Teladan Tukang Es Anti Selingkuh dari Suranenggala
Tanpa uang miliaran, Rasidin terpilih sebagai kuwu di Desa Suranenggala. Ia punya modal sosial dan reputasi baik.
Rasidin, warga Suranenggala di Cirebon , Jawa Barat, bukan keturunan kepala desa. Dia juga tidak punya uang berlimpah. Namun, modal sosialnya membuat dia dicintai warga. Tukang es ini kini memikul tugas berat menjadi kepala desa atau kuwu di Suranenggala hingga enam tahun ke depan.
Ratusan warga datang silih berganti ke kediaman Rasidin (54) di Desa Suranenggala, Minggu (22/10/2023) sore. Mereka memberi selamat kepada Rasidin yang terpilih sebagai kuwu. Sejumlah tamu bahkan menangis haru saat memeluk kandidat nomor urut dua itu.
Saking senangnya, keluarga Rasidin menggelar surak, tradisi menabur koin ke kerumunan massa. Anak-anak hingga nenek-nenek pun antusias menangkap uang receh itu. Begitu warga bersyukur merayakan kemenangan Rasidin.
Rasidin si penjual es teh juga sontak menjelma ”artis”. Tidak sedikit warga, yang mengenakan baju hitam dengan tulisan ”Rasidin”, meminta foto dengannya.
Telepon selulernya juga seakan tak henti berdering. Ucapan selamat datang bertubi-tubi.
Dari hasil rekapitulasi penghitungan suara di delapan tempat pemungutan suara (TPS), Rasidin meraih 1.223 suara. Pertama kali ikut pemilihan kuwu (pilwu), ia mengalahkan kandidat nomor urut 1 dengan 1.070 suara dan calon nomor 3, yang juga petahana, dengan capaian 1.085 suara.
”Alhamdulillah, doa warga terkabul. Atas izin-Nya kula (saya) diangkat derajatnya oleh Gusti Allah,” ujarnya.
Baca juga : Pemilihan Kuwu Cirebon, Harapan Rakyat Sejahtera Bukan Berujung Penjara
Rasidin pun awalnya mengaku tak percaya menjadi kuwu terpilih. Bahkan, ia sempat menolak menjadi calon.
”Saya enggak siap karena pencalonan di Suranenggala itu (butuh dana) minimal Rp 2 miliar. Di sini, (punya) Rp 1 miliar jangan harap jadi (kuwu),” ucap Rasidin menirukan jawabannya ketika sejumlah anak muda dan tokoh masyarakat memintanya maju sebagai calon kuwu tahun lalu.
”Uang es saja di sini Rp 400.000-Rp 600.000 per keluarga,” ucapnya.
”Uang es” yang dimaksud adalah uang yang diberikan tim kandidat kuwu kepada warga pendukungnya untuk membeli kebutuhan harian. Bentuknya bisa makanan, minuman, dan rokok.
Rasidin tak mungkin bisa memberikan ”uang es” seperti itu, apalagi punya uang Rp 2 miliar. Enam tahun terakhir, ia bekerja sebagai penjual es teh dan istrinya menjual lotek.
Penghasilan harian mereka tidak lebih dari Rp 200.000. Konsumennya, dari tetangga, warga luar desa, hingga camat.
”Jualan es teh dan lotek, bebas. Habis jualan, tidur. Kalau jadi, kuwu mikirin ekonomi warga juga,” ucapnya sembari menolak secara halus permintaan warga agar dirinya mencalonkan kala itu.
Akan tetapi, pendukungnya bersikeras dan meyakinkan Rasidin agar tidak memikirkan biaya.
”Mereka bilang, sing (yang) penting dicintai masyarakat. Nanti, warga menilai dengan sendirinya. Persiapan uangnya enggak habis Rp 100 juta,” ucap bapak dua anak ini.
Ia dan warga lantas iuran menyewa tenda, menyiapkan dapur umum. Seragam hitam bertuliskan namanya juga dibuat.
Begitu pun dengan spanduk, baliho, hingga bendera, semua dari uang warga. Seorang pemuda bahkan mencukur rambut bagian belakangnya membentuk angka 2, nomor urut Rasidin. Melihat antusiasme warga, Rasidin mulai percaya diri maju sebagai calon kuwu.
