Selain karena faktor cuaca, bencana juga dipicu kerusakan lingkungan. Kerusakan hutan, turunnya kualitas sungai, dan tata kelola kawasan yang keliru menyebabkan bencana semakin sering terjadi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Banjir bandang menerjang Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh tenggara, Aceh, Senin (20/11/2023) dini hari. Sejumlah rumah, bangunan publik, dan lahan pertanian rusak. Sementara arus transportasi terhambat.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh Selatan Zainal, Selasa, menuturkan hujan lebat dalam beberapa hari membuat Sungai Sawang, Tapaktuan, Sungai Kluet, dan Sungai Lawe Soraya meluap. Air luapan itu dengan cepat menerjang permukiman penduduk dan jalan nasional.
”Tinggi air luapan banjir diperkirakan 50 cm hingga 2 meter. Nyaris menyeluruh di Aceh Selatan terjadi banjir,” kata Zainal.
Zainal mengatakan, banjir menggenangi 13 kecamatan, yaitu Trumon Timur, Trumon Tengah, Trumon, Kota Bahagia, Tapaktuan, Samadua, Kluet Utara, Kluet Tengah, Kluet Timur, Kluet Selatan, Pasie Raja, Bakongan, dan Bakongan Timur.
”Data sementara yang kami peroleh sebanyak 1.806 keluarga atau 6.304 jiwa warga dalam 13 kecamatan terdampak banjir,” kata Zainal.
Ketinggian air bervariasi di permukiman warga bervariasi. Di sebagian lokasi ketinggian air nyaris menyentuh atap rumah warga. Meski demikian, air surut dengan cepat.
Zainal mengatakan, pihaknya masih mendata potensi kerugian akibat banjir tersebut. Namun, banjir telah menyebabkan belasan rumah warga rusak, termasuk beberapa kendaraan roda empat.
Pada Kamis (16/11/2023) seorang anak berusia 2,5 tahun, warga Desa Lhok Raya, Kecamatan Trumon Tengah, meninggal setelah terseret arus banjir.
Banjir yang terjadi pada Selasa menyisakan lumpur tebal di jalan umum dan permukiman warga. Tidak sedikit rumah yang berkonstruksi kayu mengalami kerusakan. Aktivitas sekolah diliburkan karena sekolah ikut tergenang.
Intensitas banjir yang terjadi di Aceh Tenggara sepekan ini membuktikan bahwa kerusakan hutan semakin masif terjadi di Aceh Tenggara.
Selain Aceh Selatan, banjir juga terjadi di Aceh Tenggara. Namun, banjir yang terjadi pada Senin tidak terlalu parah dibanding banjir yang terjadi pada Senin (13/11/2023).
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Ilyas dalam keterangan tertulis mengatakan, banjir di Aceh Tenggara pada pekan lalu menyebabkan dua orang meninggal, yakni warga Desa Puntung, Kecamatan Semadam. Di samping itu, empat orang mengalami luka-luka.
”Sebanyak 1.804 keluarga atau 6.571 orang mengalami dampak banjir,” kata Ilyas.
Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Afifuddin Acal mengatakan, banjir yang melanda Kabupaten Aceh Tenggara dalam sepekan terakhir ini membuktikan bahwa kerusakan tutupan hutan semakin parah dan kritis.
Baik itu akibat penebangan liar, perkebunan sawit, maupun pembukaan jalan baru, seperti pembangunan jalan tembus dari Jambur Latong, Kutacane, sampai perbatasan Sumatera Utara.
Afifuddin mengatakan, kabupaten yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir, maupun longsor.
Selain itu, Walhi Aceh juga menilai pemicu banjir juga akibat adanya pembukaan jalan baru yang dapat memicu pembalakan liar serta konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya. Dengan adanya jalan tersebut, para perambah hutan semakin mudah mengakses kawasan hutan untuk menebang kayu.
”Intensitas banjir yang terjadi di Aceh Tenggara sepekan ini membuktikan bahwa kerusakan hutan semakin masif terjadi di Aceh Tenggara,” kata Afifuddin.
Sebelumnya, dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah, Teuku Muhammad Zulfikar, mengatakan, selain karena faktor cuaca, bencana juga dipicu kerusakan lingkungan. Kerusakan hutan, turunnya kualitas sungai, dan tata kelola kawasan yang keliru menyebabkan bencana semakin sering terjadi.