Stres akibat Pandemi Berujung di Rumah Sakit Jiwa
Warga butuh informasi yang jelas dan benar tentang pandemi Covid-19 agar bisa mencegahnya, menghadapinya dengan baik jika terpapar. Kekhawatiran berlebihan akibat minimnya informasi bisa berakibat buruk.
Hasil tes cepat antigen Dorim (48), warga RT 12/5 Kelurahan Liliba Kota Kupang dinyatakan reaktif. Sang istri, Ny Pebhe (43) tidak menerima keadaan itu. Ia kalang kabut, stres dan depresi berat sampai masuk rumah sakit jiwa Naimata, Kupang.
Sepulang mengikuti pesta adat di Ngada, Dorim batuk pilek yang tidak lazim. Sang istri meminta Dorim menjalani tes cepat antigen. Hasilnya, reaktif.
Mengetahui suaminya positif Covid-19 berdasarkan hasil tes antigen, Pebhe kalang kabut, bingung, stres, dan depresi berat. Ia tak mampu menahan emosi. Marahnya meledak-ledak sambil berteriak tak terkendali, membanting badan di tanah, dan menyerang orang sekitar dengan kekerasan.
Ketika itu juga Dorim diisolasi di salah satu kamar di rumahnya di bawah pengawasan satgas Covid-19 Liliba. Ia tidak berani menyaksikan kondisi istrinya. Sementara istrinya diborgol satgas Covid-19 dan dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Naimata, sekitar 700 meter dari kediaman mereka.
Baca Juga: Karantina Terpusat dan Pusat Informasi Covid-19 dibutuhkan di Kupang
”Kejadian itu di akhir Juli 2021, masa puncak kasus Covid-19 di Kota Kupang, saat belum banyak warga mendapat vaksin. Peristiwa ini jadi pengalaman berharga bagi semua warga. Jika diri sendiri atau anggota keluarga terpapar Covid-19 jangan panik, stres, atau sampai depresi berlebihan. Dampaknya sangat buruk. Harus menjalami perawatan di rumah sakit jiwa,” kata Viktor Makoni, Lurah Liliba Kota Kupang.
Setelah tujuh hari Pebhe dirawat di RS Jiwa Naimata Kupang ia kemudian pulang ke rumah atas permintaan keluarga. Suaminya saat itu masih menjalani isolasi mandiri dirawat oleh salah seorang anggota keluarga.
Di rumah Pebhe kambuh lagi. Gangguan kesehatan mentalnya kian buruk. Pihak keluarga yang ada di Ngada, Flores meminta Pebhe pulang ke rumah orangtuanya untuk menjalani pengobatan tradisional di sana. Tidak baik suami-istri sakit bersamaan dalam satu rumah. Pebhe kemudian diantar anggota keluarga ke Ngada setelah hasil tes cepat antigennya negatif Covid-19.
Mungkin istri berlebihan menanggapi informasi itu sampai depresi. Selama dia di Ngada, saya tak masuk kerja hampir tiga bulan juga
Hampir tiga bulan, Juni 2021-akhir Agustus 2021, Pebhe dirawat di kediaman orangtuanya di Ngada, pengobatan secara tradisional. Setelah mendengar kabar suaminya Dorim pulih dari Covid-19 di Kupang, perlahan-lahan Pebhe mulai sadar dan meminta kembali ke Kupang.
Dorim mengatakan, istrinya sudah berangsur pulih dan mulai mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan itu. Meski demikian, kadang-kadang masih sering berbicara sendiri. ”Ia tidak mendapatkan perawatan dokter kejiwaan,” katanya.
Baca Juga: Lima Kabupaten di NTT Wajibkan Pelintas Batas Bawa Hasil Tes Antigen Non-Reaktif
Dorim mengetahui terpapar Covi-19 dari hasil tes cepat antigen saja, belum menjalani pemeriksaan PCR. Setelah menjalani isolasi mandiri di rumahnya selama 14 hari dan menjani tes antigen, hasilnya nonreaktif.
