Penurunan angka buta aksara setiap tahun perlu diapresiasi. Meski demikian, pemerintah tidak akan lengah. Pemerintah mengupayakan tindak lanjut setelah penurunan berhasil dilakukan.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik, selama 2011-2019, persentase penduduk usia 15-59 tahun yang buta aksara terhadap total populasi terus turun. Pada 2011 persentasenya mencapai 4,63 persen. Adapun pada 2019 persentase turun menjadi 1,78 persen.
Meski demikian, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Direktorat Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Samto mengatakan, upaya penurunan buta aksara tetap tidak boleh berhenti.
Buta aksara berpengaruh ke aspek kehidupan lainnya, seperti produktivitas ekonomi, sosial, dan kemampuan literasi. Literasi yang dia maksud luas, bahkan termasuk literasi terhadap digital dan bencana.
Selama lima tahun terakhir, dia mengakui tingkat penurunan buta aksara berjalan melambat. Ini dikarenakan lokasi penduduk masih buta aksara semakin terletak di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Di wilayah ini, gerakan berantas buta aksara terkendala minimnya sumber daya.
Ada enam provinsi yang masih memiliki persentase penduduk usia 15-59 tahun yang buta huruf tergolong tinggi. Keenam provinsi itu adalah Papua (21,9 persen), Nusa Tenggara Barat (7,56 persen), Nusa Tenggara Timur (sekitar 4,6 persen), Sulawesi Selatan (4,22 persen), Sulawesi Barat (3,98 persen), dan Kalimantan Barat (sekitar 3,81 persen). Intervensi pemerintah akan fokus di enam provinsi tersebut.
”Kami memetakan per orang beserta tempat tinggalnya. Dari hasil pemetaan seperti ini dibanding mendekati tokoh adat langsung, kami harap pelatihan keaksaraan lebih tepat sasaran,” ujar Samto dalam taklimat media ”Hari Aksara Internasional Ke-55”, Jumat (4/9/2020), di Jakarta.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemdikbud Jumeri menyampaikan, buta aksara berkaitan erat dengan kemiskinan. Semakin tinggi kuintil pengeluaran rumah tangga, semakin rendah angka buta aksara.
Dia lantas menggambarkan kondisi kuintil pada penduduk usia 15-59 tahun. Pada kuintil pertama, persentase penduduk buta aksara mencapai 3,72 persen. Pada kuintil kedua, persentase buta aksara sebesar 2,09 persen. Pada kuintil ketiga, persentase buta aksara sebesar 1,60 persen.
Pada kuintil keempat, persentase penduduk buta aksara mencapai 1,28 persen. Adapun pada kuintil kelima, persentasenya yaitu 0,63 persen.
Kerja sama seluruh pihak
Upaya menurunkan buta aksara membutuhkan kerja sama semua pihak di pemerintah daerah.
”Upaya menurunkan buta aksara membutuhkan kerja sama semua pihak di pemerintah daerah,” ujarnya.
Dari sisi Kemendikbud, pelatihan dibagi menjadi dua. Pertama, sesuai Peraturan Mendikbud Nomor 86 Tahun 2014 tentang Keaksaraan Dasar, pelatihan menyasar peserta 15-59 tahun dan buta aksara. Lokasi belajar keaksaraan dasar berlangsung di daerah padat dan komunitas adat terpencil/khusus. Setelah itu, mereka harus melewati evaluasi baca, tulis, dan berhitung sebelum diberikan surat keterangan melek aksara (Sukma).
Kedua, sesuai Peraturan Mendikbud No 42/2015 tentang Keaksaraan Lanjutan, pelatihan terdiri dari multi keaksaraan dan keaksaraan usaha mandiri.
”Pelatihan lanjutan bertujuan untuk memelihara kemampuan keaksaraan mereka. Selain pemerintah daerah, kami mengimbau perguruan tinggi melalui program kuliah kerja nyata tematik bisa turut serta memberikan pelatihan keaksaraan lanjutan,” kata Jumeri.
Samto menambahkan, keberadaan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tetap memegang peranan penting mengurangi buta aksara. Bersama pemerintah daerah setempat, TBM bisa terus mengupayakan pelatihan baca, tulis, dan berhitung, di samping gerakan literasi.
Pegiat Literasi Nasional, Wien Muldian, menjelaskan, pada kurun 2004-2005, berkembang pesat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang diperuntukkan untuk memberantas buta aksara. Keberadaan TBM menjadi bagian di dalamnya sebagai rumah baca.
Namun, dalam perjalanan tahun demi tahun, TBM bertumbuh. Siapa pun bisa mendirikan TBM yang berangkat dari hasrat terhadap membaca dan literasi. Hingga akhirnya perpustakaan desa juga ikut bermunculan dan disokong dana desa.