Berkisah tentang Batik Mangkunegaran
Opsi pengembangan motif Batik Mangkunegaran baru dibuka demi melanggengkan wastra itu di masa depan.
Koleksi batik dari Pura Mangkunegaran memuat berbagai kisah dan makna. Itu semua dipamerkan kerabat kadipaten tersebut dalam gelar peragaan busana. Misi besarnya mengenalkan batik lebih luas sembari mengembangkan wastra itu di masa kini.
Tabuhan gamelan sayup-sayup mengalun di Taman Pracima, Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (29/10/2023) malam. Lampu sorot yang berkilauan menyinari jalan setapak taman bunga itu. Sesaat kemudian, sesosok putri anggun keluar dari dalam bangunan kaca.
Sosok itu adalah Gusti Raden Ajeng Ancilla Sura Sudjiwo. Didampingi sejumlah penari, ia berjalan menyusuri jalan setapak di taman bunga itu. Kebaya coklat tua dikenakannya lengkap dengan jarik batik bermotif parang. Itu hanya motif yang boleh dikenakan kerabat kerajaan, sebagaimana status Gusti Sura, yang merupakan kakak kandung dari pemimpin dari kadipaten itu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X.
Baca juga: Menjaga Momentum Pura Mangkunegaran Bersinar
Begitulah secuplik momen yang tertangkap dalam gelaran ”Angsukayana” oleh Pura Mangkunegaran. Perhelatan itu menyajikan peragaan busana disertai pameran batik yang diikuti kerabat kadipaten tersebut. Dalam pameran itu hanya batik khas Mangkunegaran yang dipajang.
Istilah ”Angsukayana” berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa Kuno, yakni angsuka dan yana. Kata angsuka memiliki arti ’kain’ atau ’wastra’, sedangkan yana berarti ’perjalanan’.
Oleh karenanya, tujuan pergelaran itu adalah untuk menceritakan kembali mengenai wastra yang berkembang di lingkungan Mangkunegaran beserta makna yang menyertainya.
”Batik merupakan alat untuk menyampaikan pesan, cerita, ataupun ajaran yang dikomunikasikan melalui pola serta warna. Bukan hanya cerita soal wastra, tetapi batik juga soal kebudayaan yang hidup,” kata Permaisuri Mangkunegara IX Gusti Kanjeng Putri (GKP) Mangkunegara IX dalam sambutannya menerangkan tujuan dari acara tersebut.
Salah satu cara menceritakannya melalui peragaan busana. Gusti Sura adalah sosok pembuka. Diikuti setelahnya kerabat lainnya, seperti Kanjeng Raden Ayu Endang Yamin, Raden Ajeng Rania Ameera Moeljono, Raden Ayu Shelomita Sulistiany Diah Hadju, hingga ditutup kakak tiri Mangkunegara X, yakni Gusti Pangeran Haryo Paundrakarna.
Makna di balik batik-batik yang dikenakan itu dibacakan pembawa acara sepanjang langkah mereka melenggang di taman bunga tersebut. Beberapa batik yang dipamerkan melalui peragaan busana, antara lain, Candi Mulyo, Pisan Bali, dan Ceplok Gusti Putri. Masing-masing motif memiliki kisahnya.
Batik merupakan alat untuk menyampaikan pesan, cerita, ataupun ajaran, yang dikomunikasikan melalui pola serta warna. Bukan hanya cerita soal wastra, tetapi batik adalah soal kebudayaan yang hidup.
Misalnya, Pisan Bali menceritakan soal anggota keluarga yang pergi pasti kelak akan kembali. Lain lagi ceritanya dengan Candi Mulyo yang mengibaratkan rumah dan keluhuran budi. Lalu, Ceplok Gusti Putri menyimbolkan ungkapan syukur, kehormatan, dan elegansi bagi orang yang mengenakannya.
Selain peragaan busana, diadakan pula pameran koleksi batik Mangkunegaran lainnya di Balai Sisworini. Letaknya persis di timur Taman Pracima. Pameran berlangsung sejak 29 Oktober 2023 hingga 18 November 2023.
Sedikitnya 26 motif batik dipajang dengan cara digantung pada sisi kanan dan kiri dinding ruang pamer. Adapun motif yang ditampilkan juga pola-pola batik khas dari kadipaten tersebut, seperti Buketan Pakis, Parang Gondosuli, Gringsing Dahlia, Semen Wijayakusuma, dan Ceplok Gusti Putri.
”Ini adalah aset kita. Aset masyarakat Indonesia, yang juga aset budaya Mangkunegaran. Untuk itu, mari bersama-sama membumikan kembali warisan budaya batik ini,” kata GKP Mangkunegara IX.
Inovasi batik
Saat ini, Pura Mangkunegaran dipimpin seorang sosok muda, yakni Mangkunegara X. Usianya sekarang baru menginjak 26 tahun. Kesegaran pemikirannya membuat salah satu pusat budaya Jawa itu memiliki banyak rencana pengembangan kebudayaan. Tak terkecuali bagi batik khas kadipaten tersebut.
