Aksara Manado Memperkenalkan Aksara bagi Anak-anak di Bunaken
Pendidikan di Bunaken, Manado, sebuah kampung di ujung selatan pulau destinasi wisata kenamaan itu memprihatinkan.
Farlan Erlangga (22) sungguh sabar. Dua bocah di depannya, Fatin (8) dan Dewi (13), tak kunjung hafal urutan alfabet. Meski sudah urut, berkali-kali mereka salah menerka huruf apa yang akan Farlan tulis di potong demi potong kertas segi empat.
”Habis M apa?” kata Farlan di rumah di Lingkungan 5 Kelurahan Bunaken, yang terletak di pucuk selatan Pulau Bunaken, Sulawesi Utara, Sabtu (18/11/2023) sore. Fatin kemudian memekik ngawur, ”O! U!” Seruannya bikin Dewi latah menyebut jawaban yang salah pula.
Gara-garanya, Farlan, ketua komunitas literasi bernama Aksara Manado, meminta mereka melantangkan urutan huruf dari A, lagi dan lagi. Namun, dalam prosesnya, Dewi bahkan masih kebingungan di urutan enam alfabet pertama, sedangkan Fatin agaknya sulit sekali mengingat-ingat bahwa ada huruf N di antara M dan O.
Maka, setelah kartu alfabet itu selesai dengan susah payah, Farlan membawa Fatin dan Dewi ke pantai di sisi selatan permukiman yang dikenal sebagai Kampung Islam itu. Ditemani dua rekan sekomunitasnya yang bernama Saskia Kirana (20) dan Nurfadilah Thamrin (21), Farlan mengajak pula beberapa anak lainnya yang berusia SD hingga SMP.
Baca juga: Upaya Penurunan Buta Aksara Tidak Berhenti
Di pinggir laut yang memisahkan Pulau Bunaken dari Manado daratan itu, sebuah kelas baca-tulis informal pun digelar. Program yang dinamai Titik Nol Literasi Kepulauan itu baru berlangsung tujuh pekan terakhir setiap Sabtu.
Para bocah dibagi menjadi tiga kelompok belajar berdasarkan kemampuan baca mereka. Saskia menanggungjawabi lima anak yang sudah lancar baca dan tulis, sementara Nurfadilah membimbing dua anak yang sudah tahu huruf tetapi belum lancar membaca. Adapun Farlan menangani tiga anak yang masih setengah mati mengenali alfabet.
Masing-masing diberi satu meja lipat, tetapi ada pula yang harus berbagi karena jumlah meja tak cukup. Kendati demikian, tiga kelas di atas pasir pantai yang hanya terpisah beberapa belas langkah itu berlangsung asyik.
Farlan, misalnya, mengenalkan huruf kepada Dewi, Fatin, dan Arif (8) lewat lagu dan guratan di papan tulis putih yang kemudian mereka salin di buku. Keseruan berkembang ketika ketiga anak bekerja sama cepat-cepat menemukan kartu bertuliskan alfabet yang diminta Farlan. Mereka juga bermain cerdas cermat alfabet dengan kartu itu.
”Berdasarkan observasi kami, kebanyakan anak memang belum tahu membaca. Huruf saja ada yang belum tahu. Jadi di periode pertama program selama tiga bulan, kami akan fokus di situ. Syukur, sebulan terakhir sudah ada peningkatan,” kata Farlan.
Sementara itu, Nurfadilah yang duduk dekat Farlan mengajak Al Ghazali (9) dan Ezhar (8) membaca buku anak-anak. Sembari bercanda, mereka juga bermain tebak kata, di mana kedua murid harus melengkapi kata seperti ”batu” atau ”pantai” dengan huruf-huruf yang dihilangkan.
Pulau Bunaken hanya punya dua SD, yaitu SD Negeri 01 Bunaken dan SD GMIM Alungbanua.
Sebaliknya, di kelas khusus anak-anak yang lancar baca-tulis, suasana lebih serius. Saskia membaca kalimat dari sebuah buku cerita, sementara murid-murid menyalinnya. ”Aku tadi dari kebunnya Ungke melihat burung. Lalu aku menari karena keindahannya,” seru Saskia.
