Ganyong hingga ”Mberut”, Kekayaan Pangan Lokal yang Butuh Kreasi
Gayong dan ”mberut” menjadi bagian budaya pertanian dan pangan lokal menguatkan ketahanan menghadapi anomali iklim. Diperlukan kreasi dan ketekunan untuk membuatnya populer kembali di tengah masyarakat.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Kekayaan pangan lokal dan budaya pertanian potensial menguatkan ketahanan warga menghadapi anomali iklim. Butuh kreasi dan ketekunan untuk membuat bahan makanan seperti gayong hingga mberut populer kembali di tengah masyarakat.
”Kekayaan budaya pertanian dan pangan lokal semestinya tidak membuat kita khawatir menghadapi anomali iklim dan ancaman krisis pangan,” ujar Pamong Budaya Ahli Madya di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Chrystriyati Ariani di Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (2/12/2023) malam. Dia hadir dalam Festival Kampung Tani di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur.
Chrystriyati mengatakan, budaya pertanian terkait dengan tata cara bertani. Hal itu seperti tradisi sebelum tanam dan panen hingga perhitungan hari yang tepat bertani (pranata mangsa).
Sementara kekayaan bahan lokal berupa hasil bumi, selain padi. Beberapa di antaranya seperti ganyong, kimpul, dan umbi garut.
Bahan dan resep masakan itu sudah diwariskan. Namun, seiring waktu dan perubahan selera, semua jarang dimasak. Akibatnya, kuliner itu hanya disebut sebagai masakan tradisional.
Namun, di tengah isu perubahan iklim, pesona pangan lokal kembali naik daun. Keberadaannya menjadi harapan di tengah ketergantungan pada produk impor. Dia yakin, budaya tani dan pangan lokal bakal menjadi modal kuat menghadapi krisis.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Slamet Achmad Husein mengatakan, Festival Kampung Tani hendak memperkenalkan budaya pertanian masyarakat Desa Giritengah. Salah satunya pentas kesenian Gatholoco. Kesenian yang tampil dengan lagu bersyair ini sebagai salah satu kreasi saat menyampaikan panduan bertani.
”Harapannya kami bisa mengingatkan kembali kekayaan budaya pertanian,” katanya.
Siti Fatimah (40), warga Dusun Kamal di Desa Giritengah, mengatakan, sebenarnya sudah terbiasa mengolah bahan pangan lokal. Umbi garut atau mberut diolah menjadi jenang atau bubur kental. Resepnya diwariskan turun-temurun.
Semula, kata Siti, jenang mberut adalah jajanan yang digemari warga. Namun, kuliner itu sekarang kurang populer karena minim kreasi.
Permintaan umbi ini lantas menyusut. Akibatnya, hanya sedikit orang yang mau menanamnya.
”Sekarang mberut menjadi tanaman langka,” ujarnya.