Jalan Panjang Sejahterakan Petani Jagung Gorontalo
Sudah 23 tahun Gorontalo menjadikan jagung hibrida sebagai produk unggulan, namun belum sepenuhnya menyejahterakan warga.
Pada 5 Desember 2000, Gorontalo resmi melepaskan diri dari Sulawesi Utara untuk menjadi provinsi yang mandiri dan berdikari demi pembangunan merata. Namun, 23 tahun berselang, ”Bumi Serambi Madinah” justru terus konsisten bertengger di lima besar provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Angka kemiskinan di Gorontalo per Maret 2023, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), adalah 15,15 persen. Meski trennya terus menurun, capaian tersebut belum mampu mencerabut Gorontalo dari urutan kelima provinsi termiskin setelah Papua (26,03 persen), Papua Barat (20,49 persen), Nusa Tenggara Timur (19,96 persen), dan Maluku (16,42 persen).
Secara riil, jumlah warga Gorontalo yang hidup di bawah garis kemiskinan hanya sekitar 183.710 jiwa. Ini jauh lebih sedikit dari, misalnya, Jawa Tengah dengan 3,79 juta penduduk miskin. Namun, angka kemiskinan tetap tinggi karena penduduk Gorontalo hanya sekitar 1,2 juta orang, tak banyak berubah signifikan sejak dua dasawarsa lalu.
Kemiskinan Gorontalo bercokol di perdesaan. Hampir satu dari empat penduduk desa harus bertahan hidup dengan kurang dari Rp 442.194 per bulan. Sementara di Kota Gorontalo, satu-satunya kota di provinsi ke-32 Indonesia itu, hanya 1 dari tiap 20 penduduk yang tergolong miskin.
Ini sangat ironis karena perekonomian Provinsi Gorontalo yang tumbuh 4,62 persen per tahun pada triwulan III tahun 2023 sesungguhnya sangat bergantung pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Pangsa sektor yang terpusat di perdesaan itu selalu di kisaran 38 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB).
Gorontalo pun belum mampu keluar dari bayang-bayang Sulut sebagai provinsi asalnya. Dengan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen secara tahunan pada triwulan III tahun 2023, ketergantungan Sulut pada pertanian, kehutanan, dan perikanan kini hanya 20 persen meski sektor itu juga masih menjadi penyumbang terbesar.
Hasil hortikultura seperti kelapa dan perikanan tangkap yang berlimpah di Sulut bisa bermuara ke industri pengolahan yang membentuk 10,01 persen ekonomi Sulut. Sebaliknya, kontribusi industri pengolahan Gorontalo, dengan potensi serupa, hanya 4,54 persen. Karena itu, dengan populasi sekitar 2,7 juta orang, angka kemiskinan di Sulut pada Maret 2023 hanya sekitar separuh dari Gorontalo, yaitu 7,38 persen.
Fadel Muhammad Al-Haddar, gubernur pertama Gorontalo yang memimpin 2001-2009, mencetuskan sebuah kebijakan agrikultur untuk merekayasa keunggulan absolut Gorontalo atas Sulut di bidang pertanian. Instrumen kebijakannya adalah ”Si Jingga” jagung hibrida. Bibit-bibit gratis dibagikan, kelompok tani dibentuk, dan lahan pun digarap.
Kebijakan Fadel bertahan hingga hari ini, sampai-sampai sekitar sepertiga dari 1,2 juta hektar daratan Provinsi Gorontalo ditanami jagung. Menurut BPS, produksi jagung pipilan kering berkadar air (JPK KA) 14 persen dari Bumi Serambi Madinah mencapai 692.439 ton.
Baca juga: Meraba Masa Depan ”Si Jingga” dari Gorontalo
Panen tahun ini diperkirakan menurun ke 531.780 ton akibat kemarau panjang empat bulan terakhir. Namun, Gorontalo akan tetap menjadi provinsi produsen jagung terbesar kedelapan. Tak heran kalau berbagai perusahaan seperti PT Charoen Pokphand Indonesia dan PT Seger Agro Nusantara mendirikan gudang pengumpul jagung di Gorontalo.
Lalu, mengapa warga perdesaan yang bergantung pada jagung hibrida masih miskin?
Mahal
Nyatanya, bertani jagung hibrida tidaklah sederhana. Niko Ibrahim (55), petani di Desa Ombulo, Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo, misalnya, setiap 3-4 bulan seolah akan kembali ke titik nol, mengulang semuanya dari awal dengan biaya yang bukan murah.
Niko butuh 15 kilogram bibit jagung hibrida untuk menanami setiap hektar lahan. Karena punya lahan 5 hektar, ia butuh 75 kg bibit jagung. Artinya, setiap memulai masa tanam, ia harus merogoh kocek Rp 8 juta untuk membeli empat kardus bibit.