Ketika tulisan mereka dicek, terungkaplah bahwa anak-anak yang duduk di kelas 4 SD hingga 1 SMP itu belum mengerti ketentuan penggunaan huruf kapital dan tanda baca dalam menulis. ”Rata-rata anak di sini sudah sekolah. Miris saat tahu usia SMP saja tidak mengerti huruf kapital. Itu jadi tantangan terbesar,” kata Saskia.
Setelah 1,5 jam, sesi belajar hari itu ditutup dengan mewarnai. Stres dari pembelajaran informal namun intensif itu pun mereda. Tak lupa di akhir kelas, tiga pengajar sukarela yang adalah alumni dan mahasiswa aktif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado itu membagikan makanan ringan, hadiah atas kehadiran mereka di kelas pekan itu.
Baca juga: Buta Aksara Si Penerus Bangsa
Otokritik
Program Titik Nol Literasi Kepulauan, kata Farlan, lahir dari keresahan Aksara Manado akan situasi di kepulauan, termasuk Bunaken. Secara administratif, pulau masih masuk wilayah Kota Manado, dan bahkan menjadi destinasi pariwisata kebanggaannya. Namun, di tempat yang kerap didatangi turis asing berduit itu, masih ada anak yang bahkan tak tahu huruf.
”Itu, kan, daerah superprioritas pariwisata. Ada peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar. Namun, bagaimana kalau anak-anak di sana tak bisa menangkap peluang itu? Mereka, kan, masa depan Bunaken. Masyarakat tidak bisa menjadi tuan di rumah sendiri,” kata Farlan, sarjana Manajemen Pendidikan Islam IAIN.
Pada tahun ajaran 2022/2023, Manado punya 226 SD. Delapan di antaranya di Kecamatan Bunaken Kepulauan yang terbagi menjadi tiga pulau, yakni Bunaken, Manadotua, dan Siladen. Pulau Bunaken hanya punya dua SD, yaitu SD Negeri 01 Bunaken dan SD GMIM Alungbanua.
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, selama 2018-2023 tidak ada satu pun siswa yang putus sekolah di Kecamatan Bunaken Kepulauan meski ada 17 yang tak naik kelas. Namun, kenyataannya berbeda di Kampung Islam Pulau Bunaken.
Sebagai contoh, ada bocah lelaki bernama Mang (13) yang sudah berhenti sekolah sejak kelas 2 SD dan hingga kini buta huruf. Sementara itu, Dewi, yang ikut kelas alfabet bersama Farlan, kini sudah kelas 6 meski tak hafal huruf. Mereka tak terdata Kemendikbudristek karena bersekolah di Madrasah Ibtidayah (MI) Al Khairaat Bunaken.
Menurut Ketua Lingkungan 5 Kelurahan Bunaken, Esly Sikome, meski mayoritas guru MI Al Khairaat hanya lulusan SMA, para orangtua di Kampung Islam lebih suka menyekolahkan anak-anaknya di sana. Mereka khawatir pendidikan agama tak terpenuhi di SDN 01 Bunaken yang berada di Lingkungan 3 Kelurahan Bunaken. Lingkungan itu disebut juga Kampung Kristen karena mayoritas warganya beragama Kristen.
Karena itulah, Aksara Manado menginisiasi program Titik Nol Literasi Kepulauan yang sebenarnya telah tercetus sejak 2021. Sebelas anggota bahkan didedikasikan untuk mengurus program itu, sementara yang lainnya mengurus program lainnya yang berorientasi pada diskusi mahasiswa.
Menurut Farlan, para mahasiswa IAIN Manado yang membentuk Aksara Manado pada 2019 sebenarnya tak pernah merencanakannya menjadi organisasi sosial. ”Selama tiga tahun terakhir, asupan literasi ternyata hanya kami berikan kepada orang-orang yang sebenarnya sudah punya akses lebih ke pendidikan, seperti mahasiswa. Kenapa kami tidak coba ke anak-anak yang memang kesulitan mengakses pendidikan?” katanya.
