Saat Ayah dan Anak Sama-sama Jadi Murid di Sekolah
Hasanuddin (43) dan anaknya, Syakir (8), sama-sama berstatus sebagai sesama peserta didik. Pendidikan tak mengenal batas usia.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Hasanuddin (43) berada di antara puluhan anak dan remaja berseragam sekolah yang memadati lapangan upacara Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Sarbini. Ketua Majelis Ulama Indonesia Desa Sukamanah itu juga bagian dari peserta didik di sekolah nonformal tersebut sekitar enam tahun belakangan.
Jumat (17/11/2023) pagi, mereka ramai-ramai mengikuti acara peresmian gedung sekolah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sarbini yang baru. Gedung dimaksud terletak di Desa Sukamanah, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sukamanah berada lebih kurang 67 kilometer dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, atau 108 kilometer dari Jakarta.
Hasanuddin, yang datang mengenakan jas, tak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Berdiri di tengah lapangan upacara, ia menyapu pandangan ke deretan bangunan baru yang berdiri apik di pinggiran sawah. Sambil berjalan, ia melihat dari dekat setiap ruangan yang sudah dilengkapi furnitur.
Hadirnya gedung baru seakan menghidupkan kembali jalan mimpi Hasanuddin serta lebih kurang 600 siswa lain. Mimpi mereka sempat terbenam lantaran gedung lama rusak berat akibat gempa bermagnitudo 5,6 yang mengguncang Cianjur pada 21 November 2022. Gedung baru itu dibangun dari bantuan pembaca harian Kompas dan Kompas.id melalui Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK).
”Saya meski tua tapi tetap punya mimpi. Di sini saya belajar ilmu ekonomi biar bisa usaha. Saya juga mau belajar bahasa asing,” ujarnya.
Hampir enam tahun terakhir ia menjadi murid di sekolah itu. Tiga tahun pertama ia mengejar Paket B atau setara SMP, kemudian tiga tahun belakangan menempuh Paket C atau setara SMA.
Untuk murid yang sudah dewasa, seperti Hasanuddin, pihak sekolah menyebutnya kelas executive. Dalam seminggu mereka tiga kali mengikuti pembelajaran tatap muka, yakni pada Jumat, Sabtu, dan Minggu. ”Jadi bukan sekadar datang ujian untuk dapat ijazah paket,” ucapnya.
Bagi Hasanuddin, pendidikan tidak mengenal usia. Ia tidak merasa gengsi kendati di PKBM Sarbini juga ada anaknya, Syakir Al Gozali (8), yang kini sedang mengenyam pendidikan Paket A. ”Saya dan anak sama-sama jadi murid di sini,” ucapnya.
Selain Hasanuddin dan anaknya, Syakir, ada juga Wiliamsyah (15), siswa yang kini kelas IX Paket B. Wiliamsyah ingin terus melanjutkan pendidikan Paket C di PKBM Sarbini. Setelah tamat nanti, ia berencana mengikuti seleksi masuk Tentara Nasional Indonesia. ”Itu mimpi saya,” ucap Wiliamsyah.
Dengan belajar di PKBM Sarbini, Wiliamsyah mengaku semakin lancar berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Dalam obrolan dengan Kompas, Wiliamsyah dibantu Fauzan (11) menerjemahkan beberapa penggalan kalimat yang diucapkan Wiliamsyah dalam bahasa Sunda.
Saya meski tua tapi tetap punya mimpi. Di sini saya belajar ilmu ekonomi biar bisa usaha. Saya juga mau belajar bahasa asing. (Hasanuddin)
Untuk menyiapkan diri mengikuti tes masuk tentara, Wiliamsyah mengaku rajin berolahraga. Ia bisanya lari. Kini, di sekolah mereka sudah ada lapangan futsal, membuat kans Wiliamsyah mengolah raganya semakin besar. Lapangan itu juga bagian dari proyek sekolah baru yang dibangun Yayasan DKK.
