Peningkatan Suhu Turut Picu Pengelupasan Batuan Candi Borobudur
Peningkatan suhu udara ikut memicu terjadinya pengelupasan batuan Candi Borobudur. Tanpa upaya antisipasi, peningkatan suhu akan terus terjadi sehingga pengelupasan batuan candi berpotensi kian parah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Peningkatan suhu udara selama 52 tahun terakhir menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya pengelupasan sebagian batuan Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Salah satu faktor yang diduga ikut menyebabkan peningkatan suhu itu adalah berkurangnya ruang terbuka hijau akibat masifnya pembangunan di kawasan Borobudur.
Pamong budaya ahli madya Museum dan Cagar Budaya Warisan Dunia Borobudur, Ari Swastikawati, Rabu (29/11/2023), di Magelang, mengatakan, luas kumulatif pengelupasan batuan Candi Borobudur pada 1970 hingga 2022 mencapai 1.282 sentimeter (cm) persegi.
Sementara itu, berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Candi Borobudur tersusun dari dua juta blok batu dengan total volume batuan sekitar 55.000 meter kubik.
Ari memaparkan, pengelupasan batuan itu terjadi di berbagai bagian Candi Borobudur. Tidak hanya di batu-batu polos, pengelupasan juga terjadi pada batu-batu berlekuk dengan relief-relief naratif dan dekoratif di atasnya.
Meskipun pengelupasan yang terjadi di setiap panel hanya berkisar kurang dari 1 cm, pengelupasan tersebut cukup mengganggu dan merusak keindahan relief Candi Borobudur.
”Pengelupasan membuat sebagian hidung atau mata dari wajah manusia yang terukir di relief tampak nyaris hilang. Di sebagian relief lain, pengelupasan membuat bagian kaki pada relief seolah menjadi lebih kurus karena ada bagian yang seperti tergerus,” kata Ari.
Menurut Ari, pengelupasan tersebut terjadi seiring dengan peningkatan suhu udara. Selama tahun 1970-2022, peningkatan suhu udara di kawasan Borobudur mencapai 1,14 derajat celsius. Adapun rata-rata suhu di kawasan Borobudur pada 2022 sebesar 26 derajat celsius.
Jika tidak dilakukan upaya antisipasi, Ari menyatakan, suhu udara di kawasan Borobudur akan terus meningkat dan diperkirakan 28,64 derajat celsius pada tahun 2122. ”Selain merusak batuan candi, peningkatan suhu udara ini jelas akan mengganggu kenyamanan wisatawan yang datang berkunjung,” ujarnya.
Ari menambahkan, salah satu hal yang diduga ikut menyebabkan peningkatan suhu itu adalah makin menyusutnya lahan terbuka hijau di kawasan Borobudur. Penyusutan itu terjadi akibat masifnya pendirian bangunan baru di Borobudur, termasuk bangunan komersial, seperti hotel dan restoran. Hal ini juga makin diperparah oleh semakin banyaknya pengguna kendaraan bermotor di kawasan Borobudur.
Selain karena peningkatan suhu, faktor lain yang memicu pengelupasan batuan Candi Borobudur adalah air hujan yang tidak bisa keluar karena pori-pori batuan tertutup lapisan endapan garam dan oker.
Oker merupakan bahan yang digunakan Belanda untuk melapisi batuan Candi Borobudur. Pelapisan dengan oker itu diduga dilakukan untuk memperkuat batuan candi serta membuat batuan itu kelihatan lebih jelas saat dipotret.
Untuk mencegah terjadinya pengelupasan, Ari menyebut, Museum dan Cagar Budaya Warisan Dunia Borobudur melakukan eksperimen untuk membersihkan endapan garam dan oker. Eksperimen itu telah dilakukan di bagian batu undak menggunakan metode microblasting dan laser.
Saat ini, Museum dan Cagar Budaya Warisan Dunia Borobudur masih mengkaji metode mana yang lebih tepat untuk pembersihan endapan garam dan oker. Lembaga itu juga akan memetakan bagian-bagian candi yang berpotensi mengalami pengelupasan ke depan.
Cagar biosfer
Ari menyatakan, masalah peningkatan suhu dan menyusutnya ruang terbuka hijau di kawasan Borobudur harus menjadi perhatian sejumlah pihak. Sebab, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) telah menetapkan kawasan Menoreh, yang merupakan perbukitan di sekitar kawasan Borobudur, sebagai bagian dari Cagar Biosfer Merapi Menoreh Merbabu pada 2020.
Desa-desa di kawasan Borobudur juga ditetapkan sebagai kawasan penyangga cagar biosfer tersebut. Cagar biosfer adalah kawasan yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan untuk kepentingan penelitian atau pendidikan. Kawasan itu terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan ekosistem yang telah mengalami degradasi.
Namun, seiring waktu, perubahan di kawasan Borobudur menjadi tak terelakkan. Apalagi, kawasan Borobudur telah ditetapkan sebagai destinasi super prioritas.
Rohadi, salah seorang perangkat Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, Magelang, mengatakan, selama sekitar 5 tahun terakhir, penjualan lahan di kawasan itu marak terjadi. Lahan-lahan itu, baik berupa tanah pekarangan maupun lahan pertanian, kebanyakan dijual kepada investor dari luar kota.
”Kebanyakan investor biasanya banyak mengincar tanah-tanah yang ada di perbukitan Menoreh. Sebab, mereka biasanya ingin membangun penginapan atau restoran yang menawarkan pemandangan indah dari perbukitan,” ujarnya.
Meski begitu, lahan di dataran rendah juga tetap diminati investor. Kondisi itu, antara lain. terjadi di Desa Kembanglimus. Di desa itu, saat ini sudah ada satu hotel yang berdiri, sementara satu hotel lain tengah dibangun di desa tersebut. Tanah yang dipakai sebagai lokasi hotel itu dulu merupakan lahan pertanian warga.
Selain itu, warga desa setempat juga mulai membangun homestay atau penginapan. ”Banyak warga saat ini tertarik membuka homestay karena melihat warga lain pemilik homestay bisa mendapatkan keuntungan menggiurkan saat musim liburan tiba,” ucap Rohadi.
Sucoro, warga Desa Borobudur, mengatakan, investor dari luar kota memang marak berdatangan ke kawasan Borobudur. Selain mendirikan hotel atau penginapan, beberapa investor juga ada yang membeli lahan dan menjalankan usaha membuka toilet dan kamar mandi untuk wisatawan.
Selain merusak batuan candi, peningkatan suhu udara ini jelas akan mengganggu kenyamanan wisatawan yang datang berkunjung.