Jelang Penangkapan Ikan Terukur, Pengusaha Perikanan Bitung Minta PNBP Ditekan
Para pengusaha pengolahan ikan di Bitung menuntut konsistensi regulasi perikanan tangkap. Namun, mereka berharap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 5-10 persen terhadap hasil tangkapan dapat dikurangi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Para pengusaha pengolahan ikan di Bitung, Sulawesi Utara, menuntut konsistensi regulasi perikanan tangkap oleh pemerintah pusat, dimulai dari penerapan Penangkapan Ikan Terukur. Mereka akan taat pada aturan, tetapi meminta pemerintah menurunkan besaran penerimaan negara bukan pajak yang memberatkan.
Abrizal Ang, salah satu pengusaha pengolahan ikan di Bitung, menyebut pelaku usaha mendukung Penangkapan Ikan Terukur (PIT) sebagai cetak biru usaha yang berkepanjangan. Ia berharap kebijakan yang berpusat pada penerapan kuota tangkapan tahunan demi melindungi stok 12,01 juta ton ikan ini tak berubah setiap kali menteri atau presiden berganti.
Namun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yakni 5 persen dari total tangkapan untuk kapal di bawah 60 gros ton (GT) dan 10 persen bagi kapal di atas 60 GT, ia sebut terlampau besar. ”Kalau rate-nya sudah 10 persen, gimana kita mau bersaing dengan dunia luar?” kata Abrizal via telepon, Jumat (17/11/2023).
Selaku eksportir ikan olahan, Abrizal mencontohkan, harga produk asal Bitung umumnya sulit bersaing dengan produk Vietnam dan Filipina di Eropa akibat tarif masuk sekitar 20 persen yang disebabkan ketiadaan perjanjian dagang antara Indonesia dan Uni Eropa. Keadaan itu diperburuk PNBP 5-10 persen ketika tangkapan didaratkan.
Harga acuan ikan (HAI) yang ditetapkan Keputusan Menteri KP Nomor 140 Tahun 2023 di Bitung juga disebut terlalu tinggi, yaitu Rp 15.000 per kilogram untuk cakalang dan Rp 17.700 per kg untuk madidihang (tuna sirip kuning) sehingga dikeluhkan nelayan. Akan tetapi, kata Abrizal, HAI tak akan menjadi masalah jika besaran PNBP ditekan.
”Kalau PNBP bisa ditahan ke angka 2-3 persen, saya rasa banyak pelaku usaha yang akan setuju. Kalau 5-10 persen, itu sudah jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain,” kata Abrizal, seraya menambahkan bahwa negara lain, seperti China, Norwegia, dan Vietnam, justru memberikan subsidi bagi pengusaha perikanan tangkap.
Negara masih dapat memperoleh pendapatan dari pungutan lain, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penghasilan (PPh). Ikan kaleng, misalnya, dikenai PPN sebesar 11 persen dari harga jual sehingga pendapatan negara sudah cukup besar.
Lagi pula, lanjut Abrizal, PNBP yang ditarik tidak kembali ke daerah dalam bentuk fasilitas infrastruktur ataupun bantuan bagi nelayan. ”Tolong ciptakan iklim usaha yang baik. Perjuangkan kesejahteraan nelayan dan kemakmuran perikanan Indonesia. Jangan hanya PNBP,” kata Abrizal.
Ketua Ikatan Pengusaha Perikanan (IPP) Sulut yang berbasis di Bitung Budi Wahono juga mengatakan, para nelayan rawan rugi ketika mencari ikan di laut. Dengan modal ratusan juta, termasuk untuk bahan bakar minyak, mereka belum tentu bisa membawa pulang tangkapan dengan nilai yang lebih besar daripada biaya produksi.
”Saat mereka melaut kemudian rugi, itu pun tetap kena PNBP. Mungkin KKP harus ada hitung-hitungan titik tengahnya, berapa (volume tangkapan) yang tidak dikenai PNBP,” kata Budi.
