Para Pemuda Melawan Ketimpangan Pendidikan di Manado dan Bunaken
Tak mudah mengubah ketimpangan pendidikan di wilayah Kota Manado. Namun, para pemuda di Manado menolak tinggal diam.
Salim Lasewa (49) sebenarnya gundah akan masa depan anak bungsunya, Dewi (13). Bocah itu sudah kelas VI di Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairaat Bunaken, sebuah sekolah sederhana di seberang rumah mereka di pucuk selatan Pulau Bunaken, Sulawesi Utara. Masalahnya, hingga kini Dewi belum lancar baca dan tulis.
”Saya gugup mau masukkan dia ke SMP. Bagaimana kalau disuruh menulis namanya, terus dia tidak bisa, padahal sudah besar begini?” kata Salim, Minggu (19/11/2023), di halaman rumahnya di Lingkungan 5 Kelurahan Bunaken, Kecamatan Bunaken Kepulauan, Kota Manado.
Menurut Salim, ketika masih bayi, Dewi pernah mengalami gejala leukemia. Pengobatan yang berlangsung lama menyebabkan asupan gizi Dewi berantakan. Berat badannya tak sampai 3 kilogram meski sudah usia 1 tahun.
Syukur, nyawa Dewi terselamatkan hingga ia bisa tumbuh besar menginjak usia remaja yang sehat fisik dan mental. Akan tetapi, dugaan Salim, penyakit yang diderita anak keempatnya itu berdampak pada kemampuan kognitifnya saat ini, sampai-sampai ia tak hafal bentuk-bentuk alfabet.
Baca juga: Hampir 3 Juta Orang di Indonesia Masih Buta Aksara
Ia dan istrinya pun tak mau membuat Dewi tertekan dengan tuntutan akademik yang berlebihan. ”Saya tetap akan daftarkan dia ke SMP, tapi mau hubungi kepala sekolah dulu supaya beliau tahu memang pertumbuhan dan perkembangan dia (Dewi) memang begini,” ujar Salim tanpa menyebutkan SMP yang dimaksud.
Bagaimana Dewi bisa sampai di kelas VI MI Al-Khairaat Bunaken meski tak lancar membaca memang menjadi pertanyaan. Namun, kendati tak ada data valid, Dewi bukan satu-satunya anak di Lingkungan 5 Kelurahan Bunaken yang belum lancar baca dan tulis meski sudah berusia 8 tahun atau lebih.
Ketua Lingkungan 5 Kelurahan Bunaken, Esly Sikome, membenarkan. Ia menyebut, mayoritas anak di wilayahnya disekolahkan di MI Al-Khairaat kendati guru-guru di madrasah yang baru berdiri pada 2018 itu tak punya dasar keguruan. Bahkan, baru pada 2023 MI Al-Khairaat Bunaken dipimpin oleh kepala sekolah bergelar S-1.
”Mereka (guru-guru MI) mengajar dengan ikhlas. Gaji mereka cuma Rp 250.000, ditambah Rp 50.000 tunjangan. Ada yang latar belakangnya SMA saja, ada juga yang pernah kuliah, tapi tidak sampai selesai. Tapi, siapa lagi yang mau mengajar dengan ikhlas?” kata Esly.
Baca juga: Upaya Penurunan Buta Aksara Tidak Berhenti
Kondisi fisik MI Al-Khairaat, yang kini memiliki 56 siswa, pun memprihatinkan. Ukuran bangunannya hanya 6 meter x 9 meter. Kelas, ruang kepala sekolah, hingga unit kesehatan siswa hanya disekat papan kayu. Toilet pun baru saja dibangun beberapa waktu belakangan berkat dana bantuan dari sebuah perusahaan pelat merah.
Meski demikian, mayoritas warga di Lingkungan 5 Kelurahan Bunaken tetap menyekolahkan anaknya di madrasah itu ketimbang SD Negeri 01 Bunaken. Kata Esly, para orangtua khawatir anak-anak tidak akan mendapatkan pendidikan agama Islam yang memadai.