Inovasi motif batik coba dilakukan Mangkunegara X dengan kerja sama yang dijalin bersama Iwan Tirta Private Collection. Motif baru itu bernama ”Pracima Tuin Kusumawicitra”. Inspirasinya adalah Taman Pracima yang baru saja diresmikan pada awal tahun lalu. Adapun motifnya menunjukkan gambar bunga dengan stilasi yang besar.
”Tentu, ke depan, kami akan coba berinovasi kembali membuat motif-motif baru. Walau kami ini institusi dengan sejarah panjang, spirit kami sekarang adalah wadah budaya yang terus hidup dan berkembang. Artinya, kami tidak akan pernah berhenti berkarya,” kata Mangkunegara X.
Mangkunegara X getol melakukan pembaruan didasari semangat zaman kekinian. Ia merasa, kerja-kerja kebudayaan semakin banyak digandrungi anak muda. Itu membangun optimismenya atas pelestarian budaya tradisional, termasuk batik.
Kemauan anak muda menekuni budaya juga ia rasakan di lingkungan Pura Mangkunegaran. Kian banyak abdi dalem muda yang mau membaktikan diri guna mempelajari kebudayaan. Oleh karenanya, upaya inovasi batik nantinya akan menggandeng kalangan tersebut.
Di sisi lain, Mangkunegara X juga berencana menengok lagi daerah-daerah yang dahulu menjadi wilayah kekuasaan kadipatennya, seperti Karanganyar dan Wonogiri. Kedua daerah itu menjadi sentra batik karena banyak pembatik tinggal di beberapa desa dari masing-masing daerah. Pihaknya ingin berkolaborasi menciptakan motif baru agar batik Mangkunegaran terus hidup sepanjang masa.
”Ini adalah suatu awalan bagi kami untuk membangun lagi ekosistem itu. Kami gandeng abdi dalem, bahkan masyarakat di luar Solo (Surakarta), untuk kembangkan batik ini bersama-sama,” kata Mangkunegara X.
Secara terpisah, Muhammad Arif Jati, pengajar Desain Mode Batik dari Institut Seni Indonesia Surakarta, mengapresiasi visi inovatif yang dimiliki Mangkunegara X. Aspek itu menunjukkan Pura Mangkunegaran benar-benar terbuka dengan pembaruan. Karakter yang terbuka sejatinya tampak pula dari batik-batik kreasi mereka.
Kekhasan batik Mangkunegaran, menurut Arif, terdapat pada polanya yang dinamis. Pembuatannya tidak selalu mengacu pada pakem. Kreativitas selalu dikedepankan. Kondisi semacam itu memicu munculnya berbagai metode pembuatan ataupun pola baru yang dihasilkan pegiat batik dari kadipaten tersebut.
Baca juga: Gula Itu Bernama Pura Mangkunegaran…
Terdapat tiga sosok penting di balik perkembangan Batik Mangkunegaran. Masing-masing sosok memiliki peranan yang berbeda. Ketiga sosok itu ialah GKP Mangkunegara VIII, KRAy Praptini Prataningrat, dan Nyi Tumenggung Madusari.
GKP Mangkunegara VIII merupakan permaisuri Mangkunegara VIII. Ia memiliki kegemaran mengoleksi batik. Kegandrungannya terhadap batik menginspirasi seniman bati kadipaten tersebut untuk selalu berkreasi sehingga menghasilkan beragam motif.
Berbeda lagi dengan KRAy Praptini yang memang seorang pembatik dari kerajaan tersebut. Kekhasannya berupa warna soga atau kecokelatan nan elegan yang tertuang pada setiap batik ciptaannya.
Warna coklat yang khas dihasilkan KRAy Praptini melalui teknik pembabaran atau pewarnaan. Caranya ialah melipat kain terlebih dahulu sebelum dicelupkan ke pewarna. Dengan demikian, warna coklat bisa meresap apik ke bagian kain lainnya. Warna yang dihasilkan pun terkesan halus.
Baca juga: Motif Berkembang Seiring Zaman
Tak hanya berinovasi, KRAy Praptini juga menghasilkan sejumlah motif anyar. Beberapa motif itu, antara lain, Semen Wijayakusuma Latar Cemeng, Parang Kumudawati, dan Parangrusak.
Sementara itu, Nyi Tumenggung Madusari ialah seorang selir dari Mangkunegara VII, yang juga penari dan pesinden kerajaan. Kentalnya darah kesenian di dalam diri Madusari mendorongnya mendalami kesenian lain, seperti membatik. Motif baru diciptakannya selama membatik, seperti Sari Ngrembaka, Pakis, Sari Madu, Peksi Huk, hingga Gabah Sinawur.
Sari Ngrembaka boleh jadi cerminan nyata upaya pengembangan motif batik khas Mangkunegaran. Polanya menyerupai motif Parang. Terdapat pola yang digambar diagonal dari atas ke bawah. Hanya gambarnya yang berbeda. Apabila Parang menunjukkan gambar yang menyerupai huruf ”S”, Sari Ngrembaka bergambar daun dan kuncup bunga.
”Ini akan semakin positif jika eksplorasi akan dilakukan. Kreasi terus dilakukan karena tidak terpaku pada pakem. Ini yang akan membuat batik itu terus hidup,” kata Arif.