Sebulan Jelang Penangkapan Ikan Terukur, Sistem Kuota Masih Diragukan
Meski hanya tersisa sebulan sebelum pemberlakuan penangkapan ikan terukur, penerapan sistem kuota tangkapan masih diragukan. Kuota hanya bisa diberlakukan jika data sudah betul-betul akurat.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Meski hanya tersisa sebulan lebih seminggu sebelum pemberlakuan penangkapan ikan terukur atau PIT pada Januari 2024, penerapan sistem kuota tangkapan masih diragukan. Sistem kuota diyakini hanya bisa diberlakukan jika data sudah betul-betul akurat.
Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hendra Sugandhi, Jumat (24/11/2023), mengatakan, kapasitas perikanan nasional saat ini tak mungkin dapat merealisasikan nilai hasil tangkapan sekitar Rp 225 triliun yang dicatat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2020.
Hendra memaparkan, pada 6 November 2023, kapasitas penangkapan kapal izin pusat dari KKP sebesar 902.285 gros ton (GT). Kapasitas itu sudah termasuk kapal yang dulu mengantongi izin dari pemerintah daerah dengan ukuran 5-29 GT yang sekarang beroperasi di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Pada Jumat ini, kapasitas tersebut telah naik menjadi 917.083 GT di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Dengan kapasitas tersebut, Hendra memperkirakan, nilai produksi ikan berizin pusat hanya Rp 13,5 triliun per tahun.
”Yang selama ini digembar-gemborkan nilai produksi ikan Rp 225 triliun sepertinya hanya khayalan yang dipercaya banyak orang. Jika kita mengacu pada kapasitas kapal nasional sekalipun, yaitu izin pusat ditambah provinsi dan BPKP (Bukti Pencatatan Kapal Perikanan) 1,37 juta GT, nilai produksi perikanan diperkirakan tidak lebih dari Rp 20,5 triliun,” kata Hendra saat dihubungi dari Manado.
Ketika PIT diterapkan pada 1 Januari 2024, kuota tangkapan tahunan sebesar 5,99 juta ton akan diberlakukan. Di Zona 2 yang mencakup WPP 716 dan 717, pemerintah menerapkan kuota tangkapan sebesar 996.730 ton per tahun. Sebagian besar, yakni 882.675 ton, dialokasikan untuk keperluan industri.
Dengan kuota itu, menurut Hendra, kapasitas eksisting perikanan yang ada di Zona 2 saat ini harus ditingkatkan hampir 10 kali lipat. ”Begitu pula di zona PIT lainnya. Untuk memenuhi kuota, kapasitas penangkapan harus ditingkatkan sangat drastis. Jadi, PIT yang hanya memperhatikan output control (penghitungan hasil tangkapan) akan membahayakan keberlanjutan,” katanya.
Masalahnya, jumlah kapal yang beroperasi saat ini justru menurun. Pada pertengahan 2022, misalnya, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP menyatakan, ada 2.000-an kapal yang berhenti beroperasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Namun, menurut Hendra, penyebabnya adalah kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Kapal berbobot di atas 60 GT diwajibkan membayar PNBP 10 persen, sedangkan di bawah 60 GT dikenai 5 persen. Selain itu, harga acuan ikan (HAI) berbeda-beda di tiap daerah. Di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, misalnya, HAI ikan cakalang adalah Rp 15.000 per kg, sedangkan HAI tuna sirip kuning atau madidihang Rp 17.700 per kg.
”Penyebab utama kapal ngendon adalah kenaikan PNBP yang sangat memberatkan, ditambah BBM. Saat ini seharusnya semua pihak fokus merekapitulasi data kapal ngendon di seluruh pelabuhan perikanan yang jumlahnya ribuan agar bisa dihitung dampak negatif akibat kebijakan yang justru kontraproduktif,” kata Hendra.
Yang selama ini digembar-gemborkan nilai produksi ikan Rp 225 triliun sepertinya hanya khayalan yang dipercaya banyak orang.
Penurunan jumlah kapal yang operasional juga tercatat di PPS Bitung. Jika pada akhir 2022 tercatat 1.044 kapal yang aktif, per akhir semester I-2023, jumlahnya turun menjadi 935 kapal.
Di sisi lain, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Ridwan Maulana menyebut, sistem kuota diperlukan karena telah terjadi penangkapan ikan berlebihan (overfishing) di berbagai lokasi menurut kajian Komisi Nasional Sumber Daya Perikanan (Komnas Kajiskan). Keberlanjutan sumber daya ikan harus dijaga dari pelaku usaha pemburu rente.
”Sumber daya perikanan itu, kan, renewable (terbarukan). Tapi, kalau ditangkap terus akan habis. Pemilik kapal dan pengusaha cenderung mencari sebanyak-banyaknya,” kata Ridwan menjelaskan korelasi kuota dengan penerapan penghitungan tangkapan pascaproduksi.
Kebijakan itu juga akan disertai dengan penerapan kuota bagi nelayan kecil serta kegiatan rekreasional dan riset. Ada pula area-area yang ditetapkan sebagai wilayah konservasi (marine protected area).
Ridwan menyatakan, angka kuota yang ditetapkan sudah valid karena dirumuskan pakar-pakar Komnas Kajiskan. ”Sumber datanya adalah produksi yang selama ini dihasilkan nelayan kecil dan kapal-kapal skala besar. Variabelnya, historical tangkapan dikali jumlah kapal,” ujarnya.
Kepala PPS Bitung Ady Chandra menambahkan, pemberlakuan PIT tidak akan mudah. Namun, ia meminta para nelayan dan pengusaha tak perlu khawatir. ”Kami harus melayani kapan saja kapal datang dan bongkar muatan, baik siang maupun malam. Kami sama-sama belajar, bagaimana agar pelaksanaan bisa lancar,” katanya.
Sementara itu, pakar ekonomi perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Nimmi Zulbainarni, mengingatkan, penerapan sistem kuota harus betul-betul berorientasi pada pelestarian sumber daya perikanan, bukan peningkatan PNBP. ”Yang tidak boleh rent-seeking (memburu rente) adalah pemerintah,” ujarnya.
Nimmi menyebut, sistem kuota dapat diterapkan, tetapi data potensi perikanan harus betul-betul akurat. Hal ini harus didampingi penegakan hukum yang kuat untuk mencegah pelanggaran oleh pelaku usaha demi menekan risiko penangkapan ikan ilegal, tak terlapor, dan tak teregulasi.
”Pelaku usaha bisa melakukan quota busting. Misalnya, mereka tidak bisa memenuhi kuota dan akhirnya melakukan kegiatan destruktif untuk memenuhi kuota. Bisa juga mereka menyatakan hanya menangkap di bawah kuota atau unreported,” ucap Nimmi.
KKP juga perlu mengingat bahwa beberapa daerah, seperti Bitung, bergantung pada pendapatan asli daerah dari subsektor perikanan tangkap. Karena itu, diperlukan peninjauan kembali, apakah kapal 5-30 GT harus bermigrasi ke izin pusat untuk memanfaatkan kuota industri.
”Kalau semua kapal izin pusat, daerah dapat apa? Nanti ribut lagi. Jadi, permasalahan kita tidak selesai karena muncul aturan-aturan yang tidak dipertimbangkan dampaknya,” ujar Nimmi mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang memberikan kewenangan pengaturan izin kapal 5-30 GT kepada pemda.
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB University Yonvitner juga menyebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang PIT lebih banyak mengatur tentang kuota ketimbang pelestarian ekosistem. Buktinya, tidak ada istilah ”pelestarian ekosistem” ataupun ”pemerataan pendapatan” di dalam PP tersebut.