Kepala Sekolah PKBM Sarbini Ema Hermawati mengatakan, PKBM Sarbini mulai beroperasi tahun 2014. Lembaga pendidikan nonformal itu menyelenggarakan pembelajaran mulai dari pendidikan anak usia dini, Paket A, Paket B, dan Paket C. Ema dan suaminya, Indra Surya Pradana, yang mendirikan PKBM Sarbini.
Keberadaan PKBM itu untuk menjawab kebutuhan masyarakat lantaran tak ada SMP dan SMA di desa berpenduduk sekitar 11.000 jiwa itu. Setelah tamat SD, banyak anak memilih bekerja. Tak sedikit perempuan remaja yang menikah. Rata-rata usia sekolah sekitar enam tahun. Kehadiran PKBM Sarbini mendongkrak usia sekolah menjadi di atas tujuh tahun.
Pelayanan pendidikan di PKBM Sarbini tidak dipungut biaya. Alasannya, menurut Ema, banyak masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Dari sekitar 2.700 keluarga di Desa Sukamanah, 400 di antaranya tergolong dalam keluarga miskin. Mereka bekerja serabutan dengan penghasilan tidak menentu.
Dengan pendidikan gratis dan tanpa batas usia, banyak orang tertarik. Peserta didik mulai dari usia 5 tahun hingga 58 tahun. ”Makanya jangan heran kalau banyak orangtua dan anak yang sama-sama menjadi murid di sekolah ini,” kata Ema.
Ema merasa beban dirinya untuk memajukan pendidikan di sekolah itu semakin berat mengingat begitu besar perhatian yang diterima. Salah satunya adalah kehadiran gedung baru sumbangan pembaca harian Kompas dan Kompas.id. Nilai proyek itu Rp 1,9 miliar. ”Itu yang selalu kami syukuri dan kami akan berusaha menjadi lebih baik,” ucapnya.
Bangunan baru itu terdiri dari 6 ruang kelas, 1 ruang laboratorium komputer, 1 ruang guru dan ruang ketua yayasan, 1 ruang perpustakaan, mushala, dan 4 unit toilet. Setiap ruangan dilengkapi dengan furnitur. Ada juga lapangan upacara dan lapangan olahraga.
Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra dalam acara peresmian itu mengatakan, untuk memajukan literasi di sekolah tersebut, harian Kompas akan memberikan beasiswa literasi digital kepada semua guru dan pegawai. Bentuknya adalah akses gratis selama satu tahun untuk berlangganan Kompas.id, kanal digital harian Kompas.
Kompas.id menerapkan sistem berbayar bagi setiap pembaca yang ingin menikmati sajiannya. Ada koran Kompas digital yang tersedia setiap pagi, juga artikel, foto, video, arsip, dan buku yang bisa diperbarui setiap waktu. Pilihan berlangganan Kompas.id merupakan bentuk dukungan terhadap jurnalisme berkualitas di Indonesia.
Mendengar beasiswa literasi digital itu, Penjabat Gubernur Jawa Barat Bey T Machmudi yang hadir meresmikan gedung PKBM Sarbini memberikan apresiasi dengan tepukan tangan. Bey pun berpesan agar berbagai fasilitas yang diberikan dapat memupuk semangat belajar para siswa sehingga semakin berdaya saing.
Ketua Yayasan DKK Gesit Ariyanto menambahkan, PKBM Sarbini dipilih lantaran menjadi salah satu lembaga pendidikan yang berdasarkan penilaian sangat membutuhkan bantuan. Syarat administrasi yang ditetapkan Yayasan DKK pun terpenuhi, seperti status kepemilikan lahan.
Secara simbolis, Gesit menyerahkan gedung yang baru itu kepada Ema. Gedung itu diharapkan menjadi ruang bagi masyarakat Desa Sukamanah meraih mimpi mereka, baik generasi muda maupun yang sudah berumur. Seperti Hasanuddin dan anaknya, Syakir, yang sama-sama berstatus sebagai sesama peserta didik.