg Stres Berat
”Rumah sakit jiwa hanya ada di Kota Kupang. Lengkap dengan fasilitas penanganan ODGJ. Dokter spesialis jiwa pun hanya ada di sana. Harus kerja kolaboratif. Puskesmas, lurah, atau kepala desa bisa bekerja sama dengan keluarga, mengantar ODGJ itu ke Kupang agar ditangani lebih terjamin,” kata Martinus.
Sekretaris Dinas Kesehatan NTT Emma mengatakan, sejak RSJ Naimata beroperasi, ribuan ODGJ tertangani. Ada yang masuk dan ada yang keluar di rumah sakit itu. Mereka yang sudah sembuh kembali ke keluarga. Kapasitas tempat tidur rumah sakit menampung ratusan orang.
Ada kerja sama antara RSJ Naimata dan puskesmas dan aparat desa atau kelurahan dalam menangani ODGJ. Keluarga pun diajak pro-aktif mendatangi fasilitas kesehatan setempat apabila ada anggota keluarga mengalami kelainan mental.
Baca juga: UU Kesehatan, ODGJ, dan Kesehatan Jiwa