Berbagai penelitian menyebut jagung sebagai tanaman yang rakus terhadap unsur hara. Tak heran jika Niko harus membeli berton-ton pupuk untuk pemupukan tiga kali, yaitu pada saat penanaman, hari ke-20, dan hari ke-35. Padahal, setiap petani hanya berhak akan pupuk bersubsidi untuk lahan seluas 2 hektar.
”Setiap 5 kg bibit butuh 100 kg pupuk, 50 kg urea dan 50 kg Phonska (NPK). Pupuk sering tidak cukup,” katanya ketika ditemui di kebunnya di tepi Jalan Lingkar Luar Gorontalo, Kamis (30/11/2023).
Agar hasil maksimal, jagung hibrida juga tak boleh bersaing dengan tanaman lain, rumput sekalipun. Karena itu, masih diperlukan obat pembasmi rumput plus yang harganya disebut Niko naik turun. Itu belum menghitung biaya buruh tani dari penanaman sampai panen, pemipilan, hingga pengangkutan ke gudang.
Setelah batang-batang jagung rebah, hasil panen Niko ternyata hanya 3 ton JPK per hektar. Harga biasanya akan turun dari Rp 5.000-Rp 6.000 per kg ke kisaran Rp 3.500-Rp 3.800 per kg. Di gudang, volume panen masih harus dipotong besaran kadar air. Niko mencontohkan, jika kadar air 22 persen, tiap 100 kg jagung akan dikurangi 22 kg sehingga hanya 78 kg yang dibayarkan.
”Biaya mahal, tapi kalau dihitung-hitung keuntungan sedikit. Satu hektar saja sudah Rp 5 juta-an, sedangkan pendapatan per hektar cuma Rp 10 juta. Keuntungan cuma Rp 5 juta, hasil dari masa tanam 105 hari,” kata Niko.
Kendati begitu, petani tetap menanam jagung. Abdullah Isa (60), warga Desa Pongongaila, Pulubala, Kabupaten Gorontalo, misalnya, telah menanam jagung sejak 1982. Ia kini hanya punya lahan 2 hektar. Terakhir kali panen antara Oktober dan November 2023, bobot JPK-nya hanya 4 ton dan dihargai Rp 3.800 per kg di gudang.
Namun, Abdullah dan istrinya, Aminah Manoe (60), berkukuh akan tetap menanam jagung. ”Cuma itu (jagung) jalan satu-satunya. Tidak ahli tanam yang lain. Mata air di sini susah, sampai durian enam pohon tidak hidup,” kata Aminah, senada dengan Niko di Desa Ombulo.
Abdullah menambahkan, dirinya juga tak bisa beralih ke pekerjaan seperti buruh tambang karena tidak punya keahlian. Karena itu, ia meyakini jagung hibrida adalah satu-satunya kunci kehidupan.
”Dulu orang tanam kacang di sini, tapi hasil tidak seberapa. Nanti ada jagung ini berkat perjuangan Pak Fadel,” ujar Abdullah yang, seperti lumrahnya para petani jagung di Gorontalo, tak pernah mengeringkan jagung hasil panennya demi mendapat hasil penjualan yang lebih maksimal di gudang.
Terlepas dari itu, Niko, Abdullah, dan Aminah adalah orang-orang yang tergolong beruntung karena tak terjerat tipu daya rentenir ataupun tengkulak jagung. Banyak petani yang harus meminjam uang dari para ”bos” tersebut untuk modal tanam dan bahkan kebutuhan sehari-hari. Utang itu harus dibayar dengan panen.
Terlepas dari keberlimpahan panen, siklus tanam serta rantai pasok jagung hibrida di Gorontalo saat ini jelas belum mampu menyejahterakan petani. Namun, solusi yang akan ditempuh Pemprov Gorontalo saat ini justru peningkatan produktivitas.
Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo Budiyanto Sidiki mengatakan, para petani belum mampu hidup sejahtera karena produktivitas komoditas tergolong rendah, hanya sekitar 5 ton per hektar. Pemerintah pun berupaya mencari resep agar produktivitas tanaman pangan, termasuk jagung hibrida, bisa didongkrak sampai 6-7 ton per hektar.