Warga tidak buta. Meskipun ayahnya bukan kuwu dan tidak punya uang miliaran rupiah, Rasidin memiliki modal sosial. Warga mengenalnya sebagai sosok ”mbah” yang kerap membantu anak-anak yang sakit. Ia juga aktif saat kerja bakti hingga turut membangun masjid.
Pengalaman Rasidin juga banyak. Lulusan SMP ini pernah menjadi lebe, aparat desa yang khusus menangani jenazah.
”Jadi, kalau ada orang yang meninggal, saya yang urus, mandikan, dan lain-lain. Mungkin saya dipilih karena dulu saya mengurus jenazah keluarganya,” katanya tersenyum.
Dengan segala kebaikan yang ia tanam sebelumnya, warga pun tak kaget saat Rasidin berkunjung dari rumah ke rumah. Toh, sebelum mencalonkan, ia sudah dekat dengan warga. Ketika masa kampanye, ia tidak perlu mengumpulkan warga dan konvoi unjuk kekuatan.
”Lebih baik bakti sosial saja. Kalau kampanye, takut ribut seperti di desa lain,” ucapnya.
Modal sosial ini tidak bisa dibangun instan meskipun dia adalah keturunan raja, keturunan penguasa, atau orang penting lainnya
Anti selingkuh
Tanawi Al Gali, Ketua Tim Sukses Rasidin, percaya kandidat yang ia dukung peduli pada warga. ”(Kuwu) yang sebelumnya, jangankan perhatian. Warga aja enggak di-datangin, kecuali mau pilwu. Kalau lewat di depan saya (dia) cuma klakson, enggak ngomong,” jawabnya kesal.
Itu sebabnya, Tanawi mengklaim sedikitnya 300 warga sukarela menjadi tim sukses agar Rasidin menjadi kuwu. Salah satu strateginya, tidak membebankan ongkos politik ke kandidat.
”Di sini, kami mau urunan supaya kalau kuwunya terpilih enggak korupsi untuk balikin modal,” ungkapnya.
Menurut dia, ada kuwu korupsi untuk mengembalikan biaya politik yang mahal. Tidak jarang pula calon kuwu yang gagal terpilih menjadi stres hingga terjerat utang. Ia mencontohkan kandidat di salah satu desa yang harus pinjam sana sini karena menghabiskan Rp 9 miliar, tetapi kalah.
Dengan urunan, lanjutnya, timses punya rasa memiliki terhadap calon dan solid. ”Kami punya grup WA (Whatsapp). Di sana, kami melaporkan kalau ada yang kurang, warga saling bantu. Nama grupnya anti selingkuh supaya pendukung enggak pindah ke lain hati,” katanya tertawa.
Gerakan timsesnya terstruktur. Selain mengenakan pakaian hitam yang bermakna kelanggengan, mereka juga berkampanye langsung mendatangi warga. Dukungan dukun berpengaruh seperti Suma lewat atraksi ngobongmenyan ikut membantu saat masa kampanye.
”Kalau ke rumah warga, kami sampaikan kelebihan dan kekurangan calon. Misalnya, calon itu waktu jadi kuwu, jalan tetap rusak,” ucapnya.
Tanawi mengklaim tidak meminta imbalan, seperti jabatan, jika Rasidin terpilih. ”Saya hanya nitip, ingat anak yatim dan orang jompo. Kalau nanti melenceng dari perjanjian, saya berani ingatkan dia. Jangan pegatbalen, artinya kalau jadi (kuwu) jangan lupa warga,” ungkapnya.
Hodi, pengamat budaya Cirebon, mengatakan, tugas kuwu merupakan amanah berat. Di pundak mereka bersandar nyawa dan kesejahteraan banyak orang.
”Pemilihan kuwu rawan perselisihan warga, bahkan keluarga. Tawuran antarpendukung kerap terjadi rawan mengundang korban jiwa,” katanya.
Sukirno (48), warga Suranenggala, mengaku sudah hampir satu tahun tidak bertegur sapa dengan tetangganya karena berbeda pilihan soal calon kuwu.