Saat mereka melaut kemudian rugi, itu pun tetap kena PNBP.
Ketua Bidang Industri Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hendra Sugandhi mengatakan, rata-rata profit kapal perikanan tangkap tiap kali mendaratkan ikan adalah 20 persen dari total nilai tangkapan. Jika dikenai PNBP 10 persen, profit tersebut dipangkas setengahnya.
Selain PNBP, nelayan juga ditekan oleh perubahan harga bahan bakar minyak yang naik sejak akhir 2022. Hendra menduga kedua faktor ini menyebabkan nelayan enggan melaut sehingga jumlah kapal yang beroperasi menurun.
Hal ini tampak juga dalam penerimaan PNBP yang sejak tahun ini diganti dari praproduksi, yaitu pemungutan sebelum melaut berdasarkan perkiraan kapasitas tangkapan, menjadi pascaproduksi sesuai volume tangkapan. Jika tahun 2022 nilai PNBP Rp 1,19 triliun, Januari-September tahun ini, nilainya hanya Rp 207 miliar, merosot 76 persen.
”Padahal, tahun lalu mungkin belum ada migrasi izin (untuk kapal 30 GT ke bawah yang ingin menangkap ikan di atas batas 12 mil laut). Tahun ini sudah ada. Kapal pengangkutan (transhipper) juga sudah dipungut PNBP, masih enggak mendongkrak. Ini harus jadi cerminan,” kata Hendra, Kamis (16/11/2023), di Jakarta.
Untuk itu, Hendra berharap pemerintah bisa konsisten dalam menerapkan kebijakan. ”Butuh iklim usaha kondusif, kepastian hukum, dan perlindungan investasi. Yang paling penting dari itu, butuh konsistensi kebijakan,” tambahnya dalam diskusi yang digelar Pemkot Bitung bersama Tempo.co itu.
Wali Kota Bitung Maurits Mantiri membenarkan. Ia menyebut, sejak Menteri Susi Pudjiastuti menerapkan moratorium izin kapal asing serta melarang pengalihan muatan (transshipping) pada 2014, kinerja industri perikanan Bitung merosot dan belum pernah kembali ke titik optimal hingga hari ini.
Ia mencontohkan, pada 2014, volume tangkapan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung mencapai 140.000 ton sepanjang tahun, sedangkan rata-rata produksi unit pengolahan ikan (UPI) sekitar 700 ton per hari. Namun, sepanjang Januari-Oktober 2023, hasil tangkapan baru 43.200 ton dengan tingkat utilisasi UPI 180 ton per hari.
Keadaan ini pun mempersulit keadaan ekonomi di Bitung yang bergantung pada industri pengolahan sebagai sektor utama (leading sector). ”Infrastruktur, seperti pelabuhan, sudah tersedia di kami. Yang kami butuh sekarang, ya, ikan. Butuh cakalang agar pabrik kita jalan,” ujar Maurits.
Soal ini, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Ridwan Maulana mengatakan, PNBP hanya dikenakan kepada nelayan yang melaut di atas batas 12 mil laut, termasuk yang berbobot di bawah 30 GT. Ia juga menegaskan, PNBP bukan tujuan utama dari PIT, dibuktikan dari perubahan penerapan PNBP praproduksi menjadi pascaproduksi.
Di samping itu, pemerintah juga membatalkan pengenaan PNBP sebesar 25 persen bagi kapal di atas 200 GT. PNBP juga ditarik sebagai bentuk timbal balik atas kesempatan yang diberikan negara untuk memanfaatkan sumber daya perikanan nasional. Nilainya selama ini pun masih rendah.
”Tertinggi tahun lalu (2022), 1,2 triliun. Padahal, kalau lihat potensinya 12,01 juta ton. Tahun 2020, produksi kita menyentuh 8 juta ton sehingga nilainya (PNBP seharusnya) 200 triliun,” ujarnya.