Festival Melatu Wini, Pesan Ketahanan Pangan dari Kalsel
Festival Melatu Wini di Desa Liyu, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, sebagai bentuk pelestarian tradisi berladang sekaligus meningkatkan ketahanan pangan.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
PARINGIN, KOMPAS — Untuk kedua kalinya, warga masyarakat Dayak Deah di Desa Liyu, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, menggelar Festival Melatu Wini sebagai bagian dari tradisi berladang tahunan. Festival ini sebagai bentuk pelestarian tradisi berladang sekaligus meningkatkan ketahanan pangan mereka.
Festival Melatu Wini 2023 digelar di Desa Liyu, Kecamatan Halong, Balangan, lebih kurang 225 kilometer dari Kota Banjarmasin atau enam jam perjalanan dengan mobil. Penyelenggaraan Festival Melatu Wini kali ini dilaksanakan tiga hari, 1-3 Desember 2023.
Ketua Panitia Pelaksana Festival Melatu Wini 2023 Rawit menjelaskan, Melatu Wini adalah bagian dari Ngumo ngentaotn atau berladang tahunan pada masyarakat adat Dayak Deah. Kegiatan ini merupakan serangkaian proses bercocok tanam.
Acara ini yang ditandai dengan pembacaan mantra dan doa menggunakan bahasa Bawo kepada Sang Pencipta dan pemelihara padi. Tujuannya agar benih padi yang ditanam kelak menuai panen berlimpah.
”Tujuan kami menyelenggarakan festival ini untuk meningkatkan ketahanan pangan lokal, pelestarian budaya lokal melalui ritual adat, serta mendorong partisipasi aktif masyarakat melalui kegiatan kampanye pendidikan budaya, pelatihan, dan ketahanan pangan,” kata Rawit di Liyu, Sabtu (2/12/2023).
Festival Melatu Wini pertama kali diadakan pada 2021. Tahun ini, festival mengusung tema ketahanan pangan, yang merupakan salah satu program Desa Pemajuan Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Menurut Kepala Desa Liyu Sukri, Melatu Wini merupakan siklus pertanian tradisional pada masyarakat Dayak Deah, yang masih mengusahakan pertanian tanaman pangan atau menanam padi dengan sistem ladang berpindah. Dalam proses berladang itu, warga membuka lahan, membakar, menanam, hingga memanen.
”Masyarakat kami berladang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Hasil padinya disimpan dan tidak dijual. Bagi masyarakat Dayak Deah, menjual padi itu merupakan suatu hal yang tabu,” katanya.
Karena itu, hasil berladang masyarakat dalam setahun cukup untuk makan setahun, bahkan bisa untuk makan lebih dari setahun. ”Masyarakat Dayak Deah tidak ingin kesulitan pangan yang pernah dialami orang-orang tua zaman dulu terjadi lagi di zaman sekarang. Untuk itu, mereka harus pandai-pandai menyimpan padi,” ujarnya.
Sukri mengatakan, keengganan masyarakat menjual padi akhirnya membuat persediaan padi di rumah warga selalu berlebih. Saat hasil panen tahun lalu belum habis, mereka sudah mendapatkan panen baru. Karena itu, mulai panen tahun depan, warga diajak untuk menyimpan sebagian hasil panennya di lumbung desa.
”Kami membangun lumbung desa mulai tahun ini dan selesai tahun depan. Tujuannya menyimpan hasil padi yang ditanam saat Melatu Wini tahun ini. Hasilnya untuk mengadakan Mesiwah Pare Gumboh, syukuran panen tahun depan, dan sisanya untuk membantu warga yang kurang mampu, seperti anak yatim dan orang-orang jompo,” katanya.
Pelestarian budaya
Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kabupaten Balangan Akhmad Fauzi mengapresiasi pelaksanaan Festival Melatu Wini di Liyu. Kegiatan tersebut sejalan dengan program pemkab dalam meningkatkan ketahanan pangan.
”Mudah-mudahan kegiatan ini bisa mendukung program ketahanan pangan di Balangan,” katanya.
Menurut Fauzi, kegiatan pertanian dalam masyarakat Dayak Deah juga sarat dengan kebersamaan dan gotong royong. Budaya yang demikian akan sangat menunjang ketahanan pangan di Balangan. ”Mudah-mudahan tanahnya selalu subur, hasil bercocok tanamnya bagus, kesejahteraan meningkat, dan masyarakat juga nyaman,” ujarnya.
Pamong Budaya Kemendikbudristek Dewilisa Finifera mengatakan, Festival Melatu Wini merupakan bagian dari program pemajuan kebudayaan desa. Dalam program tersebut ada tiga tahapan, yaitu tahap temu kenali, tahap pengembangan, dan tahap pemanfaatan. ”Penyelenggaraan festival seperti ini sudah masuk tahap pemanfaatan atau diseminasi,” katanya.
Menurut Dewilisa, ada 359 desa di Indonesia yang menjadi proyek percontohan (pilot project) program pemajuan kebudayaan desa. Namun, yang programnya eksis sampai sekarang ini sekitar 230 desa. Dari jumlah tersebut, ada 33 desa yang mengusung tema ketahanan pangan, salah satunya adalah Desa Liyu.
”Kami memberikan stimulus untuk desa-desa yang mengangkat tema ketahanan pangan. Tujuannya untuk pelestarian budaya dengan cara pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan,” katanya.