”Memang begitu di sini. Nanti, perlahan setelah pemilihan baru bisa ngomong,” ucapnya.
Akan tetapi, tanggung jawab besar itu tidak lantas membuat jabatan ini dijauhi. Justru, banyak warga yang menginginkannya meski mengeluarkan banyak uang hingga memicu konflik. Bagi warga desa, jabatan kuwu bahkan jauh lebih penting ketimbang presiden sekalipun.
Kuwu dianggap jabatan seumur hidup. Walaupun tak lagi menjabat, mereka tetap disapa ”kuwu”.
Selain mendapatkan kehormatan di desa, kuwu juga berhak mengelola tanah desa atau bengkok dan dana desa lebih Rp 1 miliar setahun. Dengan iming-iming itu, banyak orang ngebet maju meski menghabiskan uang hingga tenaga.
Bupati Cirebon Imron Rosyadi bahkan mengatakan, ada daerah yang tidak rasional menjalankan strategi politiknya. Modal yang dikeluarkan jauh lebih besar ketimbang pendapatan sebagai kuwu.
”Ada yang sampai enam tahun (menjabat) tidak mencukupi (untuk mengembalikan modal),” katanya.
Sadar dengan kerawanan itu, Rasidin tidak ingin berubah. Langkah pertama setelah terpilih adalah meminta simpatisannya tetap di posko.
Kebiasaan konvoi merayakan kemenangan yang selama ini mudah memicu gesekan dengan massa kandidat lainnya. Saat pengambilan nomor urut di Desa Kapetakan, misalnya, massa saling lempar. Akibatnya, empat warga dan seorang polisi terluka terkena batu.
Pemimpin amanah
Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan, Pius Sugeng Prasetyo, berpendapat, masyarakat perlu menilai modal sosial dari para kandidat politik. Berbagai kebaikan dan hubungan baik kepada publik yang menjadi reputasi dan modal sosial tokoh itu tidak hadir begitu saja dalam waktu yang singkat.
”Kontestasi politik berbasis pada dukungan massa. Dukungan ini menjadi target yang harus dibangun sehingga modal sosial adalah hal yang fundamental. Tidak heran jika para kontestan akan membangun basis massa di berbagai elemen masyarakat dengan modal sosial,” ujarnya.
Pius melihat sebagian masyarakat juga lebih jeli memilih para calon pemimpin dengan melihat modal sosialnya. Namun, masih ada masyarakat dengan kesenjangan kecerdasan hingga minimnya informasi yang memengaruhi keputusannya dalam memilih para kontestan politik ini.
Baca juga : Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Jelang Pemilu Dinilai Sarat Kepentingan
Menurut Pius, Pemilihan Umum 2024 nanti bisa memperlihatkan sejauh mana masyarakat bisa menentukan pilihan dengan bijak. Harapannya, publik bisa menilai tokoh yang dipilih ini tidak sekadar dari ketenaran atau latar belakang keluarga, tetapi juga melihat modal sosial yang dia bangun selama ini.
”Kecerdasan masyarakat ini harus disadari oleh para kontestan saat menilai dari modal sosial para kontestan. Modal sosial ini tidak bisa dibangun instan meskipun dia adalah keturunan raja, keturunan penguasa, atau orang penting lainnya,” kata Pius.
Kini, setelah menang, Rasidin punya segudang tugas melayani warga. Dia tidak ingin memelihara pertengkaran yang hanya akan melanggengkan kemiskinan.
Paling mendesak, kata Rasidin, adalah masalah lingkungan, soal sampah. Dia menyebut, warga bisa bertengkar hanya gara-gara sulit membuang sampah.
Pengairan untuk sawah juga mudah bikin emosi dan butuh solusi. Dia ingin punya jalan keluar meminimalkan dampak kenaikan harga pupuk di sentra beras Indramayu itu.
”Saya kepingine (inginnya) kang (yang) amanah. Bawa masyarakat sejahtera,” kata Rasidin.
Kisah dukun politik dan pesona tukang es dari Cirebon bisa jadi pelajaran menuju versi demokrasi terbaik negeri ini. Ada banyak kerikil tajam. Namun, saat bisa melewatinya, semua seharusnya demi kesejahteraan warga.