Penduduk Lingkungan 5 dan 4 di Kelurahan Bunaken memang 100 persen Muslim sehingga lebih dikenal dengan sebutan Kampung Islam, sedangkan Lingkungan 1, 2, dan 3 dihuni penduduk Kristiani sehingga disebut Kampung Kristen. SDN 01 Bunaken terletak di Lingkungan 3.
”Bukan mau membeda-bedakan agama, tapi pendidikan agama di sana bagaimana? Apakah menjamin? Kan, pada dasarnya pendidikan Islam lebih baik dilaksanakan di madrasah,” kata Esly.
Keadaan ini menjadi dilema bagi Rista Tekol (39), ibu bocah lelaki bernama Ezhar (8). Ia sempat hendak menyekolahkan anaknya di SDN 01 Bunaken, bahkan sudah sempat beli seragam. Namun, seorang kerabat yang mengajar di MI Al-Khairaat membujuknya agar mengirim Ezhar ke madrasah saja.
”Saya sebenarnya mau masukkan Ezhar ke sana (SDN 01 Bunaken) supaya bukan cuma dominan agama pelajarannya, tapi juga yang lain. Apalagi saya lihat Ezhar ini lain, dia lebih cepat mau menangkap pengetahuan. Saya taruh harapan besar ke madrasah,” kata Rista.
Secara administratif, Pulau Bunaken sebenarnya masih wilayah Kota Manado, bahkan menjadi destinasi pariwisata andalan ibu kota Sulut itu. Namun, akses pendidikan di sana jauh berbeda dibandingkan Manado daratan yang memiliki jauh lebih banyak opsi.
Bobby Ismail (47), misalnya, pedagang di Pasar Bersehati Manado, kini menyekolahkan anaknya di SD Muhammadiyah 1 Manado di Kelurahan Istiqlal yang lebih dikenal sebagai Kampung Arab. ”Pendidikan di sekolah bagus. Arsyad (7) sudah tahu baca tulis,” katanya.
Baca juga: Menghapus Lingkaran Buta Aksara
Daerah Kampung Arab memang cukup populer di kalangan pedagang Pasar Bersehati yang mayoritas Muslim untuk menyekolahkan anak mereka. Mereka tinggal memilih antara SD Muhammadiyah 1, SDN 125, atau SD Islam Yapim yang saling bersebelahan di Jalan Cik di Tiro, Istiqlal. Ini adalah sebuah perkembangan, mengingat satu dekade lalu, banyak pedagang yang lebih suka menyuruh anaknya berjualan saja ketimbang sekolah.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pada tahun ajaran 2022/2023, ada 226 SD dan 16 MI di Manado bagi sekitar 39.000 siswa. Ketimpangan akses dan kualitas antara Manado daratan dan kepulauan menjadi ironis ketika Sulut telah membangga-banggakan angka buta huruf 0,2 persen sejak 2021, jauh di atas rerata nasional 3,96 persen.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Manado telah dimintai tanggapan melalui telepon dan pesan teks, tetapi tak merespons.
Pemuda bawa solusi
Dalam keadaan ini tumbuhlah inisiatif para pemuda melalui gerakan sukarela. Di Pasar Bersehati, misalnya, Komunitas Dinding Manado telah 13 tahun mendampingi anak-anak para pedagang untuk belajar bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, serta kewarganegaraan dalam program bernama Kelas Mengajar.
Mikael Pontolondo (28), ketua komunitas itu, menyebut kehadiran mereka bagi anak-anak pasar melalui program tersebut setiap Sabtu siang di lantai 3 gedung utama pasar telah meningkatkan kesadaran para pedagang untuk menyekolahkan anaknya secara formal. ”Tahun 2018, bisa dikatakan 80 persen anak tidak sekolah. Sekarang ada kemajuan, dari 43 hanya 11 yang tidak sekolah,” ungkapnya.
Ketimpangan akses dan kualitas antara Manado daratan dan kepulauan menjadi ironi ketika Sulut telah membangga-banggakan angka buta huruf 0,2 persen sejak 2021, jauh di atas rerata nasional 3,96 persen.
Selain mata pelajaran arus utama, lanjut Mikael, Komunitas Dinding Manado juga membuka kelas mengaji serta bela diri setiap Sabtu sore setelah Kelas Mengajar. Di samping itu, ada program lain seperti summer camp tiap Agustus serta study tour.