Baca juga: Menghapus Lingkaran Buta Aksara
Bermanfaat
Farlan menyebut gerakan mereka di Bunaken terinspirasi antara lain oleh filsuf Brasil, Paulo Freire. Tingginya angka buta huruf dan kualitas pendidikan yang tak buruk akan menjadi sumber berbagai masalah bangsa seperti kebodohan, kemiskinan, bahkan korupsi.
”Jadi, literasi yang torang pahami secara umum adalah transaksi pemikiran, mentransaksikan ilmu pengetahuan. Titik Nol sendiri tujuannya simpel, yaitu mengampanyekan minat baca dan mengembangkan kebutuhan orang terhadap pendidikan,” kata Farlan yang baru diwisuda dua bulan lalu.
Maka, sejak Oktober 2023, setiap Sabtu ada tiga sampai enam pengurus program Titik Nol Literasi Kepulauan yang berangkat ke Bunaken untuk mengajar secara sukarela secara bergantian. Mereka mengorbankan waktu akhir pekan yang sejatinya bisa digunakan berleha-leha untuk mengajar 18 anak bimbing di Kampung Islam, seperti dikatakan Saskia.
”Torang bisa mendapatkan pendidikan layak. Kenapa tidak berbagi saja dengan anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan layak atau kurang? Setidaknya, walaupun torang belum punya uang yang banyak ataupun pendidikan yang sangat tinggi, bisa berguna bagi manusia lain,” kata mahasiswi Ilmu Al Quran dan Tafsir IAIN Manado itu.
Setelah tiga bulan, Aksara Manado akan mengevaluasi capaian program mereka dari perkembangan kemampuan baca tulis anak-anak. Jika belum mencapai target sebagaimana telah disusun dalam rencana induk, mereka akan melanjutkan program di Pulau Bunaken.
Maka, sejak Oktober 2023, setiap Sabtu ada tiga sampai enam pengurus program Titik Nol Literasi Kepulauan yang berangkat ke Bunaken untuk mengajar secara sukarela secara bergantian.
Seperti Farlan dan Saskia, Nurfadilah pun tak keberatan. ”Kalau bisa hari libur saya bermanfaat untuk orang lain, kenapa tidak? Harapannya, anak-anak tentunya sudah harus bisa baca tulis, termasuk paham penggunaan titik, koma, dan huruf kapital,” kata mahasiswi Jurusan Manajemen Pendidikan Islam IAIN itu.
Di sisi lain, anak-anak juga selalu tak sabar menantikan kedatangan kakak-kakak Aksara Manado. Dewi dan Fatin, misalnya, senang karena mereka bisa belajar dengan cara yang seru dan mendapatkan makanan ringan. Para pengajar sukarela juga senantiasa memberi kata-kata afirmatif yang memotivasi, seperti ”Pintar!” atau ”Jago!”.
Wahyu (10), satu dari segelintir anak Kampung Islam yang disekolahkan di SDN 01 Bunaken, sudah bisa membaca dan menulis, tetapi ia selalu hadir ikut kelas Titik Nol Literasi Kepulauan atas kemauan sendiri. ”Kebetulan kita so (sudah) di pantai, jadi langsung gabung. Nda (tidak) pernah bilang pa (pada) orangtua,” katanya.
Kehadiran Aksara Manado di Pulau Bunaken pun disambut baik oleh Esly, ketua Lingkungan 5 Kelurahan Bunaken. ”Mudah-mudahan mereka semua (anak-anak) bisa tahu baca karena di sini daerah pariwisata. Sangat tidak masuk akal kalau anak-anak di sini tidak bisa baca,” ujarnya.
Wakil Wali Kota Manado Richard Sualang juga berterima kasih kepada anak-anak muda yang berinisiatif ikut mengatasi masalah kota melalui kegiatan sosial. Namun, kualitas pendidikan anak-anak, termasuk di Bunaken, tetaplah tanggung jawab Pemkot Manado. Keterpanggilan Aksara Manado seharusnya juga menggugah kesadaran pemerintah daerah.