Hutan Adat Mukim, Titik Balik Melindungi Hutan Aceh
Setelah perjuangan panjang, delapan masyarakat hukum adat mukim di Aceh mendapatkan legalitas mengelola hutan adat.
Secara historis masyarakat hukum adat mukim di Provinsi Aceh telah lama menguasai dan mengelola hutan. Karena negara tak menjamin legalitasnya, hutan jadi kepentingan industri, infrastruktur umum, hingga perkebunan pribadi. Pengesahan hutan adat mukim menjadi titik balik perlindungan hutan Aceh.
Setelah melalui perjuangan panjang, delapan masyarakat hukum adat mukim di Provinsi Aceh mendapatkan legalitas mengelola hutan adat. Surat keputusan pengesahan hutan adat mukim diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (18/9/2023) di Jakarta.
Delapan hutan adat mukim tersebut berada di Mukim Blang Birah, Mukim Krueng, dan Mukim Kuta Jeumpa di Kabupaten Bireuen. Kemudian, Mukim Paloh, Mukim Kunyet, dan Mukim Beungga di Kabupaten Pidie. Adapun Mukim Krueng Sabee dan Mukim Panga Pasi ada di Kabupaten Aceh Jaya. Luas yang telah disahkan 22.549 hektar.
Kepala Imum Mukim Panga Pasi, Kabupaten Aceh Jaya, Hamidi mengatakan, hutan adat milik mereka merupakan bekas konsesi perusahaan hak pengusahaan hutan. Hutan itu babak belur karena pohon-pohon ditebang untuk ekspor ke luar negeri.
Perusahaan beroperasi pada era 1990-an. Pada masa Aceh dilanda konflik bersenjata, perusahaan-perusahaan pemegang izin beraktivitas dengan lancar, tetapi tidak melakukan kewajiban pemulihan hutan yang ditebang.
”Sebenarnya perusahaan yang mengambil hutan kami. Melalui penetapan hutan adat, kami mengambil kembali hutan yang sempat dikuasai perusahaan,” kata Hamidi, Selasa (21/11/2023).
Masyarakat hukum adat mukim merupakan kesatuan masyarakat terdiri dari beberapa desa. Mukim memiliki struktur pemerintahan dan perangkat hukum adat. Pemerintahan mukim merupakan warisan sistem pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam.
Mukim dipimpin oleh seorang imum dibantu perangkat adat, seperti pawang uteun (panglima adat hutan), keujruen blang (ketua adat persawahan), peutua seuneubok (ketua adat perkebunan), dan ketua adat lain sesuai dengan kearifan lokal masing-masing wilayah mukim.
Masyarakat adat Mukim Panga Pasi mengusulkan hutan adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 15.921 hektar. Namun, yang disahkan oleh pemerintah hanya 1.282 hektar. Keseluruhan hutan adat yang disahkan tersebut merupakan bekas konsesi perusahaan.
Di bawah Mukim Panga Pasi terdapat sembilan desa. Pengusulan hutan adat atas persetujuan sembilan desa tersebut. Pengusulan hutan adat ditujukan untuk melindungi hutan dari ancaman kerusakan seperti era perusahaan HPH dulu.
”Kami tidak mau pengalaman itu terulang. Kalau hutan dikuasai perusahaan, anak cucu kami mau cari nafkah di mana,” kata Hamidi.
Setelah izin konsesi perusahaan berakhir, hutan tersebut mulai lebat kembali. Hutan melakukan reboisasi alami. Akan tetapi, sebagian warga memanfaatkan lahan-lahan di pinggiran hutan untuk bertani.
Menurut Hamidi, warga di sembilan desa di bawah Mukim Panga Pasi bersukacita atas terbitnya surat penetapan hutan adat. Mereka berkomitmen untuk merawat dan mengelola tanpa merusak hutan.
”Kami tidak akan merusak hutan dan menebang pohon, apalagi menanam sawit. Itu kesepakatan warga di Mukim Panga Pasi,” ujar Hamidi.
Hamidi akan segera mengadakan musyawarah dengan perangkat mukim dan desa di bawah mukim untuk memutuskan rencana pengelolaan hutan adat. Beberapa warga mengusulkan dijadikan lahan ternak sapi dan kerbau, perkebunan agroforestri, dan penjualan karbon.
”Hutan akan tetap kami jaga karena itu menjadi sumber air bagi aktivitas pertanian,” kata Hamidi.
Kepala Imum Mukim Kunyet, Kecamatan Padang Tiji, Khalidin, juga menyambut bahagia atas pengakuan hutan adat oleh negara. Mereka telah bergerak sejak 2015 dan baru tahun ini negara mengakui keberadaan hutan adat.
Mukim Kunyet memperoleh pengakuan hutan adat 1.280 hektar, sementara yang diusulkan 4.106 hektar. Meski tidak semua usulan diterima, pencapaian itu memberi semangat besar bagi warga 14 desa di bawah Mukim Kunyet untuk menjaga dan mengelola hutan.