”Mungkin istri berlebihan menanggapi informasi itu sampai depresi. Selama dia di Ngada, saya tak masuk kerja hampir tiga bulan juga,” kata Dorim. Ia bekerja sebagai tenaga honorer di pemerintah daerah. Di sore hari ia membawa taksi daring. Mobil yang dipakainya mencari penghasilan itu terpaksa ditarik diler karena menunggak cicilan bulanan.
Minim informasi
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Nusa Tenggara Timur Hiryon Fernandes menyebutkan, penyebaran kasus Covid-19 di masyarakat di NTT sangat meresahkan. Puncaknya terjadi pada April-Juni 2021. Ketika itu, kasus baru di Kupang saja bisa mencapai 1.121 kasus sehari. Namun, anehnya, tidak ada satu pun pusat informasi tentang Covid-19 baik di Kota Kupang apalagi di kabupaten lain di NTT.
”Kasus yang dialami Pebhe akibat kurangnya informasi kepada warga soal bagaimana menghadapi Covid-19. Sejak awal kasus pada Maret 2020 sampai dengan September 2021 tidak ada satu pusat informasi terpadu di NTT untuk memberikan pemahaman atau tempat masyarakat bertanya seputar Covid-19,” kata Fernandes.
Koordinator Kelompok Kerja Insani (KKI) orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) NTT Pastor Aven Saur SVD mengatakan, ada dua jenis orang dengan gangguan jiwa yang ditangani KKI selama masa pandemi. Satu kelompok ditangani dengan cara medis dan satu kelompok dengan cara terapi kejiwaan. Mereka mengalami masalah kesehatan jiwa, antara lain, karena alasan pemutusan hubungan kerja, usaha ekonomi macet, dan anggota keluarga terdekat meninggal akibat Covid-19.
Baca Juga: Pemerintah Percepat Vaksinasi Pelajar SMA di NTT
Ada sekitar 2.400 orang yang membutuhkan terapi kejiwaan akibat pandemi Covid-19. Mereka susah tidur, stres, dan depresi. Tapi, masih sempat mengendalikan jiwa mereka. Mereka butuh pendampingan sehingga KKI mendatangkan psikolog dan mengerahkan sejumlah anggotanya yang memiliki keterampilan pendampingan rohani untuk membantu mereka.
”Jumlah kelompok masyarakat yang butuh terapi kejiwaan oleh psikolog ini banyak, tetapi banyak yang diam saja. Mereka yang mengalami masalah kejiwaan bukan orang dengan gangguan jiwa. Kelompok yang mengalami masalah kejiwaan ini bisa terpantau langsung tetapi ada pula yang sulit, kecuali mereka sendiri harus jujur mengakui masalah kejiwaan yang sedang dialami,” katanya.
Pandemi yang berdampak pada ekonomi keluarga menyebabkan banyak orang menjadi stres atau depresi. Usaha ekonomi produktif mandek, pemutusan hubungan kerja, warung makan dan kios-kios tutup, gaji dipotong, dan kesulitan mendapatkan uang untuk biaya hidup sehari-hari.
Baca Juga: Panti Dymphna Maumere Berjuang Merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa
Pandemi juga berdampak langsung pada pasien gangguan jiwa. Kondisi fisik dan mental mereka makin parah karena kurang mendapatkan asupan gizi yang cukup, dan layanan kesehatan yang memadai. Kunjungan tenaga kesehatan juga berhenti sehingga obat-obatan yang seharusnya diberikan secara rutin kepada mereka terpaksa dihentikan.
Saur juga menambahkan, saat pandemi puluhan orang dengan gangguan kesehatan jiwa yang ditemukan KKI sulit mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah karena sebagian dari mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). ”Sukarelawan KKI dengan kemampuan yang dimiliki memberikan bantuan seadanya kepada pasien gangguan jiwa untuk meringankan beban hidup mereka,” kata Saur.