Anak Krakatau Erupsi Belasan Kali, Semburkan Abu Vulkanik hingga 2.000 Meter
Dalam dua hari terakhir, Gunung Anak Krakatau di Lampung mengalami erupsi belasan kali. Semburan abu vulkanik Anak Krakatau mencapai ketinggian 2.000 meter di atas puncak.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, kembali meningkat. Dalam dua hari terakhir, gunung api itu mengalami erupsi belasan kali. Semua pihak diminta mengantisipasi risiko bahaya dengan tidak mendekat ke Gunung Anak Krakatau.
Kepala Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau di Desa Hargopancuran, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Andi Suardi mengatakan, peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau terjadi sejak Minggu (26/11/2023) siang. Pada hari itu, Anak Krakatau tercatat lima kali erupsi.
Peningkatan aktivitas vulkanik itu masih berlanjut hingga Senin (27/11/2023). ”Hari ini sudah terjadi delapan kali letusan, terakhir tercatat pukul 11.43 WIB,” kata Andi saat dihubungi dari Bandar Lampung, Senin.
Andi memaparkan, Gunung Anak Krakatau juga menyemburkan abu vulkanik. Dari hasil pemantauan, ketinggian abu vulkanik berkisar 200 meter hingga 2.000 meter dari atas puncak.
Meskipun terus mengalami erupsi, belum ada peningkatan status Gunung Anak Krakatau. Status Anak Krakatau masih Siaga (Level III). Masyarakat pun tidak boleh mendekat dalam radius 5 kilometer dari kawah gunung api itu.
Letusan gunung api tersebut juga tidak membahayakan warga di sekitar pesisir Lampung. Meskipun luncuran abu cukup tinggi, kondisi angin tidak membuat abu sampai ke daratan Lampung Selatan. Sementara itu, kondisi cuaca di kawasan Lampung Selatan pada Senin ini cenderung berawan dan hujan.
Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada Senin ini hingga pukul 12.00 gunung api itu tercatat mengalami delapan kali letusan. Anak Krakatau juga masih terus mengalami tremor dengan amplitudo 1-44 milimeter.
Erupsi terbesar pada Senin terjadi pukul 11.43 dengan ketinggian kolom abu mencapai 2.000 meter dari atas puncak. Kolom abu teramati berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tebal dan condong ke arah barat laut. Erupsi ini terekam dalam seismograf dengan amplitudo maksimum 77 milimeter dan durasi 1 menit 56 detik.
Sementara itu, pada Minggu kemarin, erupsi terbesar terjadi pukul 21.08 dengan ketinggian kolom abu 1.000 meter dari atas puncak. Erupsi ini terekam dalam seismograf dengan amplitudo maksimum 78 milimeter dan durasi 45 detik. Adapun kolom abu berwarna kelabu dan condong ke arah barat laut.
Aktivitas masyarakat di Pulau Sebesi, yang berjarak 16,5 kilometer dari Gunung Anak Krakatau, dilaporkan masih berjalan normal. Kendati begitu, warga setempat tetap siaga mengantisipasi terjadinya bencana akibat aktivitas gunung api tersebut.
Hari ini sudah terjadi delapan kali letusan, terakhir tercatat pukul 11.43 WIB.
Rahmatullah, nelayan asal Desa Tejang, Pulau Sebesi, menuturkan, masyarakat Pulau Sebesi mendengar suara dentuman yang cukup kuat dan melihat percikan lava saat Anak Krakatau meletus. Meski begitu, warga tidak merasakan gempa atau terdampak semburan abu vulkanik karena arah angin cenderung ke barat.
Ia menambahkan, masyarakat dan nelayan di Sebesi tetap beraktivitas seperti biasa. Namun, mereka meningkatkan kewaspadaan dengan menggelar ronda pada malam hari. ”Semalam, bapak-bapak di sini mulai ronda karena Gunung Anak Krakatau terus meletus. Semburan abu vulkaniknya juga terlihat semakin tinggi,” katanya.
Kehidupan baru
Setelah runtuhnya sebagian tubuh Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018, ketinggian Gunung Anak Krakatau saat ini mencapai 157 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Sementara itu, pada Oktober 2018, tinggi Anak Krakatau tercatat 338 mdpl. Tinggi gunung api itu meningkat 33 meter dibandingkan dengan pengukuran pada 11 tahun sebelumnya. Saat pengukuran tahun 2007, ketinggian Anak Krakatau tercatat 305 mdpl.
Sebelumnya, Tim Seksi Konservasi Wilayah III Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu menemukan kehidupan baru di Pulau Anak Krakatau setelah erupsi pada 22 Desember 2018. Dari hasil sensus flora yang dilakukan oleh tim Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Bengkulu pada 12-18 Mei 2023, ditemukan 21 jenis tumbuhan di kawasan pesisir Pulau Anak Krakatau.
”Ini menandakan kehidupan baru mulai muncul kembali. Daerah yang sudah banyak muncul vegetasi memang berada di sebelah utara pulau yang jauh dari kawah,” kata Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Krakatau Ari Rakatama, beberapa waktu lalu.
Jenis tumbuhan yang dominan ditemui di Pulau Krakatau adalah kelapa (Cocos nucifera), nipah (Nypa fruticans), dan nyamplung (Calophyllum inophyllum). Selain itu, ditemukan pula tumbuhan ketapang, nyiri laut, keben, waru laut, katang-katang, pandan, cemara laut, pong-pong, lamtoro, rumput tembaga, jukut tiara, mengkudu, waru, tangkil, harendong, awar-awar, kacang laut, dan sawi pantai.
Menurut Ari, pendataan flora yang dilakukan oleh tim merupakan sensus pertama yang dilakukan setelah erupsi pada 2018. Sebelum erupsi, kondisi kawasan di Pulau Krakatau sudah seperti hutan.
Saat ini tidak ada petugas BKSDA yang mendekat ke Pulau Anak Krakatau karena aktivitas Gunung Anak Krakatau masih terus meningkat. Pihaknya juga belum mengetahui bagaimana dampak meningkatnya aktivitas Anak Krakatau selama dua hari terakhir terhadap kondisi ekosistem di sana.