Hutan adat yang diusulkan oleh Mukim Kunyet merupakan lahan konsesi hutan tanaman industri (HTI) milik perusahaan. Namun, bagi Khalidin jauh sebelum izin HTI itu terbit hutan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat adat secara turun temurun.
Namun, pada masa konflik Aceh, konsentrasi masyarakat mengelola hutan terganggu. Saat itu, banyak warga menelantarkan lahan untuk menyelamatkan diri dari pertikaian bersenjata.
Tahun 2006, setelah perdamaian dan masa pembangunan pascatsunami, warga Mukim Kunyet mendapatkan program reboisasi hutan. Mereka menanami tanaman hutan dan agroforestri.
Namun, saat mengajukan pembangunan jalan kepada pemerintah, mereka diberitahukan bahwa di hutan tersebut tidak dapat dibangun infrastruktur karena masuk dalam konsesi perusahaan.
”Nyan ka gura, tanoh ata tanyoe surat ata gob (Ini aneh, tanah punya kita, tetapi surat milik orang lain),” ujar Khalidin.
Mengetahui lahan tersebut telah dimiliki perusahaan, masyarakat adat Mukim Kunyet mulai berjuang untuk mengambil kembali. Mereka menyiapkan berkas-berkas agar bisa mengusulkan sebagai hutan adat.
Kini perjuangan itu telah berbuah hasil. Mereka belum menyusun rencana pengelolaan, tetapi secara umum Khalidin mengatakan hutan akan dikelola sebagai sumber ekonomi warga, tanpa merusak fungsi hutan.
Masyarakat hukum adat mukim memiliki aturan adat untuk menjaga hutan, misalnya tidak boleh menebang pohon di dekat sungai dan tidak boleh merusak sumber mata air.
Proses panjang
Perjuangan panjang Mukim Panga Pasi dan Mukim Kunyet tidak terlepas dari dampingan yang dilakukan oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh. Pendampingan dilakukan sejak identifikasi hingga pasca pengakuan.
Sekretaris Pelaksana JKMA Aceh, Zulfikar Amna mengatakan pengakuan negara telah memberikan legalitas bagi mukim untuk mengelola sendiri hutan adat dengan kearifan lokal di Aceh. Meski pengakuan datang terlambat, kini mukim punya kekuatan hukum untuk memproteksi hutan adat dari berbagai ancaman.
”Hutan adat ini bukan perizinan, melainkan pengakuan. Artinya hutan adat telah dikeluarkan dari hutan negara. Setiap ada kebijakan atas hutan adat harus sepertujuan masyarakat adat,” kata Zulfikar.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Abdul Hanan mengatakan, dengan keluarnya surat penetapan hutan adat, keberadaan masyarakat hukum adat mukim diakui eksistensinya.
Awalnya, pengusulan hutan adat di Aceh sempat terhambat karena tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meragukan eksistensi masyarakat hukum adat mukim.
Hanan mengatakan, pemerintah, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat bekerja keras untuk menjelaskan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa mukim merupakan masyarakat adat yang masih melakukan praktik adat, termasuk dalam urusan mengelola hutan.
Seusai menerima surat keputusan, para masyarakat adat tersebut harus membuat rencana kerja umum dan rencana kerja tahunan. Hanan mengatakan, pengelolaan hutan adat tidak boleh mengubah fungsi hutan.
”Utamakan penanaman dan penghijauan. Kami menyediakan bibit pohon untuk ditanami di lahan hutan adat,” kata Hanan.
Hanan mengatakan, jika hutan adat dikelola dengan baik, masyarakat adat dapat mengajukan pembiayaan penjualan karbon. ”Ini kesempatan bagi masyarakat adat untuk menjaga hutan dan memperoleh imbalan dari penjualan karbon,” kata Hanan.
Peneliti dari Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat Universitas Syiah Kuala, Dr Teuku Muttaqin Mansur, mengatakan, pengajuan usulan hutan adat oleh mukim sudah tepat karena wilayah hutan adat ini dikelola oleh mukim yang merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang struktur pemerintahannya mengoordinasi desa-desa.
Ini kesempatan bagi masyarakat adat untuk menjaga hutan dan memperoleh imbalan dari penjualan karbon. (Abdul Hanan)
Secara historis, mukim memiliki wilayah hutan yang dikelola secara turun-temurun. Selain itu, di Aceh juga terdapat Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang dapat menyelesaikan persengketaan persoalan adat. LWN merupakan lembaga yang diamanatkan untuk membina dan mengawasi lembaga-lembaga adat di Aceh.
Melalui hutan adat mukim, semua masyarakat desa memiliki hak untuk mengelola hutan di bawah pengawasan mukim.
”Sekalipun ada gampong (desa) tidak beririsan dengan hutan, tetapi karena gampong tersebut dalam satu mukim, tetap dapat memanfaatkan dan mengelola hutan adat mukim. Praktik ini sudah dilakukan turun-temurun,” kata Muttaqin.
Menurut Muttaqin pengelolaan hutan adat oleh mukim tidak akan merusak hutan, justru memperbaiki kondisi hutan.