Akan tetapi, bukan berarti, komunitas yang dibesut 26 orang dan sukarelawan tak tetap tiap pekan ini tak punya tantangan. Salah satunya adalah organisasi yang bukan badan hukum serta pembiayaan yang tak tetap.
Kendati begitu, menurut Sekretaris Komunitas Dinding Manado Hengky Tondatuon (37), mereka cukup bersyukur karena pemerintah mengizinkan mereka untuk tetap beraktivitas di Pasar Bersehati. ”Karena tidak ada akta notaris, kami tidak mungkin bisa punya tempat. Untungnya, kami dapat izin dari pihak pasar dan pemerintah kota,” katanya.
Karena itu, Victor Ohoiwutun (31), yang mengetuai komunitas itu tahun lalu dan kini masih aktif, menyatakan ingin konsisten mendampingi anak-anak di Pasar Bersehati. Ia berharap, kerja mereka menumbuhkan inisiatif komunitas-komunitas lain. ”Kami ingin memberikan peluang bagi komunitas di luar sana untuk buat gerakan yang sama,” katanya.
Konsistensi Komunitas Dinding akhirnya menginspirasi Aksara Manado, komunitas literasi yang tumbuh dari lingkungan Institut Agama Islam Negeri Manado. Sekitar 1,5 bulan terakhir, mereka melaksanakan program Titik Nol Literasi Kepulauan tiap Sabtu di Lingkungan 5 Kelurahan Bunaken, Pulau Bunaken.
Farlan Erlangga (22), ketua Aksara Manado, mengatakan, komunitasnya menghadapi masalah yang serupa, yaitu ketiadaan badan hukum serta sumber pendanaan tetap. Di samping itu, para anggota komunitas memiliki kesibukan masing-masing sebagai mahasiswa sehingga sulit untuk mengatur giliran mengajar setiap pekan.
Karena itu pula, kini program Aksara Manado di Bunaken masih terbatas di Lingkungan 5. ”Pertimbangannya, kami juga ingin menjaga stabilitas dan konsistensi supaya konsentrasi kami tidak terpecah. Kalau sudah stabil, dan kalau sumber daya manusia sudah maksimal, baru kami melebarkan sayap ke kampung sebelah,” kata Farlan.
Dari program Titik Nol Literasi Kepulauan, Farlan berharap Aksara Manado dapat mengatasi masalah ketimpangan pendidikan di wilayah Manado. ”Persoalan kita hari ini bukan sebatas pemerataan bangunan sekolah, tetapi juga harus kita lihat kualitasnya. Perkotaan saja masih ada masalah itu, apalagi di kepulauan,” katanya.
Inisiatif literasi para pemuda lewat dua komunitas ini pun sangat disyukuri para orangtua. Salim, ayah Dewi yang belum lancar membaca, menyebut sudah ada perkembangan setelah kedatangan para sukarelawan Aksara Manado. Mereka menjadi solusi dari kesulitan yang dihadapinya ketika mengajari Dewi membaca.
”Cara kakak-kakak sukarelawan dalam mengajar mungkin lebih seru daripada di rumah. Dia lebih cepat mengerti,” kata Salim.
Rista, ibu Ezhar, berpendapat senada. ”Kalau bisa kakak-kakak Aksara tidak cuma seminggu sekali. Paling tidak tiga kali supaya pengetahuan anak-anak lebih bagus dan daya ingatnya lebih baik,” katanya.
Terhadap Komunitas Dinding Manado, Bobby, pedagang di Pasar Bersehati, juga menyambut baik. ”Komunitas ini bagus. Ada anak-anak di sini yang tidak lanjut sekolah. Kalau dapat tambahan pelajaran, kan, bagus. Tidak cuma sibuk bermain,” katanya.
Cukup sulit untuk mengubah tatanan pendidikan yang ada saat ini. Namun, para pemuda di Manado menolak tinggal diam. Lewat aktivitas sosial, mereka berikhtiar mengatasi ketimpangan yang mendera anak-anak agar tak ada seorang pun yang tertinggal.