Buta Aksara Si Penerus Bangsa
Tujuh dekade setelah proklamasi kemerdekaan, anak-anak di Indonesia masih belum terbebas dari belenggu buta aksara. Persoalan ini tersebar di semua daerah, terutama di bagian timur Indonesia.
Tujuh dekade setelah proklamasi kemerdekaan, anak-anak di Indonesia masih belum terbebas dari belenggu buta aksara. Persoalan ini tersebar di semua daerah, terutama di bagian timur Indonesia. Peran keluarga hingga peningkatan akses ke layanan pendidikan dasar diperlukan sebagai solusi pemberantasan buta huruf.
Buta aksara atau buta huruf masih dialami oleh sebagian anak-anak di Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2017, sebanyak 10,53 persen anak-anak pada rentang usia 5-17 tahun masih mengalami buta aksara.
Klasifikasi usia anak ini diambil berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang memberikan kategori anak sebagai laki-laki atau perempuan yang belum berusia 18 tahun.
Buta aksara atau buta huruf masih dialami oleh sebagian anak-anak di Indonesia.
Secara persentase, angka buta aksara di Indonesia memang terlihat kecil. Dari 10 anak, satu di antaranya belum bisa baca dan tulis. Namun, kondisi ini tetap menjadi lampu kuning bagi Indonesia. Pasalnya, buta aksara pada anak-anak ditemukan pada sejumlah daerah di Indonesia.
Jika melihat dari sebaran wilayah, setiap provinsi di Indonesia tak luput dari persoalan buta aksara. Bahkan, persoalan ini masih dialami oleh ibu kota negara. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 7,67 persen anak-anak di Jakarta masih mengalami buta huruf. Jakarta menjadi daerah dengan angka buta huruf terendah dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia.
Angka buta huruf tertinggi didominasi oleh daerah-daerah di kawasan timur Indonesia. Secara persentase, Papua menjadi provinsi dengan angka buta huruf anak-anak terbesar di Indonesia yang mencapai 27,9 persen. Persentase ini lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya, seperti Nusa Tenggara Barat (15,15 persen), Nusa Tenggara Timur (14,01 persen), maupun Maluku (10,53 persen).
Pada daerah Papua, persentase buta huruf antara anak laki-laki dan anak perempuan cenderung imbang. Sebanyak 28,79 persen anak perempuan di ujung timur Indonesia ini masih belum mengenal huruf. Persentase ini sedikit lebih besar dibandingkan dengan anak laki-laki di Papua yang juga buta huruf (27,09 persen).
Kondisi serupa juga dialami oleh Sulawesi Barat yang menjadi provinsi kedua setelah Papua dengan persentase anak buta huruf terbesar di Indonesia. Sebanyak 16,89 persen anak-anak di daerah ini masih mengalami buta huruf.
Angka buta huruf tertinggi didominasi oleh daerah-daerah di kawasan timur Indonesia.
Berbeda dengan Papua, persentase anak laki-laki di Sulawesi Barat yang mengalami buta aksara lebih besar jika dibandingkan dengan anak perempuan. Menurut data BPS, Sebanyak 18,11 persen anak laki-laki di wilayah ini mengalami buta huruf, sedangkan anak perempuan sebanyak 15,58 persen.
Keadaan ini juga dialami oleh daerah lainnya di kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku Utara. Dari 10 daerah dengan persentase anak buta huruf tertinggi di Indonesia, sembilan di antaranya berasal dari Indonesia Timur.
Keadaan sebaliknya dialami oleh daerah-daerah di Indonesia bagian barat. Dari 10 daerah dengan angka buta huruf terendah di Indonesia, delapan di antaranya berasal dari daerah-daerah di Indonesia bagian barat, baik di Pulau Jawa maupun Sumatera. Kondisi ini menggambarkan adanya suatu persoalan mendasar dalam pemerataan pendidikan di Indonesia.
Ketimpangan semakin terlihat jika membandingkan angka buta huruf anak Indonesia di perkotaan dan perdesaan. Menurut catatan BPS, Jumlah angka buta huruf di perdesaan (12,3 persen) lebih besar dibandingkan dengan angka buta huruf di perkotaan (8,84 persen).
Ketimpangan terbesar terjadi di Papua dan Papua Barat. Di daerah Papua, sebesar 31,89 persen anak-anak di perdesaan masuk pada kategori buta aksara. Persentase ini jauh lebih besar dibandingkan dengan anak-anak di perkotaan dengan angka buta huruf sebesar 14,13 persen.
Ketimpangan semakin terlihat jika membandingkan angka buta huruf anak Indonesia di perkotaan dan perdesaan.
Hal senada juga dialami oleh Papua Barat. Persentase anak buta aksara di perdesaan pada daerah ini mencapai 18,07 persen atau lebih besar dibandingkan dengan perkotaan yang mencapai 10,98 persen.
Usia dini
Menilik klasifikasi usia, angka buta aksara terbesar adalah anak-anak yang berusia antara lima hingga enam tahun. Pada kategori usia ini, masih terdapat 56,34 persen anak-anak yang belum dapat membaca.