”Dengan cara itu, tentu NTP (nilai tukar petani) atau pendapatan yang mereka peroleh, dikurangi biaya operasional, bisa lebih besar. Apa yang kami lakukan? Tentu, yang pertama, intensifikasi di sektor pertanian,” kata Budiyanto
Hal ini dilakukan dengan pemberian bibit, pupuk, dan juga alat-alat pertanian seperti traktor untuk menurunkan belanja operasional. Sepanjang 2022, misalnya, pemerintah pusat dan daerah memberikan bibit gratis untuk ditanam di lahan seluas 15.063 hektar. ”Kita berharap produktivitasnya meningkat sehingga pendapatan meningkat,” kata Budiyanto.
Semua langkah itu akan dibarengi dengan pengendalian inflasi dan pemberian bantuan iuran BPJS bagi warga miskin. Dengan begitu, pendapatan mereka dapat digunakan untuk kebutuhan primer dan sekunder lainnya.
Tak boleh bergantung
Di lain pihak, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Profesor Syarwani Canon menyebut bukan intensifikasi jagung hibrida yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, melainkan informasi pasar yang jelas dan hilirisasi industri.
Dalam sistem rantai pasok jagung hibrida yang ada saat ini, Syarwani menilai, hanya tengkulak dan pengusaha gudang yang diuntungkan. Dengan harga yang rendah saat masa panen, pada 2022 sekitar 528.000 ton jagung dikirim ke pabrik-pabrik di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera, sedangkan 82.950 ton lainnya diekspor.
Baca juga: Hamka Hendra Noer: Ekspor dan Hilirisasi Industri untuk Atasi Kemiskinan Gorontalo
Di sisi lain, Gorontalo juga tak memperoleh pendapatan asli daerah karena ketiadaan industri pengolahan jagung hibrida. ”Tidak perlu (pabrik) yang besar-besar, tetapi harus bisa membawa nilai tambah,” kata Syarwani, tanpa menampik bahwa berbagai faktor seperti akses transportasi dan upah minimum provinsi yang sekitar Rp 3 juta memberatkan industri.
Deputi Kepala Bank Indonesia Kantor Perwakilan Gorontalo Ridwan Nurjamal menyebut, menghadirkan industri pengolahan di Gorontalo sulit dilakukan karena berbagai faktor, di antaranya ketiadaan bahan baku secara lokal serta biaya transportasi yang tinggi. ”Jadi, saat ini Gorontalo (hanya) menjadi daerah penyangga industri pengolahan di Bitung (Sulut), Luwuk (Sulteng), dan beberapa daerah tetangga lain,” katanya.
Dalam jangka panjang, Ridwan juga menyebut sektor pertanian Gorontalo menghadapi berbagai tantangan, seperti perubahan iklim, hama yang merebak, dan penggundulan hutan. Di samping itu, kemandirian petani yang rendah membuat mereka sulit mengatasi kenaikan biaya produksi.
Untuk itu, menurut Syarwani, petani tak boleh terus bergantung hanya pada jagung hibrida. Diperlukan upaya diversifikasi produk pertanian. Hal senada dikatakan Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNG Ramli Utina. Dalam jangka panjang, monokultur jagung hibrida akan merusak lapisan tanah di Gorontalo.
”Orang menanam jagung di lahan yang tidak ada vegetasi karena sifat jagung butuh sinar matahari yang banyak. Kalau hujan, partikel tanah akan terbawa air sehingga lapisan top soil terkikis. Berikutnya, mereka juga menggunakan pupuk kimia secara terus-menerus sehingga tanah akan menjadi jenuh. Selain produksi menurun, lahan akan menjadi kritis,” kata Ramli.
Dampaknya telah lama terasa dalam wujud banjir yang rutin terjadi setiap tahun. Antara Maret dan April 2023, misalnya, terjadi setidaknya empat kali banjir bandang dan longsor di Kabupaten Gorontalo, Pohuwato, Gorontalo Utara, dan Bone Bolango dengan korban 7.000-an keluarga.
”Coba hitung saja hasil jagung yang bisa terjual dengan ongkos saat petani menanam, lalu dikurangi biaya bencana yang terjadi,” kata Ramli.
Ia pun mengusulkan agar diversifikasi tanaman segera dimulai dengan tanaman kayu keras seperti avokad, jambu kristal, aren, dan cokelat demi menjaga kualitas tanah di Gorontalo.
Kendati demikian, baik Syarwani maupun Ramli sepakat, masyarakat tak bisa hanya diberi bibit, lalu ditinggal begitu saja. Diperlukan pendampingan intensif berkelanjutan agar petani tak patah arang. Pemprov juga perlu mengambil kebijakan politis yang konkret demi mengatasi kemiskinan yang tinggi, terutama di perdesaan.
Pada akhirnya, seperti dikatakan ahli politik Amerika Serikat, Harold Lasswell, politik adalah soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Untuk sekarang, jelas politik pembangunan Gorontalo belum berpihak kepada petani.