Buta aksara juga masih dialami oleh anak pada kategori usia berikutnya. Kategori usia 7-12 tahun, misalnya, masih terdapat 3,17 persen anak Indonesia yang masih mengalami buta aksara. Kondisi serupa juga masih terjadi pada anak usia 13-15 tahun (0,39 persen), dan 16-17 tahun (0,15 persen).
Menurut analisis dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, besarnya persentase anak-anak usia 5-6 tahun yang belum dapat membaca disebabkan belum semua anak pada kategori usia ini masuk bangku sekolah. Akibatnya, anak-anak belum belajar mengenal huruf sehingga berdampak pada minimnya kemampuan membaca.
Jika melihat data BPS, anak-anak usia 5-6 tahun memang belum banyak yang mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD). Pendidikan anak usia dini yang dimaksud adalah pada jalur pendidikan formal (taman kanak-kanak), ataupun nonformal (kelompok bermain).
Secara nasional 49,39 persen anak-anak pada kategori usia ini telah mencicipi pendidikan usia dini. Artinya, masih terdapat sekitar separuh anak-anak di Indonesia pada usia 5-6 tahun yang tidak merasakan pendidikan usia dini.
Jika melihat data BPS, anak-anak usia 5-6 tahun memang belum banyak yang mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD).
Kondisi ini terjadi secara merata pada daerah perkotaan dan perdesaan. Pada daerah perkotaan, sekitar separuh (46,38 persen) anak usia 5-6 tahun tidak merasakan pendidikan usia dini. Sementara pada daerah perdesaan, sebesar 55,06 persen anak-anak pada kategori usia yang sama juga belum masuk pendidikan anak usia dini.
Jika melihat dari sebaran daerah, Papua menjadi provinsi dengan angka partisipasi pendidikan anak usia dini terendah di Indonesia. Hanya 14,91 persen anak-anak usia 5 hingga 6 tahun di Papua yang mencicipi pendidikan PAUD.
Artinya, sekitar 9 dari 10 anak di Papua pada kategori usia ini tidak mencicipi pendidikan usia dini. Kondisi ini berbanding lurus dengan banyaknya anak-anak di Papua yang tidak dapat membaca dan menulis.
Peran keluarga
Buta huruf yang dialami oleh anak-anak di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan literasi bagi generasi penerus masih menjadi pekerjaan rumah utama bagi Indonesia. Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak, Santi Kusumaningrum, mengatakan, terdapat beberapa hal yang memengaruhi tingkat literasi pada anak, salah satunya adalah lingkungan keluarga.
”Literasi pada anak itu juga banyak dipengaruhi atau berasosiasi dengan pendidikan ibunya. Lalu berasosiasi juga dengan status sosial ekonomi rumah tangga tempat di mana anak tinggal,” kata Santi saat ditemui di Kantor PUSKAPA, Depok, Senin (22/7/2019).
Dalam lingkungan keluarga, orangtua memiliki peran penting untuk memberikan stimulus atau pendidikan bagi anak untuk dapat membaca. Stimulus ini dapat diberikan sesuai kesiapan anak untuk menerima pelajaran dari orangtua.
Buta huruf yang dialami oleh anak-anak di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan literasi bagi generasi penerus masih menjadi pekerjaan rumah utama bagi Indonesia.
Menurut Santi, selain keluarga, akses pada layanan pendidikan dasar juga turut memengaruhi tingkat literasi pada anak. Akses layanan pendidikan dapat berupa fasilitas pendidikan yang dekat dengan permukiman. Dalam cakupan yang lebih luas, juga diperlukan ekosistem yang dapat membantu orangtua dalam memenuhi fasilitas pendidikan bagi anak.
Akses layanan pendidikan ini sebenarnya telah memperoleh perhatian khusus dari pemerintah, khususnya dalam hal pemberantasan buta huruf. Hal ini tertuang melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2006 yang mengatur tentang pelaksanaan gerakan nasional percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan pemberantasan buta aksara.
Dalam aturan ini, prioritas percepatan pemberantasan buta aksara diberikan kepada penduduk berusia 15 hingga 44 tahun. Target gerakan ini adalah pemberantasan buta huruf hingga tingkat kabupaten/kota.
Program ini berhasil menurunkan angka buta huruf di Indonesia. Pada 2004, buta aksara dari berbagai usia di Indonesia mencapai 10,2 persen dan turun pada tahun 2018 menjadi 2,07 persen.
Namun, persoalan buta aksara masih tersisa pada kategori anak. Berbagai upaya lainnya perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan buta huruf bagi anak-anak di Indonesia. Salah satunya adalah dengan cara menggunakan bahasa daerah untuk mengajarkan anak membaca. Upaya ini dapat diterapkan karena bahasa yang digunakan sudah tidak asing bagi anak-anak di setiap daerah.
Berbagai badan dunia, seperti UNESCO dan Unicef, hingga kini juga masih menaruh perhatian terhadap persoalan buta huruf. Hal ini menggambarkan pentingnya upaya pemberantasan buta huruf bagi Indonesia, khususnya bagi anak-anak. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)